URGENSITAS MEMAHAMI QAWÂ’ID TAFSIR
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Ilmu kaidah tafsir mempunyai peranan yang sangat penting,
khususnya dalam mempelajari ilmu tafsir. Bahkan, suatu keharusan bagi yang
ingin mendalami kajian tafsir untuk menguasai kaidah tafsir. Sebab, ilmu
kaidah tafsir membahas pokok-pokok dan garis besar hukum syariat yang
terkandung di dalam Al-Qur’an. Dari situ kemudian dikembangkan kepada
hukum-hukum yang sifatnya juz’i (parsial)
Disamping
itu, mempelajari Al-Quran, yang merupakan obyek pembahasan ilmu kaidah tafsir,
sangat jelas memiliki urgensi yang sangat besar. Karena Al-Qur’an merupakan
pedoman hidup bagi seluruh umat manusia.
Ada satu pandangan teologis dalam Islam bahwa al-Qur’an shalihun li kulli
zaman wa makan. Sebagian umat Islam memandang keyakinan tersebut sebagai
doktrin kebenaran yang bersifat pasti. Akibatnya muncul respon reaktif terhadap
setiap perkembangan situasi yang terjadi dalam perjalanan sejarah peradaban
manusia. Misalnya dengan pernyataan bahwa semua ilmu pengetahuan yang ada
sekarang ini dan pada masa yang akan datang sudah ada semuanya dalam al-Qur’an.
Seperti yang disampaikan oleh al-Ghazali dalam Jawahir al-Qur’an.
Respon ini tentunya tidak produktif. Sebab jika ada penemuan baru
berdasarkan metodologi ilmu pengetahuan kontemporer yang kontradiktif dengan
al-Qur’an muncul respon defensif yang seringkali menempatkan
informasi-informasi dalam teks al-Qur’an pada dataran mistik. Ada semacam
pemaksaan teologis dalam rangka menyelamatkan keshahihan al-Qur’an tersebut.
Padahal upaya ini justru akan memposisikan al-Qur’an secara sempit. Pemahaman
al-Qur’an hanya terbatas pada ruang dan waktu ketika al-Qur’an itu turun, atau
paling tidak sampai pada waktu ulama-ulama klasik saja.
Karenanya diperlukan upaya yang lebih produktif dalam rangka mempertahankan
pandangan teologis di atas. Salah satunya adalah pengembangkan tafsir
kontemporer dengan menggunakan metodologi baru yang sesuai dengan perkembangan
situasi sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan perkembangan peradaban manusia.
Persoalannya adalah bagaimana merumuskan sebuah metode tafsir yang mampu
menjadi alat untuk menafsirkan al-Qur’an secara baik, dialektis, reformatif,
komunikatif serta mampu menjawab perubahan dan perkembangan problem kontemporer
yang dihadapi umat manusia.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya penelusuran sejarah tentang
berbagai upaya ulama dalam mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran. Tujuannya
adalah untuk mengetahui prosedur kerja para ulama tafsir dalam menafsirkan
al-Qur’an sehingga penafsiran tersebut dapat digunakan secara fungsional oleh
masyarakat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Kaidah-kaidah
ini kemudian dapat digunakan sebagai referensi bagi pemikir Islam kontemporer
untuk mengembangkan kaidah penafsiran yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Namun kaidah-kaidah penafsiran di sini tidak berperan sebagai alat
justifikasi benar-salah terhadap suatu penafsiran al-Qur’an. Kaidah-kaidah ini
lebih berfungsi sebagai pengawal metodologis agar tafsir yang dihasilkan
bersifat obyektif dan ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan. Sebab produk
tafsir pada dasarnya adalah produk pemikiran manusia yang dibatasi oleh ruang
dan waktu.
B.Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas penulis merumuskan beberapa
rumusan masalah :
1.
Apa
perlunya memahami kaidah secara Umum Dan
Kaidah-Kaidah Penafsiran Secara Khusus ?
2.
Apa Ruang
Lingkup Qawâ’id At-Tafsîr?
3.
Apa Tujuan
Mempelajari Qawâ’id At-Tafsîr?
4.
Apa Keutamaan
Qawâ’id At-Tafsîr?
5.
Apa Keistimewaan
Qawâ’id At-Tafsîr?
6.
Apa Sumber-Sumber
Qawâ’id At-Tafsîr?
7.
Kapan
Kelahiran Qawâ’id At-Tafsîr?
8.
Apa Metode
Yang Diterapkan Oleh Pengarang ?
BAB
II
PEMBAHASAN
Urgensitas Memahami Qawaid at-Tafsir
A.
Perlunya Memahami Kaidah Secara Umum[1]
Sebelum
kita membahas secara khusus pentingnya memahami kaidah secara umum ataupun
secara khusus, alangkah baiknya kita singgung sedikit makna kaidah itu sendiri.
Menurut bahasa, Qawaid artinya kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip dasar.
Sedangkan yang dimaksud Qawaid Tafsir dalam hal ini ialah kaidah-kaidah yang
diperlukan oleh para mufasir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Bagi seseorang
yang ingin memperdalam satu bidang ilmu pengetahuan dengan hasil yang
memuaskan, maka dia harus mengetahui kaidah-kaidah dan dasar-dasar ilmu
tersebut. Terutama bagi yang ingin memperdalam ilmu tafsir maka dia harus
mengetahui Kaidah-kaidah yang diperlukan para mufasir dalam memahami Al-Qur’an
meliputi penghayatan uslub-uslubnya, pemahaman asal-asalnya, penguasaan
rahasia-rahasianya dan kaidah-kaidah kebahasaan.
Sebelum penulis
menjelaskan perlunya memahami Kaidah-Kaidah Penafsiran Secara Khusus, di bawah
ini penulis kemukakan perlunya memahami Qawâ’id secara umum.
Telah kita
ketahui pada zaman Rasulullah para sahabat berlomba-lomba dengan antusias untuk
menerima ilmu baik Alquran ataupun hadist, tapi pada zaman itu ilmu yang
didapatkan para sahabat belum ditulis atau dibukukan, mereka mendengarnya
langsung dari Rasulullah dan menghapalkannya, seandainya ditemukan
ketidakpahaman atau keraguan pada ilmu yang mereka dapatkan maka akan langsung menanyakannya kepada Rasulullah,
kemudian disampaikan pada sahabat yang lain. Pembukuan atau yang lebih dikenal
dengan tadwin (تدوين) dimulai pada abad ke-dua Hijriah dengan dimulainya pembukuan
hadist yang secara tidak langsung juga menyangkut hal yang berhubungan dengan
tafsir, yang sebelumnya pada masa kekhalifahan Ali r.a telah diletakkan
kaidah-kaidah nahwu oleh Abu Aswad ad-Du’ali. Dan perkembangan ini terus berjalan hingga
meluaslah ilmu-ilmu yang melahirkan bagian-bagian baru dari ilmu tersebut. Sehingga para ulama meletakkan dasar ataupun landasan sebagai
tempat kembali bagian-bagian ilmu baru tersebut,serta membantu untuk menjaga
menyebarnya, dan akan banyak menyingkat waktu dan tenaga.
Tidak mungkin
bagi orang yang ingin mempelajari ilmu dari beberapa ilmu dapat menghasilkan
ilmu yang dapat dipertanggung jawabkan kecuali telah mengetahui
kaidah-kaidahnya, dan dasar yang dibangun darinya masalah-masalah.
Dari yang
penulis uraikan telah diketahui perlunya ilmu qawaid secara umum serta
pentingnya ilmu tersebut, dan sebelum kita membahas tentang perlunya
kaidah-kaidah tafsir secara khusus, di bawah ini penulis kemukakan pendapat
ulama yang berkaitan dengan perlunya memahami Qawâ’id secara umum : Telah berkata Syekh al-Islam ibn Taimiyah :
“Harus bagi setiap manusia (penuntut ilmu) mengetahui kaidah secara umum (أصول كلّية)
sebagai rujukan kepada bagian-bagian ilmu tersebut agar dapat berbicara dengan
benar dan adil, apabila dia tidak mengetahui dengan baik, maka dia akan berada
dalam kebohongan dan ketidaktahuan pada bagian-bagian ilmu tersebut, sehingga
menyebabkan kesalahan yang besar”.[2]
B.
Perlunya Memahami
Kaidah-Kaidah Penafsiran Secara Khusus
Dari uraian sebelumnya
jelaslah betapa pentingnya kaidah secara umum begitu juga kaidah-kaidah tafsir,
dan dapat juga penulis katakan bahwa dengan mengetahui kaida-kaidah tafsir kita
akan tahu ruang lingkup pembahasan kaidah tafsir yaitu Alquran,karena Alquran
merupakan sumber semua ilmu pengetahuan baik dulu maupun sekarang, karena
apabila seseorang paham dengan pemahaman yang benar maka dia akan memperoleh
ilmu yang besar,oleh karena itu dikatakan apabila seorang sahabat diantara kami
hapal surah al-Baqaran dan al-Imran akan mendapatkan kedudukan yang tinggi
diantara para sahabat.[3]
Maka jelas
orang yang mengetahui kaidah-kaidah tafsir akan mempermudah memahami
makna-makna Alquran,dan menjadikannya sebagai alat yang dapat digunakan untuk
mengambil kesimpulan dan memahaminya,serta memiliki kemampuan yang kuat untuk
memilih berbagai macam argumen dalam tafsir.
C.
Ruang Lingkup Qawâ’id At-Tafsîr
Tema sentral dari pembahasan kaidah ilmu tafsir adalah
Al-Qur’an itu sendiri.[4] Ilmu ini mencoba mengurai kaidah-kaidah,
uslub, dan kesusastraan bahasa Arab yang terdapat di dalam Al-Qur’an.[5]
As-Suyuthi, dalam kitabnya, telah membahas masalah kaidah
tafsir yang harus dipahami oleh para Mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an yang terkait dengan uslub dan kesusastraan bahasa Arab.[6]
Kaidah tafsir juga mencakup hal-hal seputar ulum
Al-Qur’an, seperti Asbabun Nuzul, Qiraah, Al-Ahruf As-Sab`ah
dan lain-lain. Setidaknya demikianlah pandangan Khalid Utsman As-Sabt.[7]
Bagi As-Sa`dy, metode Al-Qur’an dalam menetapkan
kebangkitan, kenabian Muhammad SAW, menetapkan tauhid, mendakwahi orang-orang
kafir dan beberapa metode lainnya adalah bagian dari Kaidah-kaidah Tafsir.[8]
Hal yang dianggap oleh As-Sabt sebagai Fawaid dan Lathaif dan
bukan termasuk Qawa`id.
D.
Tujuan
Mempelajari Qawâ’id At-Tafsîr
Kaidah Tafsir menjelaskan metode-metode penafsiran
Al-Qur’an dan merintis jalan kepada manhaj (system) pemahaman tentang Allah.[9]
Di samping itu, ilmu ini juga bertujuan untuk memahami makna-makna Al-Qur’an,
hingga dapat diamalkan dan akhirnya memperoleh kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.[10]
E.
Keutamaan Qawâ’id At-Tafsîr
Ada beberapa keutamaan mempelajari Kaidah Tafsir, yaitu:[11]
a. Dari segi tema pembahasan; yang
menjadi obyek kajian adalah firman Allah Ta’ala yang merupakan kitab
yang paling mulia dan agung.
b. Dari segi tujuan dan maksudnya; agar
dapat berpegang teguh pada ajaran Allah untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia
dan di akhirat.
c. Dari segi peranannya yang sangat
dibutuhkan, di mana setiap insan manusia yang ingin mendapatkan kebahagiaan
dunia dan akhirat sangat memerlukan ilmu-ilmu syariat, dan itu bersumber dari
Al-Qur’an yang merupakan inti dari segala ilmu.
F.
Keistimewaan Qawâ’id At-Tafsîr
Kaidah
penafsiran Al-Qur’an sangat tinggi nilainya. Manfaatnya juga amat besar dan
sangat membantu kita memahami kalamullah dan dapat dijadikan penuntun
untuk mendapatkan pemahaman yang sempurna. Dan yang lebih penting lagi bahwa
kita dapat memahami tafsir Al-Quran dengan kaidah-kaidah yang shahih.
Disamping
itu, kaidah tafsir memiliki beberapa keistimewaan dengan ilmu yang lain, di
antaranya shighat atau lafadz yang digunakan sangat ringkas, namun sangat luas
maknanya dan sangat luas cakupannya, serta kekuatan lafadznya yang sangat
tinggi.
G.
Sumber-Sumber Qawâ’id At-Tafsîr
Setelah mendalami lebih jauh kaidah-kaidah tafsir, kita
mendapati bahwa sumber-sumber yang dipakai dalam ilmu ini adalah :
a. Al-Qur’an Al-Karim. Hal tersebut
dapat dilihat dari permasalahan yang dibahas di dalamnya, disamping itu
ditemukan pula kaidah-kaidah yang diadopsi dari ilmu Qira’ah
b. As-Sunnah An-Nabawiyah.
c. Beberapa atsar dari sahabat
yang membahas tentang tafsir. Dari atsar tersebut dapat diketahui
dasar-dasar kaidah yang digunakan oleh mereka untuk memahami makna Al-Quran.
d. Ushul Fiqh. Karena pada hakikatnya
ilmu ushul fiqhi adalah penelitian tentang keumuman dalil-dalil, sehingga
menjadi pijakan bagi para mujtahid dan memudahkan bagi para thalibul ilmi untuk
mengaksesnya.
e. Ilmu Linguistik, karena ilmu-ilmu
yang berkaitan dengan kebahasaan akan mengarahkan untuk memahami struktur
bahasa yang digunakan di dalam Al-Quran dan hadits secara benar, dan pada
hakikatnya ilmu ini adalah fiqhi At Ta’abbud dengan lafadz-lafadz
syariah yang menunjukkan kepada maknanya bagaimana digunakan. Bahkan Imam
Asy-Syathibi berpendapat bahwa penguasaan terhadap ilmu bahasa Arab sangat
penting dalam menguasai dan menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh.[12]
f. Kitab-kitab ulumul Quran dan beberapa
kitab Tafsir.
H.
Kelahiran Qawâ’id At-Tafsîr
Sejarah
Pertumbuhan/Penulisan Qawa'id Tafsir.
Ada dua fase dalam hal ini :
· Fase di mana Qawa'id Tafsir masih dijumpai bertebaran
pada berbagai karya ulama, baik pada kajian Ushul Fiqhi, Ilmu-Ilmu Al-Qur'an,
Ilmu-Ilmu Bahasa dan
lain-lain.
· Fase penulisan Qawa'id. Di mana,
buku-buku khusus tentang Qawa'id Tafsir mulai bermunculan.[13]
Terkait
dengan fase pertama, Khalid Abdul Rahman al-Ak menulis,
"Bukanlah perkara mudah untuk melacak orang pertama yang menulis Qawaid
Tafsir. Akan tetapi, dengan sangat meyakinkan sekali bahwa Ilmu, Qawa'id, dan
Ushul ini merupakan hasil dari kajian yang begitu lama dan penelitian yang
mendalam yang disponsori oleh ulama-ulama brilian kita. Mulai dari sejak masa
awal gerakan penulisan (tadwin) berbagai disiplin ilmu hingga hari ini …"[14]
Setelah
aktifitas penafsiran mulai melaju pada zaman Sahabat dan Tabi'in, lalu diikuti
masa tadwin pada era selanjutnya, maka Qawaid Tafsir beredar pada berbagai
karya ulama. Hanya saja, keberadaannya tidak terbatas pada literatur-literatur
Tafsir, tetapi juga terdapat pada kajian Ushul Fiqhi, Ilmu-Ilmu Al-Qur'an dan
Ilmu-Ilmu Bahasa.
Pada abad
ke-2 Hijriah, Qawaid Tafsir mulai tertulis pada bab khusus dalam kitab Ar-Risalah
karya Imam Syafi'i. Lalu pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriah, Qawaid Tafsir muncul
pada berbagai bentuk kajian ulama, seperti : Ta'wil Musykilul Qur'an karangan
Ibnu Qutaibah, Jami'ul Bayan-nya Imam Ibnu Jarir Al-Thabari, Ahkamul
Qur'an-nya At-Thahawi dan Ahkamul Qur'an-nya Imam Al-Jasshas.
Pada abad
ke-5 dan ke-6 Hijriah, kajian Tafsir, Ushul, Bahasa dan Ilmu-Ilmu Al-Qur'an
makin meluas. Muncullah karya-karya seperti : Al-Ihkaam (Ibnu Hazm), Al-Burhan
(Al-Juwaini), Ushul Fiqhi (Al-Sarakhsi), Al-Musthasfaa (Al-Gazali),
Al-Muharrar Al-Wajiiz (Ibnu Athiyyah) dan Funun Al-Afnan (Ibnul
Jauzi) dll.
Kemudian
pada abad ke-7 dan ke-8 Hijriah, karya-karya ulama yang memuat Qawaid Tafsir
makin banyak bermuculan. Diantaranya karya Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul
Qayyim, Al-Bahrul Muhith (Abu Hayyan), Tafsir Al-Qurtubi, Tafsir
Ibnu Katsir, Al-Burhan (Al-Zarkasyi) dan Al-Mantsur fii Qawa'id
Al-fiqh (Al-Zarkasyi).
Demikianlah
Qawaid Tafsir berkembang pada lima abad selanjutnya. Nanti pada abad ke-14
Hijriah kita menemukan kitab tersendiri yang merangkum Qawaid Tafsir, yaitu Al-Qawa'idul
Hisan Fii Tafsiril Qur'an karya Al-Allamah Abdul Rahman Al-Sa'di rahimahullah.
Hanya saja, menurut Khalid al-Sabt, buku ini masih merangkum Qawaid
dengan berbagai ragamnya. [15]
Adapun fase
kedua, nampaknya ada beberapa buku yang memberikan perhatian terhadap
Qawaid Tafsir, setidaknya terlihat dari judul yang menghiasinya. Diantaranya :
a. Qawaid
Tafsir karya Ibnu Taimiyyah
(W.621 H). Hanya saja, kitab ini tidak sampai kepada kita.
b. Al-Manhajul
Qawim fii Qawaid Tata'allaq bil Quranil Karim karya Ibnu Al-Sha'iq (W.777.H). Kitab ini juga tidak
diketahui keberadannya. Penulis Kasyfu Adz-Dzunun hanya menyebut
nama buku ini saja tanpa sedikit pun meresensi inti kandungnnya.
c. Qawaid
Tafsir karya
Ibnul Wazir (W.840 H). Kitab ini masih berupa manuskrif. Setelah diteliti oleh
khalid Al-Sabt, ternyata kitab tersebut merupaka salah satu pasal dari buku Iytsarul
Hak Alal Khalq karya beliau sendiri. Isinya memuat tentang metode
penafsiran, jenis serta tingkatannya.
d. Al-Taisir
Fii Qawa'id Ilmi Al-Tafsir
karya Muhmmad Sulaiman Al-Kafiji (W.879 H). Tetapi buku ini mambahas tentang
Ilmu-Ilmu Al-Qur'an.
e. Al-Qawa'id
Al-Hisan Fii Tafsiril Qur'an karya Al-Sa'di. Buku ini telah disinggung sebelumnya secara
umum.
f. Ushul At-Tafsir
Wa Qawa'iduhu
karya Khalid Abdul Rahman Al-Ak. Buku ini juga hanya membahas ilmu-ilmu seputar
al-qur'an.
g. Qawa'id
At-Tadabbur Al-Amtsal likitabillahi Azza Wa-Jalla. Karya Abdul Rahman Al-Habanakah
Al-Maidani. Hanya saja buku ini berisi hal-hal yang harus diperhatikan oleh
pembaca al-qur'an agar bisa mentadabburinya.
h. Qawa'id Wa
Fawa'id Lifiqhi Kitabillahi Ta'ala. Karya Abdullah Bin Muhammad Al-Juiy. Kitab ini berisi
sedikit pembahasan tentang Qawa'id Tafsir. Isinya kebanyakan hal-hal seputar latha'if
wa fawa'id yang disarikan dari al-qur'an.[16]
I.
Metode Yang Diterapkan Oleh Pengarang dalam penulisan kaidah
Ketika
penulisan dalam kaidah-kaidah tafsir masih sangat sedikit bahkan hampir-hampir
tidak ada, maka mustahil penulis menjelaskan metode yang diterapkan pengarang
dalam menulis kaidah-kaidah tafsir, oleh karena itu pembahasan yang akan kita
bahas disini adalah metode yang diterapkan ulama dalam menulis kaidah secara
umum. Dan dapat penulis uraikan beberapa kaidah yang diterapkan para ulama:[17]
a.
Penyusunan
sesuai abjad
b.
Penyusunan sesuai tema masalah
Penyusunan
dengan cara ini di bagi kepada 3 pembagian:
-
Kaidah secara umum kembali kepada kebanyakan masalah
-
Kaidah secara umum kembali kepada sebagian masalah
-
Kaidah yang diperselisihkan, dan kebanyakan dimulai dengan
kata “apakah” (هل)
c.
Menyebutkan
kaidah tanpa penyusunan
d.
Penyusunan
dengan metode bab-bab, seperti pada penyusuna bab-bab fiqhi
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara
umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk al-Qur’an. Oleh karena
penafsiran merupakan suatu aktivitas yang senantiasa berkembang, sesuai dengan
perkembangan sosial, ilmu pengetahuan dan bahasa, kaidah-kaidah penafsiran akan
lebih tepat jika dilihat sebagai suatu prosedur kerja. Dengan pengertian ini,
kaidah tersebut tidak mengikat kepada mufasir lain agar menggunakan prosedur
kerja yang sama. Setiap mufasir berhak menggunakan prosedur yang berbeda
asalkan memiliki kerangka metodologi yang dapat dipertanggungjawabkan
Penerapan kaidah tafsir bergantung pada kaidah yang digunakan oleh para
mufasir. Dari berbagai kaidah tersebut dapat dibagi menjadi tiga, yakni kaidah
dasar, kaidah umum dan kaidah khusus. Masing-masing kaidah diterapkan sesuai
dengan metode penafsirannya masing-masing
Pada era kontemporer kaidah tafsir semakin berkembang seiring dengan
perkembangan intelektualitas para pemikir muslim dan juga sesuai dengan
perkembangan intelektualitas global. Para pemikir muslim mengembangkan kaidah
dan metode penafsiran sesuai dengan situasi sosio-historis yang dihadapinya
masing-masing.
Berdasarkan paparan di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa :
·
Qawaid Tafsir memiliki urgensi nyata
dalam aktifitas penafsiran dan penulisan tafsir.
·
Qawaid tafsir melalui beberapa pase
pertumbuhan hinnga akhirnya menjadi disiplin ilmu yang memiliki system, konsep
dan formulasi dalam merangkai bagian-bagiannya.
·
Qawaid Tafsir merangkum rumusan
penting yang menjadi acuan umum dalam penafsiran dengan segala hal yang terkait
denganya.
Demikianlah yang dapat penulis simpulkan dari
pembahasan ini. Wallahu A'lam Bis-Shawab.
B.
Kritik dan Saran
Penulis
mengetahui dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan ketidak
sempurnaan,untuk itu penulis memohon kepada pembaca memberikan kritik dan saran
yang membangun,agar dalam penulisan selanjutnya bisa lebih baik lagi
DAFTAR PUSTAKA
-
As-Suyûthi,
al-Asybâh wâ nazdâir, (Beirut: Dar al-Kutub ‘ilmiyah, 1403).
-
Ahmad
bin Abdul Halim, Majmu’ Fatwa, juz 19. Ar-Riyad.
-
Manna’ Al-Qattan, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an,
(Riyadh; Mansyuraat Al-`Ashr Al-Hadits 1973).
-
Al-Itqaan Fii Ulum Al-Qur’an, juz 1.
-
Mukaddimah Qawa`id At-Tafsir; Jam`an Wa Dirasah..
-
Al-Qawa`id Al-Hisaan Li Tafsir Al-Qur’an, Abdurrahman
Nashir As-Sa`diy, (Kairo; Daar Ibnu Rajab 1423 H/ 2003 M).
-
Al-Qawa`id Al-Hisaan Li Tafsir Al-Qur’an.
-
Khâlid
Usman as-Sabt, Qawâ’id Tafsîr Jam’an wa Dirâsatan, (Dâr Ibnu Affân, 1415), h.
46.
-
Ushul At-Tafsiir, Khalid Abdul
Rahman al-Ak, (Baerut : Dar Al-Nafa'is), cet.2, th.1986,
[1] As-Suyûthi,
al-Asybâh wâ nazdâir, (Beirut: Dar al-Kutub ‘ilmiyah, 1403), h. 604. Manna al-Qhattan. Mabahis Fî ‘ulûm al-Qur’an.
[2] Ahmad bin
Abdul Halim, Majmu’ Fatwa, juz 19. Ar-Riyad. h. 203.
[3] Manna
al-Qhattan. Mabahis Fî ‘ulûm al-Qur’an.
[5] Manna’ Al-Qattan, Mabahits Fi Ulum Al-Qur’an,
(Riyadh; Mansyuraat Al-`Ashr Al-Hadits 1973), hal. 196
[8] Lihat : Al-Qawa`id Al-Hisaan Li Tafsir
Al-Qur’an, Abdurrahman Nashir As-Sa`diy, (Kairo; Daar Ibnu Rajab 1423 H/
2003 M).
[17] Khâlid Usman
as-Sabt, Qawâ’id Tafsîr Jam’an wa Dirâsatan, (Dâr Ibnu Affân, 1415), h. 46.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar