• Breaking News

    Memahami Hadis Menurut Ghazali


    BAB I
    PENDAHULUAN

    Pemahaman hadis Nabi merupakan persoalan yang sangat urgen untuk diangkat. Hal demikian berangkat dari realitas hadis sebagai sumber kedua ajaran Islam setelah Alquran. Dari hadis terungkap berbagai ajaran dan tradisi yang berkembang pada masa Rasulullah, yang hingga kini ajaran-ajaran itu sampai kepada kita. Penelitian hadis merupakan suatu keniscayaan dalam kehidupan sekarang, karena dimensi ajaran yang dibawa Nabi Muhammad Saw., menurut Suryadilaga hal itu penting karena ajaran yang dibawa Rasulullah Saw mengharuskan kita mendapatkan informasi yang akurat dan benar. Penelitian hadis dalam konteks yang luas perlu dilakukan untuk mendapatkan pemahaman proporsional dalam konteks kekinian.[1]
    Upaya pemahaman terhadap hadis Nabi Muhammad Saw. terus dilakukan oleh ahli di bidangnya. Tentu suatu hal yang tidak bisa dielakkan adalah adanya perbedaan pemahaman di antara para pakar tersebut. Untuk memahami dan menafsirkan sebuah hadits para ulama berbeda-beda, hal ini dikarenakan sudut padang, latar belakang dan metode yang mereka gunakan. Dalam konteks sekarang ini, telah muncul para intelektual Muslim maupun non Muslim. Salah satu intelektual musliim kontemporer yang terkenal adalah Muhammad Al-Ghazali.







    1
     


    BAB II
    PEMBAHASAN

    A.    Biografi Al-Ghazali dan Karya-Karyanya
    1.      Biografi Al-Ghazali
    Muhammad Al-Ghazali merupakan salah satu tokoh yang berperan sangat penting dalam pemahaman hadis, nama beliau termasuk dalam kitab ‘Uzhama al Islam karangan Muhammad Sai’id Mursi, nama lengkap beliau adalah Muhammad Al-Ghazali Ahmad as-Saqa’. Ayahnya memberikannya nama Muhammad Al-Ghazali agar ia bisa seperti Imam Al-Ghazali, yang pernah dilihatnya dalam mimpi.[2]
    Syekh Muhammad Al-Ghazali lahir pada tanggal 22 September 1917 M di Nakla al Inab, Al-Buhairah, Mesir. Suatu daerah yang dikenal banyak dilahirkan tokoh-tokoh Islam terkemuka pada masa itu, seperti Muhammad ‘Abduh dan Hasan Al-Banna.[3]
    Pendidikan dasar Muhammad ai-Ghazali dimulai dari madrasah di desanya, di situlah ia menghafalkan Alquran 30 juz. Seteiah itu ia masuk sekolah Agama Ibtida'iyyah di Iskandariyah selama tiga tahun dan memperoleh ijazah persamaan. Kemudian meneruskan pendidikan Tsanawiyyah selama dua tahun dan lulus pada tahun 1937 M. Seteiah itu ia melanjutkan kuliah di Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar dan mendapat gelar sarjana pada tahun 1941 M. Meskipun ia aktif dalam kegiatan dakwah, pada tahun 1943 M. ia memperoieh gelar Magister dari Fakultas Bahasa Arab di Universitas yang sama.
    2
    Setelah lulus dari Universitas al-Azhar, aktivitas Muhammad Al-Ghazali selain banyak berkecimpung dalam bidang dak­wah, juga banyak menggeluti dunia pendidikan dan kebudayaan. Adapun aktivitas Muhammad Al-Ghazali selama di Mesir antara lain: tahun 1943, ia ditunjuk sebagai Imam dan Khatib pada Masjid al-Utba' al Khadra di Kairo. Muhammad Al-Ghazali juga pernah menjabat sebagai wakil Kementrian Wakaf dan Urusan Dakwah Mesir. Di Universitas al-Azhar Muhammad Al-Ghazali mengajar di Fakultas Syari'ah, Ushuluddin, Dirasah al-'Arabiyyah wal-lslamiyyah dan Fakultas Tarbiyah Pada tahun 1988, pemerintah Mesir menganugerahkan bintang kehormatan tertinggi kepada Muhammad Al-Ghazali dalam bidang pengabdian kepada Islam.
    Aktivitasnya di luar Mesir antara lain di Saudi Arabia. Dia berdakwah dan memberikan ceramah melalui radio, televisi menulis di berbagai majalah dan surat kabar. Di samping  itu ia juga memberikan kuliah di Universitas Umm al-Qura Makkah Saudi Arabia. Muhammad Al-Ghazali adalah orang Mesir pertama yang mendapat penghargaan Internasional Raja Faishal dari Kerajaan Saudi Arabia.
    Syaikh Muhammad Al-Ghazali juga banyak menghabiskan waktu hidupnya di Qatar. Bahkan beliau mempunyai peran yang besar dalam mereailisasikan Fakultas Syari'ah di Univeritas setempat, dan pernah diangkat sebagai guru besar di Fakultas tersebut. Di samping itu ia juga pernah menjadi dosen di Universitas King ‘Abd al-‘Aziz Jeddah.
    Pada setiap bulan Ramadhan, Muhammad Al-Ghazali sering diundang Pemerintah Kuwait untuk mengisi kegiatan agama kenegaraan. Muhammad Al-Ghazali juga sering diundang sebagai pembicara utama dalam seminar-seminar pemuda dan mahasiswa di Amerika maupun di Eropa.
    Selama kurang lebih delapan tahun Syaikh Muhammad Al-Ghazali menjadi tenaga pengajar di Universitas Amir ‘Abd al-Qadir Aljazair, ia memberikan kontribusi yang cukup besar dalam mengembangkan pendidikan di Universitas tersebut. Atas jasa-jasanya, Pemerintah Aljazair menganugerahkan penghargaan al-Atsir, bintang kehormatan tertinggi di Aljazair dalam bidang dakwah Islam. [4]
    Muhammad Al-Ghazali aktif di gerakan Ikhwanul Muslimin, serta kagum kepada sosok Hasan al Banna, namun kekagumannya tidak sampai pada taraf pengkultusan. Dua obyek sasaran dakwah Muhammad Al-Ghazali adalah: pertama, musuh-musuh yang membenci dan memerangi Islam, yakni Zionisme, kaum Kristen dan Komunisme. Walaupun mereka berbeda keyakinan, mereka bersatu untuk menghancurkan Islam. Kedua, umat Islam yang tidak mengetahui hakikat slam, tetapi mengklaim sebagai seorang yang ahli. Menurut Muhammad Al-Ghazali kelompok ini lebih berbahaya dari ke-ompok pertama, karena mereka sering memecah belah umat slam dengan membesar-besarkan masalah-masalah khilafiyyah. Perannya dalam organisasi Ikhwanul Muslimin inilah, ia pernah dua kali ditangkap dan masuk penjara, masing-masing pada tahun 1949 dan tahun 1965. [5]
    Muhammad Al-Ghazali meninggal akibat serangan jantung kronis dan pembekuan darah yang sudah lama dideritanya. Para dokter sebenarnya telah menasihati untuk mengurangi aktivitasnya, karena kondisi kesehatannya itu, tetapi nasihat tersebut tidak diindahkan. Bahkan, beberapa bulan menjelang akhir hayatnya, Muhammad Al-Ghazali masih sempat mengunjungi Amerika Serikat mewakili Markas Penelitian ilmu-ilmu Keislaman di Mesir. Setelah itu ia menghadiri Festival Kebudayaan di Janadriya Riyadh.
    Pada hari Sabtu tanggal 19 Syawwal 1416 H bertepatan dengan 9 Maret 1996, dunia Islam dikejutkan dengan meninggalnya Muhammad Al-Ghazali di Riyadh, ketika sedang memberikan ceramah dan menghadiri seminar "Islam dan Barat" di Riyadh Saudi Arabia. Jenazahnya diterbangkan dan dikebumikan di Mesir. Dengan berpulangnya Muhammad Al-Ghazali ke pangkuan ilahi Rabbi umat Islam kehilangan tokoh  pemikir dan dai  terkemuka. la wafat pada usia 78 tahun. Atas kegigihan Muhammad Al-Ghazali inilah, Yusuf al-Qaradhawi menganggapnya sebagai syahid,  karena ia meninggal dalam keadaan berdakwah dan membela Islam. [6]
    2.      Karya-Karya Al-Ghazali
    Sebagai ilmuwan yang sangat produktif, Muhammad Al-Ghazali telah menulis beberapa puluh buku dalam berbagai bidang, sebagian bukunya telah dicetak ulang-bahkan ada yang sampai dua puluh kali- dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa (termasuk bahasa Indonesia), serta dijadikan referensi di berbagai Perguruan Tinggi.
    Suryadi secara jelas menuliskan nama judul-judul buku karangan beliau hingga berjumlah 59 buah, dan salah satu karyanya yang monumental adalah al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahlal-Hadits. Buku ini diterbitkan pertama kali pada bulan Januari tahun 1989 ini, memperoleh sambutan luar bisa, sehingga di-cetak ulang lima kali selama 5 bulan berturut-turut. Namun, buku ini ternyata juga telah menimbulkan kontroversi dan perdebatan seru antara yang pro dan kontra. Polemik itu terutama disebabkan oleh hadis-hadis shahih dipertanyakan kembali oleh Muhammad Al-Ghazali, karena dianggap kontradiksi dengan ajaran Alquran, kebenaran ilmiah maupun fakta historis. [7]

    B.     Model Al-Ghazali dalam Memahami Hadis
    Dalam kitabnya As Sunnah an Nabawiyyah baina Ahl al Fiqh wa Ahl al Hadits, Muhammad Al-Ghazali menyebutkan ada lima persyaratan dalam penerimaan hadis Nabi Muhammad saw yang dikemukakan muhaddisin, yaitu:
    1.      Setiap perawi dalam sanad suatu hadis haruslah seorang yang dikenal sebagai penghafal yang cerdas, teliti dan benar-benar memahami apa yang didengarnya. Kemudian ia meriwayatkannya setelah itu, tepat seperti aslinya.
    2.      Di samping kecerdasan yang dimilikinya, ia juga harus seorang yang mantap kepribadiannya, bertakwa kepada Allah, serta menolak dengan tegas setiap pemalsuan atau penyimpangan.
    3.      Kedua sifat tersebut di atas (butir 1  dan 2) harus dimiliki oleh masing-masing perawi dalam seluruh rangkaian para perawi suatu hadis. Jika hal itu tidak terpenuhi dari seseorang saja dari mereka, maka hadis tersebut tidak dianggap mencapai derajat sahih.
    4.      Mengenai matan (materi) hadis itu sendiri, ia harus tidak bersifat syadz (yakni salah seorang perawinya bertentangan dalam periwayatannya dengan perawi lainnya yang dianggap lebih akurat dan lebih dapat dipercaya) 
    5.      Hadis tersebut harus bersih dari illah qadihah yaitu cacat yang diketahui para ahli oleh para ahli hadis, sehingga mereka menolaknya.[8]
    Jika diperhatikan, kriteria satu sampai tiga  merupakan kriteria yang berhubungan dengan sanad, walaupun kriteria ketiga hanya sebagai penegas terhadap keriteria pertama dan kedua, dalam kriteria tersebut beliau tidak mengemukakan ketersambungan sanad, namun jika boleh memaknai kata-kata beliau pada kriteria ketiga “masing-masing perawi dalam seluruh rangkaian para perawi suatu hadis”, yang mengarah kepada ketersambungan sanad, maka ketersambungan sanad juga masuk dalam kriteria beliau. Sebagai pembanding, ulama muhaddisin secara umum menegaskan ketersambungan sanad merupakan hal pertama yang dijadikan syarat kriteria kesahihan hadis, yaitu: Sanad bersambung, periwayat bersifat adil, periwayat bersifat dhabith, dalam hadis tidak terdapat kejanggalan (syudzuz) dan dalam hadis tidak terdapat illat cacat.[9]
    Berbeda dengan kriteria pertama sampai ketiga, kriteria kedua berhubungan dengan kritik matan, menurut Muhammad Al-Ghazali, untuk menemukan illah dan keganjilan dalam susunan kalimat (matn) suatu hadis tidak merupakan monopoli ahli hadis, perlu kerjasama antara Muhaddits dengan berbagai ahli di bidang Tafsir, Ushul, Kalam dan Fikih[10]
    Sikap Al-Ghazali terhadap ahad nampak jelas dalam ungkapan beliau Hadis-hadis ahad walaupun sanadnya sahih, kehilangan validitasnya (kesahihannya) apabila terdapat padanya cacat-cacat tertentu yang diistilahkan dengan sya'dz atau 'illah qadihah. [11]
    Bahkan, Menurut Yusuf al-Qaradhawi, Muhammad al-Ghazali tidak mau mempergunakan hadis ahad dalam menetapkan akidah. Menurut Muhammad al-Ghazafi, masalah akidah harus berdasarkan ke­yakinan, bukan dugaan. Hadis-hadis ahad  -meskipun shahih- tidak memberikan keyakinan, dan hanya hadis mutawatir yang memberikan nilai keyakinan. [12]
    Sedangkan menurut al Khatib al Baghdadi hadis ahad bisa diterima, hadis ahad yang tidak bisa diterima dalam keadaan-keadaan berikut:
    1.      Jika menafikan hukum akal
    2.      Jika menafikan hukum alquran yang muhkam
    3.      Menafikan sunnah lain yang sudah maklum
    4.      Menafikan praktik yang berstatus sebagai sunnah,
    5.      Menafikan dalil yang bersifat mutlak
    6.      Bertentangan dengan hadis ahad lainnya yang telah dikenal shahih berdasarkan ukuran akal, Alquran, hadis lain yang shahih atau dalil lain yang dikenal.[13]
    Orientasi kajian penelitian hadis Muhammad Al-Ghazali terhadap hadis Nabi menitikberatkan kepada kritik matan, dalam artian mengkaji otentisitas sebuah matan hadis dan mengungkap makna (memahami hadis Nabi). Beliau menganggap penelitian matan hadis adalah sesuatu yang sangat urgen. Bahkan Muhammad Al-Ghazali berpendapat bahwa bagaimanapun kualitas sanad sebuah hadis jika matannya bertentangan dengan Alquran, kebenaran ilmiah dan tidak sesuai dengan fakta historis, maka hadis tersebut ditolak. Sebagai konsekuensinya, kritik matan tetap terbuka sekalipun tanpa meneliti sanad terlebih dahulu. Oleh karena itu adalah wajar bila Muhammad Al-Ghazali menolak berbagai matan-hadis sekalipun sanadnya shahih. [14]
    Menurut Abdul Majid Khon, Syekh Al-Ghazali mengemukakan ada beberapa ketentuan umum dalam memahami hadis (dan pendapat ini juga diamini oleh Syekh Yusuf Qardhawi), yaitu:
    1.      Sunah harus sesuai dengan petunjuk Alquran karena dia penjelas tidak boleh bertentangan.
    2.      Menghimpunkan hadis-hadis yang terjalin dalam satu tema untuk dikomparasikan satu dengan yang lain
    3.      Penggabungan dan penarjihan hadis-hadis yang kontra.
    4.      Memahami hadis dengan mempertimbangkan konteks latar belakang, situasi, kondisi, dan tujuan.
    5.      Membedakan antar sarana yang berubah-ubah dan yang tetap.
    6.      Mernbedakan makna hakikat dan majas.
    7.      Membedakan antara alam gaib dan semesta. Berita gaib untuk dimani dan alam lahir dapat dirasionalisasikan.
    8.      Memastikan makna konotasi hadis.[15]
    Berbeda dengan Abdul Majid Khon, menurut Suryadi, delapan kriteria tersebut adalah milik Yusuf Qardhawi, namun, jika disederhanakan delapan kriteria tersebut juga mengarah kepada 4 pengujian yang digunakan oleh Muhammad Al-Ghazali dalam memahami  hadis Nabi, yaitu: (1) pengujian dengan ayat Alquran, (2) pengujian dengan hadis lain, (3) pengujian dengan fakta  historis, dan (4) pengujian dengan kebenaran ilmiah.[16]
    1)      Pengujian dengan Alquran
    Muhammad Al-Ghazali mengecam keras orang-orang yang memahami dan mengamalkan secara tekstual hadis-hadis yang shahih sanadnya, namun matannya bertentangan dengan Alquran. Pemikiran tersebut dilatarbelakangi adanya keyakinan tentang kedudukan hadis sebagai sumber otoritatif setelah Alquran, tidak semua hadis orisinal, dan tidak semua hadis dipahami secara benar oleh periwayatnya. Alquran, me-nurut Muhammad Al-Ghazali, adalah sumber pertama dan utama dari pemikiran dan dakwah, sementara hadis adalah sumber kedua. Dalam memahami Alquran, kedudukan hadis sangatlah penting, karena hadis adalah penjelas teoritis dan praktis bagi Alquran.[17]
    Muhammad Al-Ghazali menulis dalam bukunya bahwa  untuk menetapkan shahihnya suatu hadis dari segi matannya diperlukan ilmu yang mendalam tentang Alquran serta kesmpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari ayat-ayatnya, baik secara langsung atau tidak.[18]
    Bila hadis telah memperoleh penilaian maqbul dan diterima kehujjahannya, namun konsep yang dikandung diduga berlawanan dengan petunjuk sharih Alquran, yakni dalalah yung mahkam, maka rumusan  konsep hadis harus berpihak pada eksplisitas Alquran.[19]
    Bahwa pensyarahan hadis dengan Alquran sudah muncul dari masa sahabat (bahkan pada rnasa Nabi, karena apa yang diungkapkan oleh Nabi tidak pemah berlentangan dengan Alquran. Perbedaan pensyarahan ulama' kontemporer dengan ulama  klasik adalah apabila bertemu dengan hadis-hadis shahih yang matannya musykil (salah satunya bertentangan dengan Alquran dan tidak ditemukan jawabannya, maka mereka mendiamkan saja hadis tersebut, sedangkan beberapa ulama kontemporer ada yang dengan mudah mengatakan hadis tersebut tertolak. Mereka tidak segan-segan menolak begitu saja hadis yang bertentangan dengan Alquran.[20]
    Pengujian dengan Alquran yang dimaksud Muhammad Al-Ghazali adalah setiap hadis harus dipahami dalam kerangka makna-makna yang ditunjukkan oleh Alquran baik secara langsung atau tidak. Ini artinya bisa jadi terkait dengan makna lahiriyah kandungan Alquran, atau pesan-pesan, semangat dan nilai-nilai yang dikandung oleh ayat-ayat Alquran, ataupun dengan menganalogkan qiyas yang didasarkan pada hukum-hukum Alquran.
    Pengujian dengan ayat-ayat Alquran ini mendapat porsi atensi terbesar dari Muhammad Al-Ghazali dibanding tiga tolok ukur lainnya. Bahkan M. Quraish Shihab beranggapan bahwa meski Muhammad Al-Ghazali menawarkan empat tolok ukur, kaidah pertamalah satu-satunya kaidah yang digunakan Muhammad Al-Ghazali.
    Penerapan kritik hadis dengan pengujian Alquran dijalankan secara konsisten oleh Muhammad Al-Ghazali. Oleh karena itu, tidak sedikit hadis-hadis yang dianggap shahih misalnya yang terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dipandang dha'if oleh Muhammad Al-Ghazali. Bahkan secara tegas dia mengatakan bahwa dalam hal-hal yang berkaitan dengan persoalan kemaslahatan dan mu'amalah dunyawiyyah, akan mengutamakan hadis yang sanadnya dha'if, bila kandungan maknanya sinkron dengan prinsip-prinsip ajaran Alquran, daripada hadis yang sanadnya shahih akan tetapi kandungan maknanya tidak sinkron dengan inti ajaran Alquran. [21]
    2)      Pengujian dengan Hadis
    Pengujian ini memiliki pengertian bahwa matan hadis yang dijadikan dasar argumen tidak bertentangan dengan hadis mutawatir dan hadis lainnya yang lebih shahih. Menurut Muhammad Al-Ghazali, suatu hukum yang berdasarkan agama tidak boleh diambil hanya dari sebuah hadis yang terpisah dari yang lainnya. Tetapi, setiap hadis harus dikaitkan dengan hadis lainnya. Kemudian hadis-hadis yang tergabung itu dikomparasikan dengan apa yang ditunjukkan oleh Alquran.
    Hal ini sependapat dengan jumhur ulama yang mengatakan bahwa salah satu pengujian hadis setelah membandingkannya dengan Alquran adalah tidak bertentangannya hadis dengan hadis mutawatir yang statusnya lebih kuat atau sunnah yang lebih mahsyur. [22]
    3)      Pengujian dengan Fakta Historis
    Sesuatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa hadis muncul dalam historisitas tertentu, oleh karenanya antara hadis dan sejarah memiliki hubungan sinergis yang saling menguatkan satu sama lain. Adanya kecocokan antara hadis dengan fakta sejarah akan menjadikan hadis memiliki sandaran validitas yang kokoh, demikian pula sebaliknya bila terjadi penyimpangan antara hadis dengan sejarah, maka salah satu di antara keduanya diragukan kebenarannya. [23]
    Pendekatan historis akan menekankan pada pertanyaan mengapa Nabi Muhammad Saw bersabda demikian? Bagaimana kondisi historis sosio-kultural masyarakat dan bahkan politik pada masa itu? Serta mengamati proses terjadinya peristiwa-peristiwa tersebut.[24]
    4)     Pengujian dengan Kebenaran llmiah
    Pengujian ini bisa diartikan bahwa setiap kandungan matan hadis tidak boleh bertentangan dengan teori ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah; dan juga memenuhi rasa keadiian atau tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. Oleh sebab itu, adalah tidak masuk akal bila ada hadis Nabi mengabaikan rasa keadilan, dan menurutnya, bagaimana pun shahihnya sanad sebuah hadis, jika muatan informasinya bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan prinsip-prinsip hak asasi manusia, maka hadis tersebut tidak layak pakai.
    Jika dicermati indikator yang ditawarkan oleh Muhammad Al-Ghazali dalam kritik matan bukanlah sesuatu yang baru. Muhammad Al-Ghazali sendiri mengakui bahwa apa yang dilakukannya sudah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu. Yang paling penting dari semua itu adaiah bagaimana mempraktikkan indikator kritik matan tersebut dalam berbagai matan hadis Nabi.
    Namun, meskipun misalnya sebuah hadis setelah dianalisa dan dikaji dinyatakan bertentangan dengan fakta sejarah dan kebenaran ilmiah, namun pada akhirnya apa yang dimaksud dengan kebenaran historis dan kebenaran ilmiah tersebut dikembalikan kepada nash Alquran. Itulah sebabnya M. Quraish Shihab beranggapan bahwa meski Muhammad Al-Ghazali menawarkan empat pengujian, kaedah pertamalah satu-satunya kaedah yang digunakan Muhammad Al-Ghazali.[25]



    BAB III
    PENUTUP

    KESIMPULAN
    Nama lengkap Al-Ghazali adalah Muhammad Al-Ghazali Ahmad as-Saqa’. Ayahnya memberikannya nama Muhammad Al-Ghazali agar ia bisa seperti Imam Al-Ghazali, yang pernah dilihatnya dalam mimpi, lahir pada tanggal 22 September 1917 M di Nakla al Inab, Al-Buhairah, Mesir. Beliau meninggal pada hari Sabtu tanggal 19 Syawwal 1416 H bertepatan dengan 9 Maret 1996, di Riyadh Saudi Arabia, ketika sedang memberikan ceramah dan menghadiri seminar "Islam dan Barat".
    Sebagai ilmuwan yang sangat produktif, Muhammad Al-Ghazali telah menulis beberapa puluh buku dalam berbagai bidang, sebagian bukunya telah dicetak ulang-bahkan ada yang sampai dua puluh kali- dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa (termasuk bahasa Indonesia), serta dijadikan referensi di berbagai Perguruan Tinggi, judul-judul buku karangan beliau hingga berjumlah 59 buah, dan salah satu karyanya yang monumental adalah al-Sunnah al-Nabawiyyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahlal-Hadits.
    Orientasi kajian penelitian hadis Muhammad Al-Ghazali terhadap hadis Nabi menitikberatkan kepada kritik matan, dalam artian mengkaji otentisitas sebuah matan hadis dan mengungkap makna (memahami hadis Nabi). Beliau menganggap penelitian matan hadis adalah sesuatu yang sangat urgen.
    Pengujian yang digunakan oleh Muhammad Al-Ghazali dalam memahami  hadis Nabi ada empat macam, yaitu: (1) pengujian dengan ayat Alquran, (2) pengujian dengan hadis lain, (3) pengujian dengan fakta  historis, dan (4) pengujian dengan kebenaran ilmiah. Pengujian dengan ayat-ayat Alquran  mendapat porsi atensi terbesar dari Muhammad Al-Ghazali dibanding tiga tolok ukur lainnya. Bahkan M. Quraish Shihab beranggapan bahwa meski Muhammad Al-Ghazali menawarkan empat tolok ukur, kaidah pertamalah satu-satunya kaidah yang digunakan Muhammad Al-Ghazali.
    20
     
    DAFTAR PUSTAKA

    Abbas, Hasjim, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha, Yogyakarta, Teras, 2004.  

    al Adlabi, Salahudin ibn Ahmad, Manhaj an Naqd al Matn Ind Ulama al Hadits al Nabawi, terj. M. Qodirun Nur, Ahmad Musyafiq, Kritik Metodologi Matan Hadis. Jakarta, Gaya Media Pratama, 2004.  

    al-Ghazali, Muhammad, As Sunnah an Nabawiyyah baina Ahl al Fiqh wa Ahl al Hadits terj. Muhammad Al Baqir, Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw antarPemahaman Tekstual dan Kontekstual. Bandung, Mizan, 1993.  

    Ilyas, Yunahar M. Mas’udi, Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis. Yogyakarta, LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1996.

    Khon, Abdul Majid, Pemikiran Modern dalam Sunnah, Pendekatan Ilmu Hadis. Jakarta, Kencana, 2011.

    Mursi, Muhammad Sai’id, ‘Uzhama al Islam, terj. Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Jakarta, Pustaka Al Kausar, 2005.  

    Mustaqim, Abdul, Ilmu Maanil Hadis Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadis. Yogyakarta, Idea Press, 2008.

    Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, Perspektif Muhammad al Ghazali dan Yusuf al Qaradhawi. Yogyakarta, Teras, 2008.  

    Suryadi dan M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis. Yogyakarta, Suka-press, 2012.

    Suryadilaga, M. Alfatih, Aplikasi Peneltiian Hadis dari Teks ke Konteks. Yogyakarta, Teras, 2009.

    _______, Metodologi Syarah Hadis. Yogyakarta, Suka-press, 2012.


    21
     


    [1] M. Alfatih Suryadilaga,  Aplikasi Peneltiian Hadis dari Teks ke Konteks, (Yogyakarta: Teras, 2009), h. 2
    [2] Muhammad Sai’id Mursi, ‘Uzhama al Islam, terj. Khoirul Amru Harahap dan Achmad Faozan, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Pustaka Al Kausar, 2005), h. 328.
    [3] Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi: Perspektif Muhammad al Ghazali dan Yusuf al Qaradhawi, (Yogyakarta: Teras, 2008), h. 24.
    [4] Suryadi, Metode Kontemporer..., h. 24-26.
    [5] Muhammad Sai’id Mursi, ‘Uzhama al Islam...h. 329.
    [6] Suryadi, Metode Kontemporer..., h. 28-30.
    [7] Ibid, h. 36.
    [8] Muhammad Al-Ghazali,  As Sunnah an Nabawiyyah baina Ahl al Fiqh wa Ahl al Hadits terj. Muhammad Al Baqir, Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw antarPemahaman Tekstual dan Kontekstual, (Bandung: Mizan, 1993), h. 26.
    [9]Yunahar Ilyas, M. Mas’udi, Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis, (Yogyakarta: LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 1996), h.  6-7
    [10] Muhammad Al-Ghazali,  As Sunnah an Nabawiyyah...h. 27.
    [11] Ibid, h. 32.
    [12] Suryadi, Metode Kontemporer..., h. 36.
    [13] Salahudin ibn Ahmad al Adlabi, Manhaj an Naqd al Matn Ind Ulama al Hadits al Nabawi, terj. M. Qodirun Nur, Ahmad Musyafiq, Kritik Metodologi Matan Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004), h. 207-208.
    [14] Suryadi, Metode Kontemporer..., h. 196.
    [15] Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah: Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta: Kencana, 2011) h. 208
    [16] Suryadi, Metode Kontemporer..., h. 198
    [17] Ibid,  h. 82
    [18] Muhammad Al-Ghazali,  As Sunnah an Nabawiyyah...h. 26.
    [19] Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha, Yogyakarta: Teras, 2004), h. 113
    [20] M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, (Yogyakarta: Suka-press, 2012), h. 105.
    [21] Suryadi, Metode Kontemporer..., h. 84
    [22] Suryadi dan M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Penelitian Hadis, (Yogyakarta: Suka-press, 2012), h. 146.
    [23] Suryadi, Metode Kontemporer..., h. 84
    [24] Abdul Mustaqim, Ilmu Maanil Hadis Paradigma Interkoneksi Berbagai Teori dan Metode Memahami Hadis, (Yogyakarta: Idea Press, 2008), h. 61
    [25] Suryadi, Metode Kontemporer..., h. 199.
    [26] Muhammad Al-Ghazali,  As Sunnah an Nabawiyyah...h. 29.
    [27] Ibid, h. 31
    [28]Ibid, h. 32
    [29]Ibid, h. 65
    [30]Ibid, h. 64
    [31]Ibid, h. 110-111
    [32]Ibid, h. 111-112

    Tidak ada komentar:

    Makalah

    Skripsi

    Tesis