• Breaking News

    “Konsep Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali ( Sebuah Analisa Teoritis ).



    BAB I
    PENDAHULUAN

    A.    Latar Belakang Masalah
    Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang menentukan eksistensi dan perkembangan masyarakat tersebut, oleh karena pendidikan merupakan usaha melestarikan, dan mengalihkan serta mentranfortasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspeknya dan jenisnya kepada generasi penerus. Demikian pula halnya dengan peranan pendidikan  di kalangan umat Islam, merupakan salah bentuk manifestasi dari cita-cita hidup Islam untuk melestarikan, mengalihkan dan menanamkan (internalisasi) dan mentransformasikan nilai-nilai Islam tersebut kepada pribadi generasi penerusnya sehingga nilai-nilai cultural-religius yang dicita-citakan tetap berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu-kewaktu.
    Pendidikan Islam, bila dilihat dari segi kehidupan cultural umat manusia tidak lain adalah merupakan salah satu alat pembudayaan (enkulturasi) masyarakat itu sendiri. Sebagai suatu alat, pendidikan dapat difungsikan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia, (sebagai makhluk pribadi dan sosial), kepada titik optimal kemampuannya untuk memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidupnya di akhirat. Dalam hal ini, maka kedayagunaan pendidikan sebagai alat pembudayan sangat bergantung pada pemegang alat tersebut yaitu pendidik.
    Oleh karena itu, untuk memperoleh gambaran tentang pola berfikir dan berbuat dalam pelaksanaan pendidikan Islam pada khususunya, diperlukan kerangka berpikir teoritis yang mengandung konsep tentang pendidikan-pendidikan Islam, disamping konsep-konsep operasionalnya dalam masyarakat. Dengan kata lain bahwa untuk memperoleh suatu keberhasilan dalam proses pendidikan Islam, diperlukan adanya “Ilmu Pengetahuan” tentang “Pendidikan Islam “baik bersifat teoritis maupun praktis. Arifin (1991:8) mengemukakan beberapa alasan tentang perlunya Ilmu Pendidikan Islam secara Teoritis tersebut antara lain :
    1. Pendidikan sebagai usaha membentuk peribadi manusia harus melalui proses yang panjang, dengan resultat (hasil) yang tidak dapat diketahui dengan segera, berbeda denagan membentuk benda mati yang dapat dilakukan sesuai dengan keinginan pembuatnya.
    2. Pendidikan Islam pada khususnya yang bersumberkan nilai-nilai agama Islam disamping menanamkan atau membentuk sikap hidup yang dijiwai nilai-nilai tersebut, juga mengembangkan kemampuan berilmu pengetahuan sejalan denagan nilai-nilai Islam yang melandasinya adalah merupakan proses ikhtiariah yang secara pedagogis mampu mengembangkan hidup anak didik kearah kedewasaan/kematangan yang menguntungkan dirinya.
    3. Islam sebagai agama wahyu yang diturunkan oleh Allah dengan tujuan untuk mensejahterakan dan membahagiakan hidup dan kehidupan manusia didunia dan di akhirat.
    4. Ruang lingkup pendidikan Islam adalah mencakup segala bidang kehidupan manusia di dunia dimana manusia mampu memanfaatkan sebagai tempat menanam benih-benih amaliah yang buahnya akan dipetik di akhirat nanti.
    5. Teori-teori, hipotesa dan asumsi-asumsi kependidikan yang bersumberkan ajaran Islam sampai kini masih belum tersesusun secara ilmiah meskipun bahan-bahan bakunya telah tersedia, baik dalam kitab suci Al Quran dan Al Hadist maupun qaul ulama.

     Al-Ghazali mengemukakan, tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, bukan untuk mencari kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri kepada Allah SWT, akan dapat menimbulkan kedengkian, kebencian, dan permusuhan. ( Abuddin Nata : 2005:212 ).
    Melihat betapa besarnya perhatian Al-Ghazali terhadap pendidikan Islam, pada hakekatnya merupakan aktualisasi dari ajaran pendidikan Islam itu sendiri, yaitu : agama, ilmu, akhlak, mental dan masyarakat. Oleh karena itu, penulis berminat untuk mengadakan analisa terhadap konsep pendidikan Islam menurut Al-Ghazali. Dan dari itu penulis memilih judul Konsep Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali ( Sebuah Analisa Teoritis ).

    B.     Perumusan Masalah
    Agar dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang permasalahan yang diteliti, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
                 a.                   Bagaiamana konsep al-Ghazali dalam pendidikan Islam.
                b.                   Bagaimana al-Ghazali mengaktualisasikan konsep pendidikannya.

    C.    Tujuan dan Kegunaan Penelitian
    1. Tujuan Penelitian
    Penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang :
    a.       Ingin memperoleh informasi yang akurat tentang usaha-usaha Al-Ghazali dalam mempertahankan eksistensi konsep pendidikan, sebagai sub system pendidikan Islam.
    b.      Ingin mengetahui sejauhmana usaha-usaha yang dilakukan oleh Al-Ghazali dalam mengaktualisasikan konsep pendidikan Islam.
    1. Kegunaan Penelitian
    Adapun kegunaan penelitian dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
    a.       Kegunaan secara Teoritis yaitu : Dari hasil penelitian ini  diharapkan dapat dijadikan masukan kritis sekitar konsep yang dirumuskan oleh al-Ghazali. 
    b.      Kegunaan secara Praktis yaitu : dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan kepada semua pihak yang melakukan pendidikan Islam yang bercorak al-Ghazali.

    D.    Metodologi Penelitian
    1.      Rencana (Desaint Penelitian)
    Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu sejarah atau historiografi tentang al-Ghazali, kajian ini tidak hanya berkenaan mengenai kehidupan seperti yang biasa disajikan disekolah. Penelitian sejarah juga diterapkan terhadap bidang pengetahuan apa saja. Maksudnya ialah untuk belajar dari kesalahan dan keberhasilan yang terjadi didalam sejarah. Karena sejarah tentu juga adalah semacam pengalaman. Biasanya yang dilakukan dalam historiografi ialah penemuan keterkaitan antara berbagai kejadian yang telah terjadi dimasa lalu dan penelurusan masa lalu untuk menerangkan mengapa hal itu terjadi sekarang.
    Dalam garis besarnya ada empat kegiatan utama yang dilakukan dalam historiografi, yaitu menemukan bahan-bahan sejarah, pengujian ketat (tidak asal) dan keaslian sumber serta kesahehan fakta yang terkandung dalam bahan-bahan sejarah itu. (S. Margono, 2005 : 109).
    Disamping itu data yang dipergunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dari sumber-sumber pustaka yang sudah ada sebagai obyek kajian sebagai data sekunder (S. Margono, 2005 : 23).


    2.      Tehnik Pengumpulan Data
    Didalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode dokumentasi. Dari asal katanya dokumen, yang artinya barang-barang tertulis. Didalam melaksanakan dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen-dokumen dan sebagainya (Suharsimi Arikunto, 1997 : 149).
    Cara pengumpulan data seperti ini dilakukan juga melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip yang termasuk didalamnya buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah penelitian disebut tehnik dokumenter atau studi dokumenter (S. Margono, 2005 : 181).
    Sesuai dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu mengenai Konsep Pendidikan Islam Menurut al-Ghazali (sebuah Analisa Teoritis).

    3.      Tehnik Analisa Data
    Adalah data yang diperoleh melalui pengumpulan data maka dalam penganalisaannya penulis menggunakan kajian pustaka, maka kajian yang dimulai dengan pelaksanaan kepustakaan.
    Mengenal pustaka dan pengalaman orang lain berarti mencari teori-teori, konsep-konsep yang dapat dijadikan landasan teoritis bagi penelitian yang akan dilakukan, agar penelitian mempunyai dasar yang kokoh, dan bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and error) (S. Margono, 2005 : 78).
    Sedangkan tahapan analisis data dalam kajian ini dapat diuraikan antara lain (Suharsimi Arikunto, 1997 : 245-248).
    1.      Deskriptif yaitu, penelitian non hipotesis artinya dalam langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis.
    2.      Komparasi, yaitu menemukan permasalahan melalui persamaan-persamaan dan perbedaan tentang ide-ide, tentang orang, kelompok, kritik terhadap orang terhadap suatu ide atau prosedur kerja.
    Dapat juga membandingkan kesamaan pandangan dan perubahan-perubahan pandangan orang, grup atau Negara terhadap kasus, terhadap orang, peristiwa atau ide-ide.

    BAB II
    TINJAUAN TEORITIS TENTANG PENDIDIKAN ISLAM

    A.    Pengertian Pendidikan Islam
    Para ahli pendidikan menemui kesulitan dalam merumuskan definisi pendidikan. Kesulitan ini antara lain disebabkan oleh banyaknya jenis kegiatan serta aspek kepribadian yang dibina dalam kegiatan itu, masing-masing kegiatan tersebut dapat disebut pendidikan. Dengan perkataan lain kesulitan itu disebutkan oleh banyaknya jenis kegiatan dan luasnya aspek kepribadian yang harus dibina oleh pendidikan.(Ahmad Tafsir :1990:5)
    Rupert C.Lodge dalam Philosophy of Education (1974:23) menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Anak mendidik orang tuanya, murid mendidik gurunya, anjing mendidik tuannya. Semua yang kita sebut atau kita lakukan dapat disebut mendidik kita, begitu juga dikatakan dan dilakukan oleh selain kita dapat disebut mendidik kita. Dalam pengertian yang luas ini kehidupan adalah pendidikan dan pendidikan adalah kehidupan itu. (Ahmad Tafsir :1990:5)
     Memahami pendidikan Islam berarti kita harus menganalisis secara pedagogis suatu aspek utama dari sisi agama yang diturunkan kepada manusia. Oleh karena itu Islam sebagai petunjuk Ilahi mengandung implikasi pendidikan (paedagogis) yang mampu membimbing dan mengarahkan menjadi muslim, mukmin dan muhsin tahap demi tahap.
    Bila ingin kita mengetahui pengertian pendidikan Islam, maka kita akan melihat kepada kata Arab, karena ajaran Islam secara menyeluruh diturunkan dalam bentuk bahasa Arab. Dalam bahasa Arab ada beberapa istilah yang biasa dipergunakan dalam pengertian pendidikan Islam.
    Istilah yang biasa dipergunakan itu adalah kata tarbiyah.  Kata ini sering digunakan oleh para ahli pendidikan Islam untuk menerjemahkan kata pendidikan dalam bahasa Indonesia . Sebuah karangan Muhammmad Athiyah al-Abrasyi yang berjudul al-Tarbiyah  al-Islamiyah misalnya, diterjemahakan ke dalam bahasa Indonesia oleh Prof. H. Bustami A.Ghani (pakar di bidang bahasa Arab dari Indonesia) dan Johar Bahri menjadi Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Demikian pula buku yang berjudul Min al-Ushul al-Tarbawiyah Fi-al-Islam, karangan Abdul Fattah Jalal, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi Dasar-dasar Pendidikan Islam.( Abuddin Nata :2005:5 )
    Selain kata tarbiyah terdapat pula kata ta’lim. Kata ini oleh para penerjemah sering diartikan pengajaran. Dalam pengertian ini Jusuf A. Faisal, pakar dalam bidang pendidikan mengatakan bahwa pengertian pendidikan Islam dari sudut etimologi (ilmu akar kata) sering digunakan istilah ta’lim dan tarbiyah  berasal dari kata allama dan rabba yang dipergunakan dalam Al-Qur’an sekalipun kata tarbiyah  lebih luas konotasinya, yaitu mengandung memelihara, membesarkan dan mendidik sekaligus mengandung makna mengajar (allama). Selanjutnya Faisal mengutip pendapat Naquib Al attas dalam bukunya yang berjudul Islam and Secularisme sebagaimana tersebut diatas terdapat pula kata ta’dib yang ada hubungannya dengan kata adab yang berarti sopan santun. (Abuddin Nata :2005:6)
    Selanjutnya bagaimanakah penjelasan yang diberikan Al-Qur’an terhadap ketiga kata tersebut? Untuk ini Muhammad Fuad Abd al-Baqi dalam bukunya al-Mu’jam al-Mufahrasli Alfadz al-Qur’an al-Karim telah menginformasikan bahwa didalam Al-Qur’an kata tarbiyah dengan berbagai kata yang serumpun dengannya diulang sebanyak 872 kali. (Abuddin Nata : 2005:6)
    Kata tersebut berakar pada kata rabb. Kata ini sebagaimana dijelaskan oleh la Raghib al-Asfahany, pada mulanya berarti al-Tarbiyah  yaitu insya’ al-syai’ halan ila halin ila had tamam yang artinya mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi setahap sampai pada batas yang sempurna. Kata tersebut selanjutnya digunakan oleh Al-Qur’an untuk berbagai hal ini antara lain digunakan untuk menerangkan salah satu sifat atau perbuatan Tuhan, yaitu rabb al-‘alamin yang diartikan Pemelihara, Pendidik, Penjaga, Penguasa dan penjaga sekalian alam. (Abuddin Nata : 2005:6 )


    Artinya : “ Segala puji bagi Allah, Tuhan (yang mendidik) semesta alam.  (Depag RI. Al-Qur’an dan Terjamahan :1990:5:1:1)
    Dan juga firman Allah yang berbunyi :




    Artinya: “ Demi, Jika engkau memukulku dengan tanganmu, karena hendak membunuhku, niscaya aku tidak akan memukul engkau dengan tanganku hendak membunuhmu, sesungguhnya aku takut akan Allah, Tuhan semesta alam. (Al Qur’an Tarjamah.Al-Ma’arif :1989:102)

    Beberapa ayat tersebut di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa kata rabb sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an ternyata digunakan untuk menunjukkan obyek yang bermacam-macam, yang dalam hal ini meliputi benda-benda yang bersifat fisik dan non-fisik. Dengan demikian, pendidikan meliputi pemelihraan terhadap seluruh mahkluk Tuhan.
    Juga kata tarbiyah dipergunakan untuk pendidikan. Seperti firman Allah dalam surat Isra’ yang berbunyi :

         

    Artinya :“Hai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka mendidikku sewaktu kecil”. (Depag RI. Al-Qur’an Terjamahan: 1990:428:17:24)

    Adapun mengenai kata ta’dib yang berakar pada kata addaba tidak dijumpai dalam Al-Quran. Kata tersebut dijumpai dalam hadist antara lain yang artinya: “Tuhanku telah mendidikku, dan telah membuat pendidikanku itu sebaik-baiknya.”(Hasan Langgulung : 1987:5)
    Dalam pembahasan selanjutnya dijumpai perbedaan pendapat dikalangan para ahli mengenai pemakaian kata tersebut dalam hubungannya dengan pendidikan Abdurrahman Al-Nahlawi, misalnya lebih cenderung menggunakan kata tarbiyah untuk kata pendidikan.(Abuddin Nata : 2005:7)
    Ia lebih lanjut mengatakan bahwa kata tarbiyah  berasal dari tiga kata, yaitu pertama dari kata rabba, yarbu yang berarti bertambah dan bertumbuh, karena pendidikan mengandung misi untuk menambah bekal pengetahuan kepada anak didik dan menumbuhkan potensi yang dimilikinya, kedua, dari kata rabiya, yarba yang berarti menjadi besar, karena pendidikannya juga mengandung arti untuk membesarkan jiwa dan memperluas wawasan seseorang, dan ketiga dari kata rabba yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara sebagaimana telah dijelaskan diatas.(Abuddin Nata : 2005:7)
    Dari sini kemudian penulis mengambil beberapa kesimpulan pokok untuk memahamai makna pendidikan, sebagai berikut:
    Pertama, pendidikan adalah proses yang mempunyai tujuan, sarana dan obyek.
    Kedua, secara mutlak pendidikan yang sebenarnya hanyalah Allah, pencipta fitrah dan pemberi berbagai potensi dialah yang memberlakukan hukum dan tahapan perkembangan serta interaksinya, dan hukum-hukum untuk mewujudkan kesempurnaan, kebaikan serta kebahagiaan.
    Ketiga, pendidikan menurut adanya langkah-langkah yang secara bertahap harus dilalui oleh berbagai kegiatan pendidikan dan pengajar, sesuai dengan urutan yang disusun secra sistematis. Anak didik melakukan kegiatan tersebut fase demi fase.
    Keempat, kerja pendidikan harus mengikuti aturan penciptanya dan pengadaan yang dilakukan Allah sebagaimana harus mengikuti syara’ dan agama Allah.
    Mengemukakan bahwa hakikat pendidikan Islam dalah usaha orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya. (Arifin :1989:32)
    Proses bimbingan (pimpinan, tuntunan, asuhan) oleh obyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi dan lain-lain sebagainya).dan bahan ubahan materi tertentu pada jangka waktu tertentu dengan metode tertentu dan dengan alat kelengkapan yang ada kearah tercapainya pribadi tertentu disertai evaluasi dengan ajaran Islam.
    Fadil Al-Jamali mengartikan pendidikan sebagai proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan dapat mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarannya (pengaruh dari luar).(Ahmad Tafsir :1990:6)
    Muhammad Labib Al-Najihi (1997:13) memberi defibnisi pendidikan : “bukanlah ia fikiran mewah, juga bukan seperti anggapan sebagaian filosof sebagai usaha mencari kebenaran, terlepas dari budaya diamana ia berada, tetapi (pendidikan itu) adalah pernytaan sudut pandangan seorang atau lebih filosof terhadap peristiwa-peristiwa sosial, lembaga-lembaga , nilai-nilai dan sistem-sistem yang menguasai zamannya di atas mana budayanya berdiri. Adakah hasil pemikiran filsafat ini pembelaan terhadap budaya atau serangan terhadapnya, ataukah sintesis antara berbagai kepentingan atau maslahat, tetapi pada akhirnya adalah suatu pernyataan terhadap apa yang menguasai budaya itu dan pantulan terhadap berbagai pertarungan yang sedang bergejolak dalam budaya tersebut”. (Hasan Langgulung :1987:119)
    Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah usaha meningkatkan diri dalam segala aspeknya. Definisi ini mencakup kegiatan pendidikan yang melibatkan guru maupun yang tidak melibatkan guru (pendidik), pendidikan formal, maupun nonformal serta informal. Pendidikan dalam definisi ini adalah seluruh aspek kepribadian. ( Ahmad Tafsir 1990:6)
    M. Yusuf Al-Qardhawi memberikan pengertian, bahwa: ”pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya.”. (Azyumardi Azra : 2000:5)
     Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai suatu “proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat”. (Azyumardi Azra: 2000:5).
    Endang Saifuddin Anshari memberikan pengertian pendidikan Islam sebagai “Proses bimbingan (pimpinan, tuntutan, usulan) oleh subyek didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, instuisi dan sebagainya), dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi-materi tertentu, pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan dengan alat perlengkapan yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan ajaran Islam.(Azyumardi Azra : 2000:6)
    Pendidikan Agama juga berarti : Usaha-usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam.(Zuharini, abdul Gafur, Slamet As. Yusuf, 1978 : 28)
    Dari beberapa definisi tersebut diatas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses bimbingan jasmani dan rohani yang berdasarkan pada ajaran-ajaran Islam untuk menuju kearah terwujudnya suatu kepribadian utama yang menyeluruh, sehingga dengan pendidikan tersebut anak didik mampu menjalankan tugas kemanusiaannya dengan baik, sebagai hamba Allah, sebagai warga masyarakat, dan sebagai makhluk yang berhubungan dengan alam sekitarnya.
    Adapun yang dimaksud dengan kepribadian yang utama dalam pembahasan ini adalah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang memiliki tanggung jawab dan tercermin dalam dirinya nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.
    Dengan melihat berbagai pendapat pakar pendidikan itu, maka ruang lingkup pendidikan ini tidak terbatas pada bidang yang diarahkan pada kehidupan duniawi semata, akan tetapi keduanya dipadukan secara integral, yaitu suatu kesatuan yang utuh dan bermakna bagi kehidupan manusia.

    B.     Asas-Asas Pendidikan Islam
    Menurut Hasan Langgulung (1992:6) bahwa pendidikan itu mempunyai asas-asas tempat ia tegak dalam materi, interaksi, inovasi dan cita-citanya. Seperti halnya kedokteran, teknik atau pertanian, masing-masing tidak dapat berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu sarana di mana dipraktekkan sejumlah ilmu yang erat hubungannya antara satu dan lainnya dan jalin menjalin.
    Berdasarkan pandangan tersebut, dapat diketahui, bahwa yang dimaksud dengan asas pendidikan adalah sejumlah ilmu yang secara fungsional sangat dibutuhkan untk membangun konsep pendidikan, termasuk pula dalam melaksanakannnya. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan sebagai sebuah ilmu sangat membutuhkan dukungan dari ilmu-ilmu lain, seperti ilmu sejarah, psikologi manajemen, sosiologi, antropologi, teologi dan sebagainya.(Abuddin Nata:2005:64)
    Dalam hal ini, Hasan Langgulung misalnya menyebutkan adanya  enam bidang ilmu yang dibutuhkan oleh pendidikan.Keenam ilmu tersebut adalah ilmu sejarah (historis), ilmu sosial, ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu psikologi dan filsafat.(Abuddin Nata :2005:64)
    Selain menggunakan kata asas-asas, dikalangan para ahli pendidikan Islam juga ada yang mempergunakan kata prinsip-prinsip yang menjadi dasar pendidikan Islam. Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani misalnya menyebutkan adanya lima prinsip yang harus digunakan sebagai asas dalam membangun konsep pendidikan Islam. Lima prinsip atau lima asas tersebut adalah prinsip yang menjadi dasar pandangan Islam terhadap jagat raya, prinsip yang menjadi dasar pandangan Islam terhadap manusia, prinsip yang menjadi dasar pandangan Islam terhadap masyrakat, prinsip yang menjadi dasar teori pengetahuan pada pemikiran Islam, dan prinsip-prinsip yang menjadi dasar falsafah akhlak dalam Islam.(Abuddin Nata :2005:66)
    Prinsip yang menjadi dasar pandangan Islam terhadap jagat raya mengandung uraian tentang kepercayaan yang mengatakan bahwa pendidikan adalah proses dan usaha mencari pengalaman dan perubahan yang diingini oleh tingkah laku, bahwa jagat raya sebagai suatu selain Allah.(Abuddin Nata : 2005:67)
    Penggunaan pandangan jagat raya seabagi asas pendidikan sebagaaimana tersebut diatas, sangat diperlukan, karena dalam pelaksanaannya pendidikan membutuhkan berbagai sarana yang ada di alam jagat raya ini. Selanjutnya prinsip yang menjadi asas pendidikan berupa pandangan tentang manusia mengandung arti kepercayaan bahwa manusia adalah sebagai makhluk yang termulia di alam jagat raya. Ia adalah sebagai makhluk yang berpikir, mempunyai tiga dimensi, yaitu badan, akal dan ruh, sebagai makluk yang dapat menerima warisan yang bersumber dari alam lingkungan, memiliki motivasi dan kebutuhan, memiliki perbedaan antara satu danlainnya, serta mempunyai keluwesan sifat dan dapat berubah.(Abuddin Nata :2005:67)
    Selanjutnya prinsip yang menjadi asas pendidikan berupa pandangan tentang manusia mengandung arti kepercayaan bahwa manusia adalah sebagai makhluk yang termulia dialam jagat raya. Ia adalah sebagai makhluk yang berfikir, mempunyai tiga dimensi, yaitu badan, akal, ruh, sebagai makhluk yang dapat menerima warisan yang bersumber dari alam lingkungan, memiliki motovasi dan kebutuhan, memiliki perbedaan antara satu dan lainnya, serta mempunyai keluwesan sifat dan dapat berubah.(Abuddin Nata :2005:68)
    Dalam pada itu, pandangan tentang asas masyarakat didasarkan pada pandangan bahwa masyarakat adalah salah satu faktor utama yang memberi pengaruh dalam pendidikan dan kerangka di mana berlangsung proses pendidikan, dan di situ juga berlakunya penentuan tujuan-tujuan, kurikulum, metode dan alat-alat pendidikan. Dan oleh karena itu Islam mempunyai pandangan khusus terhadap masyarakat dan kehidupan, maka haruslah ditentukan prinsip-prinsip yang menjadi dasar pandangan ini ketika berusaha membina falsafah pendidikan.(Abuddin Nata :2005:69)
    Prinsip tentang alam jagat raya, manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan dan akhlak dalam hubungannya dengan pendidikan sebagaimana tersebut di atas dengan mudah dapat dijumpai di dalam Al-Qur’an.
     Menurut Fazlur Rahman, Al-Qur’an sedikit sekali berbicara tentang kejadian alam (kosmolog). Pendidikan Islam merupakan suatu aktivitas pengembangan dan pembentukan seluruh aspek kepribadian manusia yang berlangsung seumur hidup. Sebagai suatu aktivitas tentunya pendidikan Islam merupakan suatu landasan kerja untuk memberi arah bagi tercapainya tujuan yang telah diprogramkan.(Abuddin Nata: 2005:75)
    Berdasarkan informasi tersebut kita dapat melihat hubungan paham alam jagat raya dengan pendidikan dalam empat hal. Pertama, dengan menyakini bahwa alam sebagai ciptaan Allah, maka alam jagat raya selain dapat dipergunakan untuk semakin menyakini adanya Allah, juga agar dalam penggunaannya tidak boleh melanggar ketentuan Allah. Kedua, dengan mengetahui bahwa alam jagat raya ini terdapat pola-pola, watak-watak, kecenderungan-kecenderungan, ukuran, batasan, dan berbagai keistimewaan lainnya selain akan memberikan petunjuk kepada manusia tentang cara-cara memanfaatkan alam jagat raya, juga mengenai adanya pengetahuan ilmiah yang menghasilkan berbagai teori ilmu pengetahuan yang disebut sebagai natural science atau ilmu pengetahuan murni.Ketiga, dengan mengetahui bahwa alam jagat raya memiliki keterbatasan, maka diharapkan manusia tidak sampai mempertuhankan terhadap alam. Keempat, dengan pengetahuan terhadap alam jagat raya akan mendorong manusia untuk menyadari bahwa dirinya sangat membutuhkan kehadirannya. Hal ini penting dicatat, agar tercipta prilaku yang akrab dan ramah denagan alam jagat raya.
    Pendidikan Islam yang dilaksanakan dalam suatu sistem memberikan kemungkinan berprosesnya bagian-bagian kearah tujuan yang telah ditetapkan ajaran Islam. Proses itu adalah bersifat konstan dan konsisten apabila dilandasi dengan dasar pendidikan yang menjamin terwujudnya tujuan pendidikan. Pendidikan Islam sebagai aktivitas pembentukan manusia utama, haruslah memiliki landasan tempat berpijak bagi semua kegiatan dan perumusan pendidikan Islam yang saling berhubungan, sehingga usaha pendidikan tersebut mempunyai keteguhan dan sumber keyakinan, yang pada akhirnya mau mencapai tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
    Meletakkan dasar pendidikan Islam berarti harus meletakkan dasar-dasar agama Islam yang memberikan ruang lingkup berkembangnya proses pendidikan Islam dalam rangka, mencapai tujuan, sebab bagi umat Islam, maka dasar agama Islam merupakan pondasi utama bagi keharusan berlangsungnya pendidikan. Karena agama Islam bersifat universal yang mengandung seluruh aspek kehidupan manusia dalam rangka hubungan denagan Khalik-nya yang diatur dalam “Ubudiyah”, juga hubungan dengan sesamanya yang diatur dengan “Mu’amalah”.
    Landasan atau dasar pendidikan Islam secara singkat dan tegas yang terdapat dalam firman Allah SWT dan Sunnah Rasulullah SAW. Kalau pendidikan diibaratkan bangunan, maka isi Al-Qur’an dan Hadistlah yang menjadi pundamennya.
    Landasan atau dasar pendidikan Islam sudah pasti adalah Al-Quran dan Hadist, alasannya adalah firman Allah yang pertama kali turun dan disampaikan kepada Rasulullah ada perintah membaca, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an :


    Artinya : “ Bacalah (ya Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan”. (Depag RI.Al Qur’an Terjemahan :1990: 1079: 96:1)
    Rasulullah juga telah memberikan peringatan dengan sabdanya yang artinya : “Menuntut ilmu diwajibkan atas semua orang Islam laki-laki dan perempuan.” (Masan : 2004:62)
               
    Dari keterangan ayat diatas, jelaslah yang menjadi dasar atau landasan bagi seluruh manusia yang beriman kepada Allah, termasuk pendidikan Islam, adalah kitabullah dan sunnah rasul-Nya. Selain pokok sumber tersebut, dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa sumber dasar pendidikan Islam digolongkan kedalam dua bagian, yaitu sumber pokok dan sumber tambahan yaitu :
    1.      Sumber pokok yang terdiri dari :
    a.       Al-Qur’an
    b.      Al-Hadist
    2.      Sumber tambahan ialah Al-Ijtihad
    Ijtihad menurut ilmu ushul ialah “Mencurahkan daya kemampuan untuk menghasilkan hukum syara’ secara terperinci”. (A. Djazuli 1993:67) memberikan definisi tentang ijtihad sebagai berikut :
    Ijtihad dalam arti yang luas adalah mengerahkan segala kemampuan untuk mencapai sesuatu yang diharapkan. Sedangkan ijtihad dalam hal yang ada kaitannya dengan hukum adalah: Mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki untuk dapat meraih hukum yang mengandung nilai-nilai uluhiyah atau mengandung sebanyak mungkin nilai syari’ah”.
    Seorang mujtahid mengerahkan segala potensi yang ada padanya, kecerdasan akalnya, kehalusan rasanya, keluasan imajinasinya, ketajaman intuisinya dan keutamaan kearifannya. Sehingga hukum yang dihasilkan nya merupakan hukum yang benar, indah dan bijaksana. Hal ini sudah tentu tidak mudah. Karena itu seorang mujtahid harus memiliki syarat-syarat tertentu. Ada ulama yang memberikan syarat yang sangat banyak dan ada pula yang hanya menentukan beberapa syarat saja. Ukuran kualitas seorang mujtahid antara lain ditentukan oleh syarat-syarat tersebut. Di antara syarat-syarat yang sangat penting adalah :
    1.      Mengetahui Al-Qur’an, Assunnah dan bahasa Arab dengan pengetahuan yang luas dan mendalam.
    2.      Mengetahui maqasidu Syari’ah, prinsip-prinsip umum dan semangat ajaran Islam.
    3.      Mengetahui thuruq Al-Istinbath Ushul Fiqh, metode menemukan dan menerapkan hokum, agar hokum hasil ijtihad lebih mendekati kepada kebenaran.
    4.      Memiliki akhlak yang terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad pada prinsipnya ada tiga macam cara berijtihad :
    a)      Dengan memperhatikan kaidah-kaidah bahasa (linguistik) seperti kemungkinan-kemugkinan arti sesuatu kata, ruang lingkup kata, pemahaman terhadap kata, gaya bahasa dan lain-lain.
    b)      Dengan menggunakan qaidah qiyas (analogi) dengan memperhatikan asal, cabang, hukum asal dan illat hukum.
    c)      Dengan memperhatikan semangat ajaran Islam atau ruh Syari’ah. Untuk ini sangat menentukan kaidah-kaidah kulliyah Ushul Fiqih,  kaidah-kaidah kulliyah Fiqhiyah, prinsip-prinsip umum hukum Islam dan dalil-dalil kulli.
    Lapangan ijtihad itu meliputi dalil-dalil yang qot’i wurudlnya tetapi dhani dalalahnya, yang dhani wurudlnya qot’i dalalahnya, yang dhani wurudlnya dan dalalahnya serta terhadap kasus-kasus yang tidak ada hukumnya.
    Ditinjau dari subjek yang melakukan ijtihad, ijtihad itu ada dua macam :
    a)      Ijtihad Fardhi, yaitu ijtihad yang dilakukan secara perorangan.
    b)      Ijtihad Jama’i, yaitu ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok orang.
    Menghadapi perkembangan dunia yang semakin maju ini, serta agama (kompleksitas) permasalahan, baik dibidang sosial, ekonomi, hukum, politik, budaya, serta pendidikan. Maka tuntutan para cendikiawan dan para ulama’ dari kaum muslimin untuk melaksanakan ijtihad, sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang dimilikinya, yang hasilnya dipergunakan untuk kepentingan umat. Ijtihad dibidang pendidikan ternyata semakin perlu sebab ajaran Islam yang terdapat didalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah bersifat pokok-pokok dan prinsif-prinsifnya saja bila ternyata ada yang agak terperinci, maka perincian itu adalah sekedar contoh dalam menerapkan prinsif itu. Sejak Al-Qur’an diturunkan sampai Nabi Muhammad SAW wafat, ajaran Islam telah tumbuh, dan berkembang memulai ijtihad yang dituntut oleh perbuatan situasi dan kondisi yang tumbuh dan berkembang pula. Sebaliknya ajaran Islam sendiri telah berperan mengubah kehidupan manusia menjadi kehidupan muslim.
    Pergantian dan perbedaan zaman terutama karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang bermuara pada perubahan sosial telah menuntut ijtihad dalam bentuk penelitian dan pengkajian kembali ajaran-ajaran Islam apakah ia boleh ditafsirkan dengan lebih baik serasi dengan lingkungan dan kehidupan sosial  sekarang ?. Kalau ajaran itu memang prinsif, yang tidak boleh diubah, maka lingkungan sosialah yang perlu diciptakan dan disesuaikan dengan psinsif itu. Sebaliknya, jika dapat ditafsir maka ajaran-ajaran itulah yang menjadi lapangan ijtihad.
    Kita hidup sekarang di zaman dan lingkungan yang jauh berbeda dengan zaman dan lingkungan ketika ajaran Islam itu diterapkan untuk pertama kali. Disamping itu juga kita yakin pula bahwa ajaran Islam itu berlaku disegala zaman dan tempat, disegala situasi dan kondisi lingkungan sosial . Kenyataan yang dihadirkan oleh peralihan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan menyebabkan kebutuhan manusia semakin banyak. Kebutuhan itu ada primer dan ada yang sekunder, kebutuhan primer adalah kebutuhan pokok yang mendasar bila tidak dipenuhi, kehidupan akan rusak. Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan pelengkap yang kalau tidak dipenuhi, tidak akan merusak kehidupan secara total.
    Sebagai makhluk individu dan sekaligus makhluk social, manusia tentu saja mempunyai kebutuhan individu dan kebutuhan social menurut tingkatan-tingkatannya, dalam kehidupan bersama untuk kelanjutan kehidupan kelompoknya. Kebutuhan-kebutuhan ini meliputi berbagai aspek kehiudpan individu dan sosial, seperti system politik, ekonomi, sosial dan pendidikan yang tersebut terakhir adalah kebutuhan yang terpenting karena pendidikan menyangkut pembinaan generasi mendatang dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang tersebut sebelumnya.
    Sistem pembinaan, disatu pihak dituntut agar senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman. Ilmu dan teknologi yang berkembang cepat. Dilain pihak dituntut agar tetap bertahan dalam hal kesesuaian dengan ajaran Islam. Hal ini merupakan suatu masalah yang senantiasa menuntut mujtahid muslim dibidang pendidikan untuk selalu berijtihad sehingga teori pendidikan Islam selalu relevan dengan tuntutan zaman, ilmu dan tekhnologi tersebut. Kegiatan pendidikan dan pengajaran yang merupakan tugas setiap warga Negara dan pemerintah harus berlandaskan pada filsafat dan berpandangan hidup yang sama. Oleh karena itu landasan pendidikannya harus sesuai dengan filsafat dan pandangan hidup itu sendiri dan penganut suatu agama yang kuat dan taat, seluruh aspek kehidupannya harus disesuaikan dengan ajaran agama serta filsafat dan pandangan hidup bangsanya. Bila ternyata terdapat ketidaksesuaian atau pertentangan, maka para mujtahid dibidang pendidikan harus berusaha mencari jalan keluarnya dengan menggunakan ijtihad yang telah digariskan oleh agama, dengan ketentuan bahwa ajaran agama yang prinsif tidak boleh dilanggar atau ditinggalkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan ijtihad.
    Sejalan dengan itu, maka pendidikan Islam sebagai suatu tugas dan kewajiban pemerintah dalam mengemban aspirasi rakyat, harus mencerminkan dan menuju kearah tercapainya masyarakat yang agamis. Dalam kegiatan pendidikan agama harus mengisi dalam setiap lembaga pendidikan, ini berarti bahwa pendidikan Islam iti,  selain berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah, juga berlandaskan ijtihad dalam menyesuaikan kebutuhan suatu bangsa yang selalu berkembang mengikuti irama perkembangan zaman, dalam ijtihad itu penyesuaian konsep yang digunakan sebagai penerapan kebijakan pendidikan sekaligus digunakan landasan pendidikan, termasuk pendidikan agama.

    C.     Isi Pendidikan Islam
    Isi pendidikan Islam memiliki sejumlah karakteristik yang digali dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Sebagai sumber ajaran Islam. Karakteristik pertama tampak pada kriteria pemilihannya, yaitu iman, ilmu, amal, akhlak, dan sosial. Dengan kriteria tersebut pendidikan Islam merupakan pendidikan keimanan, ilmiah, amaliah, moral, dan sosial. Dengan criteria tersebut tersebut terhimpun dalam firman Allah ketika menyifati kerugian manusia yang menyimpang dari jalan pendidikan Islam, baik manusia sebagai individu, manusia sebagai jenis, manusia sebagai generasi maupun umat manusia secara keseluruhan. (Suparta, Herry Noer Aly : 2002: 101)



    Artinya : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriaman dan mengerjakan amal shaleh, dan nasehat-menasehati supanya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supanya meneati kesabaran.(Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan:1990: 1099:1).

    Firman tersebut sekaligus menunjukkan bahwa proses pendidikan berpusat pada manusia sebagai sasaran taklif, dan merupakan proses sosial yang menuntut kerja sama masyarakat diberbagai lapangan kehidupan.
    1.      Pendidikan Keimanan
    Pendidikan Islam berwatak Robbani. Watak tersebut menempatkan hubungan antara hamba dan al-Khaliq sebagai isi pertama pendidikan Islam. Dengan tersebut, kehidupan individu akan bermakna, perbuatannya akan bertujuan, dorongannya untuk belajar dan beramal akan tumbuh, akhlaknya menjadi mulia, dan jiwanya menjadi bersih, sehingga pada gilirannya ia akan memiliki kompetensi untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dengan demikian, pendidikan keimanan merupakan pendidikan rohani yang unik bagi individu.(Suparta, Herry Noer Aly:2002:103)
    Pendidikan Rabbani atau pendidikan keimanan tidak sama dengan pendidikan keagamaan dalam arti pendidikan kependetaan seperti yang berlangsung di Barat denagan nama Religious Education. Pendidikan semacam itu tidak ada di dalam kamus Islam, sebab pendidikan Islam mencakup Islam itu sendiri dengan segala konsepnya.(Suparta, Herry Noer Aly :2002:103)
    Ayat-ayat al-Qur’an yang menyerukan keimanan sangat bervariasi sejalan dengan bervariasinya lapangan kehidupan itu sendiri umpamanya Allah berfirman:






    Artinya : Alif lam Mim. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur’an) yang telah diturnkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka dan merekalah orang-orang yang beruntung.(Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan:1990:8:2:15)
               
    Dr. Fadhil al-Jamali, di dalam bukunya, al-falsafah al Tarbawiyyah fi al-Qur’an (Filsafat Pendidikan dalam Al-Qur’an) mengemukakan hubungan antara iman dan amal saleh sebagai berikut: (Suparta, Herry Noer Aly :2002:108)
    Iman merupakan sumber akhlak yang luhur. Akhlak pada gilirannya menuntun manusia untuk menemukan kebenaran dan hakikat, yaitu ilmu, sedangkan ilmu akan menuntun manusia untuk mengerjakan amal saleh.(Suparta, Herry Noer Aly:2002:108)
    2.      Pendidikan Amaliah
    Pendidikan Islam meemperhatikan aspek amaliah karena manfaatnya yang besar bagi kehidupan didunia berupa kebaikan kebahagiaan bagi individu dan masyarakat. Perhatian tersebut terlihat dalam sabda Rasulullah SAW, maupun firman Allah. Rasulullah SAW bersabda:
    Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak memberi manfaat.(Suparta, Herry Noer Aly:2002:114)
    Allah berfirman:


    Artinya : Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni sorga; mereka kekal di dalamnya.(Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan:1990:23:82)

    Perhatian pendidikan Islam yang demikian tetap berada dalam prinsip keseimbangan antara aspek teoritis dan praktis. Prinsip ini merupakan karakteristik sistem pendidikan Islam, sehingga berpengaruh terhadap terciptanya hidup seimbang.
    Berikut ini beberapa contoh ayat al-Qur’an yang menunjuk kepada aspek pendidikan amaliah dalam Islam:(Suparta, Herry Noer Aly:2002:119)
    a.       Islam menekankan pendidikan yang berorientasi pada pencapaian kebaikan bagi individu dengan menawarkan amal saleh sebagai simbol orientasi baru. Dengan amal saleh akan lahir manusia baru yang berhak memperoleh kebaikan, sebab amal saleh yang dilakukannya akan membuatnya berbeda dari sebelum memperoleh pendidikan akhlak dan amal saleh.



    Artinya : Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal saleh, maka kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan:1990:569 :25:70)
    b.      Islam selalu mengaitkan kejujuran iman dengan amal saleh sebagai manifestasinya:




    Artinya :  Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan:1990: 928: 61: 2-3)
    c.       Islam mengaitkan ilmu yang hakiki dengan amal saleh:




    Artinya : Berkatalah orang-orang yang dianugrahi ilmu, “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang-orang yang sabar.” (Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan:1990:624:28:80)
    d.      Islam mengaitkan nilai hakiki manusia dengan kualitas amalnya, bukan dengan harta ataupun keluarganya:





    Artinya :   Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihatan (balasan)nya pula. (Depag RI.Al Qur’an dan Terjemahan:1990:1087:99:7-8)
    e.       Pendidikan amaliah yang dikehendaki Islam disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan individu:



    Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Depag RI.Al Qur’an dan Terjemahan:1990: 72: 2: 286).
    f.       Pendidikan amaliah dalam Islam diberikan kepada semua individu masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan:



    Artinya :   Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk kedalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. (Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan:1990:142: 4:124).
    g.      Pendidikan amaliah dalam Islam memperhatikan kualitas amal, tidak sekedar memperhatikan kuantitasnya:



    Artinya : Dan sesungguhnya akan kami balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan: 16:97).
    h.      Pendidikan amaliah memberi individu ketentraman dan rizki didunia serta kebahagian di akhirat. Hal ini merupakan motivasi bagi manusia untuk terus melakukan amal saleh sesuai dengan kemampuannya. Sebaliknya, amal yang buruk atau tidak berbuat sama sekali hanya akan membuahkan kemalasan, hal-hal negatif, kemunduran, dan pengangguran di dunia serta kecelakan di akherat.


    Artinya : Orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagian dan tempat kembali yang baik. (Depag RI.Al Qur’an dan Terjemahan:1990:374:13: 29 ).

    3.      Pendidikan Ilmiah
    Isi pendidikan Islam yang lain ialah ilmu pengetahuan: dimulai dengan keterampilan membaca dan menulis (Suparta, Herry Noer Aly:2002:128)


    Artinya : Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis. (Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan:1990:960: 68: 1).
    Pandangan Islam terhadap ilmu pengetahuan bersifat komprehensif karena lahir dari prinsif kesatuan yang merupakan aspek penting dalam konsep Islam. Atas dasar itu, Islam mendorong manusia untuk mempelajari setiap pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya, masyarakat dan semua umat manusia, baik dalam lingkup pengetahuan kesyari’atan maupun pengetahuan sosial, kealaman ataupun pengalaman lainnya.(Suparta, Herry Noer Aly:2002:129)
    Pandangan Islam tentang proses memperoleh ilmu pengetahuan menempatkan aktivitas pendidikan dan pengajaran pada derajat ibadah dan kesucian.Rasullullah saw bersabda:
    Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah membawanya ke suatu jalan menuju surga.(Suparta,Herry Noer Aly:2002 :129)
    Pandangan Islam tentang hubungan antara isi pengetahuan dan pentingnya pendidikan dalam pandangan Islam.



    Artinya : Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambanya hanyalah ulama’. (Depag RI.Al Qur’an dan Terjemahan:1990:700: 35:28).
    Islam menganjurkan kepada manusia untuk menggunakan akalnya secara maksimal. Anjuran tersebut dipertegas dengan kecaman terhadap orang yang tidak menggunakan akalnya untuk meneliti, memperhatikan dan menggali bukti-bukti serta menarik kesimpulan dari berbagai pengetahuan, baik pengetahuan keagamaan maupun keduniaan. Anjuran tersebut tampak pada firman Allah sebagai berikut.(Suparta, Herry Noer Aly:2002:130)


    Artinya : Katakanlah, “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.” (Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan:   1990 :322 :10  :101)
    Itulah beberapa ayat yang singkat dan padat tentang seruan kepada manusia untuk melakukan penelitian dan perenungan terhadap penciptaan segala makhluk hidup, langit, dan bumi guna mengambil peringatan dan pelajaran.(Suparta, Hery Noer Aly:2002:131)

    4.      Pendidikan Akhlak
    Pendidikan akhlak merupakan bagian besar dari isi pendidikan Islam. Posisi ini terlihat dari kedudukan Al-Qur’an sebagai referensi paling penting tentang akhlak bagi kaum muslimin: individu, keluarga, masyarakat dan umat. Akhlak merupakan buah Islam yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusian serta membuat hidup dan kehidupan menjadi baik. Akhlak merupakan alat kontrol phisikis  dan sosial bagi individu dan masyarakat. Tanpa akhlak, masyarakat manusia tidak akan berbeda dari kumpulan binatang.(Suparta, Hery Noer Aly:2002:133)
    Allah menjadikan Al-Asma’al-husna sebagai nilai ideal akhlak yang mulia dan menyerukan kepada manusia untuk meneladaninya sebaliknya, Allah mencela akhlak buruk yang disandang oleh orang kafir dan musyrik.



    Artinya : Hanya milik Allah Asma’al-husna, maka bermohonlah kepadanya dengan menyebut al asma’al-Husna itu. (Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan:1990:252:7:180).
    Perjalanan hidup Nabi SAW. Penuh dengan akhlak luhur yang apabila diterapkan didalam kehidupan akan memberi kebahagian bagi individu dan masyarakat.
    Pendidikan akhlak dalam Islam yang tersimpul dalam prinsif  “berpegang pada kebaikan serta kebajikan serta menjauhi keburukan dan kemungkaran” berhubungan erat dengan upanya mewujudkan tujuan besar pendidikan Islam, yaitu ketakwaan, ketundudukan dan beribadah kepada Allah. Hubungan ini sebenarnya merupakan hubungan sesama isi pendidikan Islam.(Suparta, Herry Noer Aly:2002:136)





    Artinya : Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang beruntung.(Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan: 1990: 93:3:104)
    Dalam realitas budaya barat, akhlak atau apa yang disebut akhlak telah mengakibatkan kehancuran. Apa yang mereka pandang sebagai kasih sayang, sehingga terhadap binatang, berubah dalam penerapannya dimasyarakat yang dijajah dan Negara berkembang menjadi penghancuran, eksploitasi, peperangan dan kelaparan.(Suparta, Hery Noer Aly:2002:137)
    Ayat Al-Qur’an dan hadist Nabi saw. Banyak mengemukakan akhlak yang diserukan untuk dipraktikkan, antara lain sabar, amar makruf, dan nahi mungkar, adil, kasih saying, amanah, akhlas, jujur, pemaaf dan toleransi. Allah berfirman.(Suparta, Hery Noer Aly:2002:138)





    Artinya :  Hai orang-oarang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang yang sabar..(Depag RI. Al Qur’an dan Terjemhan:1990:38:2:153)
    Pendidikan akhlak dalam Islam mencakup aspek kejiwaan yang diberikan melalui pengajaran dan pelatihan sesuai dengan kemampuan, potensi, dan struktur phisikis individu.(Suparta, Herry Noer Aly:2002:142)


    Artinya : Demi kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.(Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan:1990:1061:90:10)
    Karakteristik paling penting dari pendidikan akhlak dalam Islam ialah praktis, artinya dapat diterapkan oleh individu dan semua umat manusia dengan segala perbedaan bahwa, warna kulit, tempat, dan waktunya.(Suparta, Hery Noer Aly:2002:143)
    Akhlak Islam relevan bagi semua manusia dengan segala perbedaan jenis, warna kulit, masa, dan negerinya, karena jalan Islam sesuai dengan memperhatikan tabiat dan kejiwaan manusia. Dr, Shalih al-Syamma, didalam bukunya al-Madzhab al-Akhlaqifi al-Qur’an al-Karim (Akhlak didalam Al-Qur’an, sebuah Mazhab), mengemukakan sebagai berikut.(Suparta, Herry Noer Aly:2002:145)
    Ini sebuah nilai. Keistimewaan besarnya telah diakui oleh generasi demi generasi. Yang kami maksud ialah kesesuaian akhlak Qurani dengan tabiat manusia dan mudahnya berbagai kaun diberbagai tempat dan massa untuk menyesuaikan diri dengannya prinsif-prinsif , aliran-aliran dikalangan filosof, tidak diragukan lagi, memang memiliki kecermatan dan kekokohan dengan memperhatikan unsure intrinsic manusia sebagai unsure terpenting didalamnya. Namun, sejauh mana filsafat- filsafat moral (etika) tersebut dapat diterapkan pada berbagai kaum diberbagai masa? Etika Aristoteles, Kant, atau para filosof moral besar lainnya akademis yang besar. Namun, sejauh mana keberhasilannya realitas insani? (Suparta, Herry Noer Aly :2002:145:146)
    5.      Pendidikan Sosial
    Pendidikan sosial merupakan aspek penting dalam pendidikan Islam karena manusia menurut tabiatnya, dalam arti sesuai dengan hukum penciptaan Allah, adalah makhluk sosial:(Suparta, Herry Noer Aly:2002:146)





    Artinya : Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. (Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan:1990:847:49:13)

    Pendidikan sosial dalam Islam mulai dengan pengembangan mental individu dari aspek inisiatif dan tanggung jawab individu yang merupakan dasar tanggung jawab secara kelompok dimana setiap individu bertanggung jawab terhadap yang lain:(Suparta,Herry Noer Aly:2002147)



    Artinya : Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri. (Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan:1990:473:19:95).
    Keharmonisan keluarga merupakan salah satu dimensi penting didalam pendidikan sosial Islam, kepentingan ini terlihat antara dalam firman Allah sebagai berikut.(Suparta,Herry Noer Aly:2002:148)


    Artinya : Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Depag RI.Al Qur’an dan Terjemahan:1990: 427 : 17: 23)
    Masyarakat Islam mempunyai banyak pranata sosial. Di antaranya yang terpenting ialah masjid dengan aspek edukatifnya, rohani, amaliah, akhlak, sosial dan ilmiah. Bentuk-bentuk amaliah dalam Islam seperti shalat, zakat, puasa dan haji sesungguhnya merupakan sarana-sarana praktis pendidikan yang dilakukan individu sebagai anggota dalam suatu komunitas. Ambillah contoh ketika individu didalam ibadahnya berdoa kepada Allah.(Suparta,Herry Noer Aly:2002:149)



    Artinya : Hai orang-orang yang diwajibkan atsa kamu berpuasa sebagaiman diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan:1990: 44: 2: 183).
    Lapangan terakhir pendidikan sosial dalam Islam adalah alam semesta, karena Allah adalah Rabb al-‘alamin dan Rabb al-nas, ketuhanan-Nya mencakup seluruh umat manusia. Allah berfirman: (Suparta, Herry Noer Aly:2002:151)


    Artinya : Dan tiadalah kami mengutusmu melainkan agar kamu menjadi rahmat bagi alam semesta. (Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan: 1990:508:21:107)
    D.    Tujuan Pendidikan Islam
    Di kalangan para ahli masih terdapat perbedaaan pendapat mengenai pemakaian istilah tujuan. Hasan Langgulung, misalnya mengatakan bahwa istilah tujuan sendiri banyak dicampurbaurkan penggunaaannya dengan istilah maksud. Kadang-kadang tampak berbeda, dan kadang-kadang tampak serupa. Namun demikian, pada akhirnya ia menganggap bahwa kedua istilah itu mempunyai arti yang sama.(Abuddin Nata :2005:99)
    Tujuan pendidikan Islam atau tujuan-tujuan pendidikan lainnya, mengandung di dalamnya suatu nilai-nilai tertentu sesuai pandangan dasar masing-masing yang harus direalisasikan melaui proses yang terarah dan konsisten dengan menggunakan berbagai sarana fisik dan non fisik yang sama sebangun dengan nilai-nilainya.Ahmad Tafsir, misalnya mencoba menjelaskan tujuan pendidikan Islam dengan merujuk berbagai pendapat para pakar-pakar pendidikan Islam.
    Dilihat dari Ilmu Pendidikan Teoritis, tujuan pendidikan ditempuh secara bertingkat, misalnya tujuan intermediair (sementara atau antara), yang dijadikan batas sasaran kemampuan yang harus dicapai dalam proses pendidikan pada tingkat tertentu, untuk mencapai tujuan akhir.(Arifin : 1989:38)
    Tujuan incidental merupakan peristiwa tertentu yang tidak direncanakan, akan tetapi dapat dijadikan sasaran dari proses pendidikan pada tingkat tertentu. Misalnya, peristiwa meletusnya gunung berapi, dapat dijadikan sasaran pendidikan yang mengandung tujuan tertentu, yaitu anak didik timbul kemampuannya untuk memahami arti kekuasaan Tuhan yang harus diyakini kebenarannya. Tahap kemampuan ini menjadi bagian dari tujuan antara untuk mencapai tujuan akhir pendidikan.
    Berbagai tingkat tujuan pendidikan yang dirumuskan secara teoritis itu bertujuan untuk memudahkan proses pendidikan melalui tahapan yang makin meningkat (progresif) keaarah tujuan umum atau tujuan akhir.(Arifin :1989:39)
    Dalam sistem operasionalisasi kelembagaan pendidikan, berbagai tujuan tersebut ditetapkan secara berjenjang dalam struktur program instruksional, sehingga tergambarlah klasifikasi gradual yang semakin meningkat, bila dilihat dari pendekatan sistem Instruksional tertentu sebagai berikut:(Arifin :1989:39)
    1)      Tujuan Intruksional Khusus, diarahkan pada setiap bidang studi yang harus dikuasai dan diamalkan oleh anak didik.
    2)      Tujuan Intruksional Umum, diarahkan pada penguasaan atau pengamalan suatu bidang secara umum atau garis beasrnya sebagai suatu kebulatan.
    3)      Tujuan Kurikuler, yang diteatapkan untuk dicapai melalui garis-garis besar program pengajaran di tiap institusi (lembaga) pendidikan.
    4)      Tujuan Institusional, adalah tujuan yang harus dicapai menurut program pendidikan di tiap sekolah atau lembaga pendidikan tertentu secara bulat atau terminal seperti tujuan institusional SMTP/SMTA atau STM/SPG (tujuan terminal).
    5)       Tujuan Umum, Tujuan Nasional, adalah cita-cita hidup yang ditetapkan untuk dicapai melalui proses kependidikan denagan berbagai cara atau sistem, baik sistem formal (sekolah), sistem non formal (non klasikal dan non kurikuler), maupun sistem informal (yang tidak terikat oleh formalitas program, waktu, ruang dan materi).
    Tujuan Pendidikan Agama di lembaga-lembaga penddidikan formal diIndonesia ini dapat dibagi menjadi dua macam, yakni: (Zuhairini, Abdul Ghofir, Slamet As. Yusuf, 1978 : 45)
    1.      Tujuan Umum
    2.      Tujuan Khusus

    1.      Tujuan Umum Pendidikan Agama
    Tujuan Umum Pendidikan Agama ialah membimbing anak agar mereka menjadi orang Muslim sejati, beriman teguh, beramal sholeh dan berakhlak mulia serta berguna bagi masyarakat, Agama dan Negara.
    Tujuan Pendidikan Agama tersebut adalah merupkan tujuan yang hendak dicapai oleh setiap orang yang melaksanakan pendidikan Agama. Karena dalam mendidik Agama yang perlu ditanamkan terlebih dahulu adalah keimanan yang teguh, sebab denagan adanya keimanan yang teguh itu maka akan menghasilkan ketaaatan menjalankan kewajiban Agama.
    2.      Tujuan Khusus Pendidikan Agama
    Tujuan khusus pendidikan Agama pada setiap tahap atau tingkat yang dilalui, seperti misalnya tujuan pendidikan Agama untuk SD berbeda dengan tujuan pendidikan Agama untuk Sekolah Menengah, dan berada pula untuk Peguruan Tinggi.
    Adapun tujuan pendidikan Agama Islam untuk masing-masing tingkat sekolah tersebut adalah sebagai berikut :
                             a.      Untuk Tingkat Sekolah Dasar
    -      Penanaman rasa agama kepada murid
    -      Menanamkan perasaan cinta kepada Allah dan rasul-Nya.
    -      Memperkenalkan ajaran islam yang bersifat global, seperti rukun Iman, rukun Islam dan lain-lain
    -      Membiasakan anak-anak berakhlaq mulia, dan melatih anak-anak untuk mempraktekkan ibadah yang bersifat praktis-praktis, seperti shalat, puasa dan lain-lain.
    -      Membiasakan contoh tauladan yang baik.
                            b.      Untuk Tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)
    -      Memberikan ilmu pengetahuan agama islam
    -      Memberikan pengertian tentang agama islam yang sesuai dengan tingkat kecerdasannya.
    -      Memupuk jiwa agama
    -      Membimbing anak agar mereka beramal shaleh dan berakhlaq mulia
                             c.      Untuk Tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)
    -      Menyempurnakan pendidikan agama yang sudah diberikan di tingkat SLTP
    -      Memberikan pendidikan dan pengetahuan agama islam serta berusaha agar mereka mengamalkan ajaran islam yang telah diterimanya.
                            d.      Untuk Tingkat Universitas
    -      Terbentuknya Sarjana Muslim yang taqwa kepada allah
    -      Tertanamnya aqidah Islmiyah pada setaip mahasiswa
    -      Terwujudnya mahasiswa yang taat beribadah dan berakhlaq mulia.

    Adapun tujuan akhir pendidikan Islam hakikatnya adalah realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah lahir dan batin, di dunia dan akhirat.
    Rumusan-rumusan tujuan akhir pendidikan Islam telah disusun oleh para ulama dan ahli pendidikan Islam dari semua golongan dan madzhab dalam Islam, misalnya sebagai berikut:(Arifin:1989:40)
    1)      Rumusan yang ditetapkan dalam kongres sedunia tentang pendidikan Islam sebagai berikut: “Education should aim at the balanced growt of total personality of man through the training of mans spirit, intellect the racional self, feeling and bodily sense. Education should there fore cater for the growth af man in all its aspects, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these aspects toward goodness and attainment of perfection. The ulmate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large”.
    Rumusan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan Islam mempunyai tujuan yang luas dan dalam, seluas dan sedalam kebutuhan hidup manusia sebagai mkhluk individual dan seabagi makhluk sosial yang menghamba kepada Khaliknya yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran agamanya. (Arifin:1989:40)

    Oleh karena itu pendidikan Islam bertujuan untuk menumbuhkan pola kepribadian manusia yang bulat melaui latihan kejiwaan, kecerdasan otak, penalaran, perasaan dan indera. Pendidikan ini harus melayani pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual, imjinasi, jasmaniah, ilmiah, maupun bahsanaya (secara perorangan maupun kelompok). Dan pendidikan ini mendorong semua aspek tersebut kea arah keutamaan serta pencapaian kesempurnaan hidup.(Arifin:1989:41)
    2)      Rumusan yang lain adalah hasil keputusan seminar pendidikan   Islam se Indoneisa tanggal 7 s.d 11 Mei 1960 , di cipayung, Bogor.(Arifin:1989:41)
    Pada saat itu berkumpullah para ulama ahli pendidikan Islam dari semua lapisan masyarakat Islam, berdiskusi dengan para ahli pendidikan umum, dan telah berhasil merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagai berkut:
    “Tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan taqwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berpribadi dan berbudi luhur menurut ajaran Islam”.
    Tujuan tersebut ditetapkan berdasarkan atas pengertian bahwa:
    “Pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam denagan hikmah menagarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam”.
    Jadi jelaslah, membicarakan masalah tujuan pendidikan, khususnya Islam, tidak terlepas dari masalah nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri, oleh karena realisasi nilai-nilai itulah yang pada hakikatnya menjadi dasar dan tujuan pendidikan Islam.(Arifin:1989:41:42)
    3)      Ada rumusan lain tentang pendidikan Islam oleh Prof. Dr. Omar Muhammad Al Toumy Al Syaebani sebagai berikut: (Arifin:1989:42)
    “Tujuan pendidikan ialah perubahan yang diingini yang diusahakan dalam proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya, baik pada tingkah laku individu dari kehidupan pribadinya atau kehidupan masyarakat serta pada alam sekitar di mana individu itu hidup atau pada proses pendidikan itu sendiri dan proses pengajaran sebagai suatu kegiatan asasi dan sebagai proporsi di antara profesi asasi dalam masyarakat”.
    Mengingat tujuan pendidikan yang begitu luas, tujuan tersebut dibedakan dalam beberapa bidang menurut tugas dan fungsi manusia secara filosofis sebagai berikut:(Arifin:1989:42)
    1)      Tujuan Individual yang menyangkut individu, melalui proses belajar dalam rangka mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat.
    2)      Tujuan sosial yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat sebagai keseluruhan, dan dengan tingkah laku masyarakat umumnya serta dengan perubahan-perubahan yang diinginkan pada pertumbuhan pribadi, pengalaman dan kemajuan hidupnya.
    3)      Tujuan professional yang menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni dan profesi serta sebagai suatu kegiatan dalam masyarakat.
    Dalam proses kependidikan, ketiga tujuan di atas dicapai secara integral, tidak tepisah dari satu sama lain, sehingga dapat mewujudkan tipe manusia paripurna seperti dikehendaki oleh ajaran agama Islam.(Arifin:1989:42)
    Oleh karena itu tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan cita-cita mewujudkan nilai-nilai, maka filsafat kependidikanlah yang memberi dasar dan corak serta arah tujuan kependidikan itu sendiri. (Arifin:1989:42)
    Tujuan pendidikan Islam dengan demikian merupakan penggambaran nilai-nilai Islami yang hendak diwujudkan dlam pribadi manusia-didik pada akhir dari proses tersebut. Dengan istilah lain tujuan pendidikan Islam adalah perwujudan nilai-nilai Islami dlam pribadi manusia-didik yang diiktiarkan oleh pendidik muslim melalui proses yang terminal pada hasil (produk) yang berkepribadian Islam yang beriman, bertakwa dan berilmu pengetahuan yang sanggup mengembangkan dirinya menjadi hamba Allah yang taat.(Arifin:1989:224)
    Hasil rumusan tentang Tujuan Pendidikan Islam menurut kongres Pendidikan Islam se Dunia di Islamad tahun 1980, menunjukkan bahwa pendidikan harus merealisasikan cita-cita (idealitas) Islami yang mencakup pengembangan kepribadian muslim bersifat menyeluruh secara harmonis berdasarkan potensi psikologis dan fisiologis (jasmaniah) manusia mengacu kepada keimanan dan sekaligus berilmu pengetahuan secara berkesinambungan sehingga terbentuklah manusia muslim yang pari purna  yang berjiwa tawakal (menyerahkan diri) secara total kepada Allah SWT. (Arifin:1989:224) sebagaimana firman Allah yang menyatakan:

               

    Artinya : “ Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku dan hidup dan matiku hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam.(Depag RI.Al Qur’an dan Terjemahan:1990:216:  6:162)
                Rumusan di atas sesuai dengan firman Allah:




    Artinya : ”Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha Mengetahui, apa yang kamu kerjakan. (Depag RI. Al Qur’an Terjemahan:1990:910: 58 :11)
    Dengan demikian tujuan pendidikan Islam berjangkauan sama luasnya dengan kebutuhan hidup manusia modern masa kini dan masa yang akan datang, dimana manusia tidak hanya memerlukan iman atau agama melainkan juga ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat untuk mmemperoleh kesejahteraan hidup di dunia sebagai sarana untuk mencapai kehidupan spiritual yang bahagia di akhirat terhindar dari siksaan neraka.(Arifin: 1989:225)
    Sejalan dengan tujuan pendidikan yang bersifat paripurna itu, Prof. Dr. Mohd Fadhil Al-Djamali, berpendapat bahwa sasaran pendidikan Islam sesuai dengan ajaran Al Quran ialah membina kesadaran atas diri manusia sendiri dan atas system sosial yang Islami, sikap dan rasa tanggung jawab sosialnya, juga terhadap alam sekitar ciptaan Allah serta kesadarannya untuk mengembangkan dan mengelola ciptaannya bagi kepentingan kesejahteraan umum manusia yang paling utama dari semuanya itu ialah membina makrifat kepada Allah Pencipta alam dan beribadah kepada-Nya dengan cara mentaati perintah-perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.(Arifin :1989:226)
    Rumusan tujuan pendidikan Islam dapat juga tidak seragam ruang lingkupnya, bergantung pada mazhab atau aliran paham yang dijadikan orientasi sikap dan pandangan dalam pengamalan agama. Berikut keaneka ragaman rumusan tujuan pendidikan Islam menampakkan pengaruh mazhab atau aliran paham para pemikir atau ulama Islam dalam masalah pendidikan:(Arifin :1989:226)
    1.      Ichwanus sofa, karena cenderung berorientasi kepada mazhab filsafat dan kepada keyakinan politisnya merumuskan tujuan pendidikan untukmenumbuh-kembangkan kepribadian muslim yang mampu mengamalkan cita-citanya.
    2.      Abul Hasan Al-Qabisi yang menganut paham ahli sunnah wal jama’ah merumuskan tujuan pendidikan untuk mencapai makrifat dalam agama baik ilmiah maupun amaliah.
    3.      Ibnu Maskawaih seorang ahli fiqh dan hadist menitik beratkan rumusannya pada usaha mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas baik, benar dan indah (atau merealisasikan kewbaikan, kebenaran dan keindahan).
    4.      Al-Gazaly, merumuskan tujuan pendidikan dengan menitik beratkan pada melatih anak agar dapat mencapai makrifat kepada Allah melalui jalan tasawwuf yaitu dengan mujahadah (membiasakan) dan melatih nafsu-nafsu.
    Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa pendidikan mutakhir, maka tujuan di atas di sebut tujuan akhir atau al-ahdaf al-Ulya yang dapat dijabarkan kepada tujuan-tujuan kecil, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. Dengan kata lain lagi, untuk memebentuk insan kamil ada pra-syarat-pra-syarat yang harus dipenuhi, diantaranya mempelajari berbagai ilmu juga dengan pra-syarat-pra-syarat yang terkandung dalam mempelajarai ilmu-ilmu itu seperti mempelajari bahasa , syari’ah dan lain-lain. Jadi tidaklah insan kamil itu tercipta dalam sekejap mata, ia mengalami proses yang panjang: mempelajari ilmu, beramal, dengan berbgai cobaan yang bisa terjadi di dalam proses itu,. Hanya orang yang lulus dari cobaan-cobaan itulah yang sanggup sampai ketahap kesempurnaan (kamal).(Fathiyah Hasan Sulaiman, 1986:9)
    Perlu juga difahami bahwa pendidikan di sini dimaksudkan dalam pengertiannya yang sangat luas, yaitu yang formal, non formal, dan informal. Tidak heran kalau al-Ghazali selalu berbicara dengan ungkapan yang umum, yang masuh perlu dijabarkan secara detil untuk dapat dilaksanakan didalam kelas. Dan perlu juga ditegaskan bahwa tujuan pendidikan menurut al-Ghazali di sini memang harus menempati suatu tempat khusus dalam bidang filsafat , yaitu filsafat manusia yang memang sangat jarang dikupas dalam dunia kependidikan dewasa ini.
    Mempelajari karya-karya al-ghazali mengenai pendidikan dan pengajaran, akan ditemukan dua tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Pertama, Kesempurnaan manusia, yang puncaknya adalah dekat kepada Allah. Kedua, Kesempatan manusia, yang puncaknya adalah kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu, ia berusaha mengajar manusia agar mampu mencapai tujuan-tujuan yang dirumuskan tadi. (Fathiyah Hasan Sulaiman:1986:19)
    Sistem pendidikan Islam secara umum mempunyai ciri khas , yakni warna religius dan kerangka etik yang nampak jelas dalam tujuan dan sasarannya, tanpa mengesampikan masalah-masalah duniawi. Pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan secara umum sesuai dengan orientasi religius-etis. Dengan tidak melupakan urusan dunia, al-Ghazali mempersiapkan segala perangkat yang dibutuhkan dalam pendidikan. Namun ia menganggap pelayanan urusan dunia dan kebahagiaannya hanya faktor suplementer untuk  mencapai kebahagiaan akhirat yang lebih utama dan abadi. Dunia adalah ladang menuju akhirat. Ia merupakan sarana menuju kepada Allah bagi yang menjadikannya sebagai sarana dan tempat pengembaraan, bukan tempat menetap dan bertempat tinggal.(Fathiyah Hasan Sulaiman, 1986: 20)
    Pikiran-pikiran al-Ghazali di samping dibentuk oleh warna religius sebagai cirri khas pendidikan Islam ia lebih banyak cenderung pada bidang ruhani. Kecenderungan ini memang sesuai dengan filsafat sufistiknya. Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah kesempurnaan manusia di dunia dan akhirat yang bisa dicapai melalui upaya mencari keutamaan dengan ilmu pengetahuan. Jadi keutamaan bisa membahagiakan di dunia di samping membuat juga dekat kepada Allah, suatu kebhagiaan di akhirat.
    Namun, meski ia sangat religius dan sufi, yang mempengaruhi pandangan dan nilai-nilai lainnya, serta menjadikan tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk kebahagiaan akhirat, al-Ghazali tidak lupa, bahwa menuntut ilmu demi ilmu itu sendiri adlah perlu. Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan mempunyai keistimewaan dan kebaikan. Dikatakan, bahwa ilmu pengetahuan merupakan keutamaan dalam dirinya sendiri juga keutamaan secara mutlak.(Fathiyah Hasan Sulaiman, 1986:21)
    Karena itu ia menganggap mencari ilmu sebagai tujuan pendidikan. Sebab ilmu mempunyai nilai tinggi dan orang akan menemukan kelezatan dan kenikmatan. Karena itu, ilmu perlu dituntut demi ilmu itu sendiri. Disamping itu, engkau menemukan ilu sebagai jalan menuju akhirat dan kebahagiaan disana. Ilmu juga merupakan sarana satu-satunya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal manusia, tingkatan yang paling utama adalah kebahagiaan abadi dan sesuatu yang paling mulia adalah sarana untuk mencapainya, dan kebahagiaan abadi tidak bisa dicapai kecuali dengan ilmu dan amal. Orang tak bisa beramal dengan baik tanpa mengetahui tata caranya. Maka pangkal kebahagiaan dunia dan akhirat adalah ilmu. Dengan demikian, ilmu merupkan amal perbuatan yang paling mulia.(Fathiyah Hasan Sulaiman, 1986 : 21).
     Abd. Rahman Nahlawy dalam bukunya: “Dasar-dasar Pendidikan Islam dan metode-metode Pengajarannya” penulis mengumpulkan empat tujuan atau maksud am yang asasi bagi pendidikan Islam, yaitu: (Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibani :1979:418)
    a.       Pendidikan akal dan persiapan fikiran: “Pendidikan Islam memandang dengan penuh pemikiran, renungan dan meditasi. Allah menyuruh kita untuk memikirkan kejadian langit dan bumi dan agar supaya kita bergantung pada akal kita untuk sampai kepada keimanan kepada Allah.
    b.      Menumbuhkan kekuatan-kekuatan dan kesediaan-kesediaan (bakat-bakat) semula jadi pada kanak-kanak. Islam adalah agama fitrah. Sebab ajarannya tidak asing dari tabiat semula jadi manusia, bahkan ia adalah “fithrah yang dijadikan manusia atasnya,”tidak ada kerumitan dan perkara luar biasa. Segala sesuatu bersifat logis dan sesuai dengan kebutuhan manusia dan memenuhi maslahat mereka.
    c.       Menaruh perhatian pada kekuatan generasi muda dan mendidik mereka sebaik-baiknya, baik laki-laki maupun perempuan.
    d.      Berusaha untuk meyeimbangkan segala kekuatan-kekuatan dan kesediaan-kesediaan manusia. Dan tujuan atau prinsip penting yang menjadi dasar pendidikan Islam ini “memberikan kepada kita hasil yang penting, yaitu tidak membatasi kerja pendidik itu pada pendidikan fikiran saja, keharusan memberi perhatian pada segala aspek psikologis kanak-kanak dan kesediaan-kesediannya sewaktu timbulnya.”
    Menurut pandangan Prof. Mohd. Said Ramadhan El Bouthy, Pendidikan Islam itu mempunyai tujuh tujuan atau maksud dasar, yaitu: (Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibani :1979:420)
    a.       Mencapai keridhaan Allah, menjauhi murka dan sisksaan-Nya dan melaksanakan perhambaan yang ikhlas kepada-Nya. Tujuan ini dianggap induk segala hasil pendidikan Islam dan terbesar.
    b.      Mengangkat tahap akhlak dalam masyarakat berdasarkan pada agama yang diturunkan, untuk membimbing masyarakat pada rancangan akhlak yang telah dibuat oleh Allah baginya.
    c.       Memungkinkan timbulnya jiwa kebangsaan pada diri manusia berdasar pada agama dan ajaran-ajaran yang dibawanya begitu juga mengajak manusia kepada nilai-nilai dan akhlak.
    d.      Mewujudkan ketentraman didalam jiwa dan akidah yang dalam, perhambaan yang semata-mata, dan kepatuhan yang ikhlas kepada Allah SWT.
    e.       Memelihara bahasa dan kesusasteraan Arab sebagai bahasa al-Quran, dan sebagai wadah kebudayaan dan unsur-unsur kebudayaan Islam yang paling menonjol, dan sebagai jalan bagi orang yang ingin memahami Al-Quran dan mempelajari syari’ah dan hukum-hukumnya.
    f.       Menghapuskan khurafat-khurafat yang bercampur baur dengan hakikat agama, menyebarkan kesadaran Islam yang sebenarnya dan menunjukkan hakikat agama atas kebersihan dan kecemerlangan.
    g.      Meneguhkan perpaduan tanah air dan menyatukan barisan melalui usaha menghilangkan perselisihan, bergabung dan kerjasama dalam rangka prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan Islam yang dipersetujui yang terkandung dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, menanamkan roh toleransi terhadap penganut agama-agama Allah, menanamkan kepercayaan agama yang betul, sebab “perpaduan tanah air tidak akan kukuh tanpa kepercayaan agama yang betul.
    Ahmad D. Marimba, misalnya meyebutkan tiga fungsi tujuan pendidikan. Pertama, tujuan berfungsi mengakhiri usaha. Sesuatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidaklah mempunyai arti apa-apa. Selain itu, usaha mengalami permulaan dan mengalamai pula akhirnya. Ada usaha yang terhenti karena sesuatu kegagalan sebelum mencapai tujuan, tetapi usaha tersebut belum disebut berakhir. Pada umumnya, suatu usaha berakhir kalau tujuan akhir telah dicapai. Kedua, tujuan berfungsi mengarahkan usaha, tanapa ada antisipasi (pandangan ke depan) kepada tujuan, penyelewengan akan banyak terjadi dan kegiatan yang dilakukan tidak akan berjalan secara efisien. Ketiga, tujuan dapat berfungsi sebagai titik untuk mencapai tujuan-tujuan lain, yaitu tujuan-tujuan baru maupun tujuan lanjutan dari tujuan pertama.(Abuddin Nata:2005:97)
    Meskipun berbeda-beda dalam rumusan dari beberapa pemikir/ulama Islam tersebut di atas, namun satu aspek principal yang sama adalah mereka semuanya menghendaki terwujudnya nilai-nilai Islami dalam pribadi anak-didik, yaitu keislaman, keimanan, dan ketakwaannya.(Arifin:1989:226)
    Setengah ulama ada yang merumuskan tujuan pendidikan Islam yang didasarkan atas cita-cita hidup umat Islam yang menginginkan kehidupan duniawi yang bahagia secara harmonis, maka tujuan penidikan Islam secara teoritis dibedakan menjadi 2 jenis tujuan:(Arifin:1989:227)
    1.      Tujuan Keagamaan (Al-Ghardhud Dieny)
    Setiap orang Islam pada hakikatnya adalah insan agama   yang bercita-cita, beramal untuk hidup akhiratnya, berdasarkan atas petunjuk dari wahyu Allah melalui Rasulullah. Kecenderungan hidup keagamaan ini merupakan ruhnya agama yang benar yang perkembangannya dipimpin oleh ajaran Islam yang murni, bersumber pada kitab suci yang menjelaskan serta menerangkan tentang perkara benar (haq), tentang tugas kewajiban manusia untuk mengikuti yang benar itu, menjauhi yang batil dan sesat atau mungkar, yang kesemuanya telah diwujudkan dalam syari’at agama yang berdasrkan nilai-nilai mutlak dan norma-normanya telah ditetapkan oleh Allah yang tak berubah-ubah menurut selera  nafsu manusia. Oleh karena itu tujuan pendidikan Islam penuh dengan nilai-nilai rohaniah Islami dan berorientasikan kepada kebahagiaan hidup diakhirat. Tujuan ini difokuskan pada pembentukan pribadi muslim yang sanggup melaksanakan syariat Islami melalui proses pendidikan spiritual menuju makrifat  kepada Allah.(Arifin: 1989: 227)
                Ayat-ayat Al Quran seperti tersebut berikut ini dijadikan tumpuan cita-cita hidupnya.




    Artinya :  Sesungguhnya beruntunglah orang yang memebersihkan dirinya (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya lalu dia bersembahyang, tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi, sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.(Depag RI.Al Qur’an dan Terjemhannya:1990: 1052:14-17)
    2.      Tujuan Keduniaan (Al-Ghardud Dunyawi)
                Tujuan ini lebih mengutamakan pada upaya uuntuk mewujudkan kehidupan sejahtera di dunia dan kemanfaatannya. Tujuan Pendidikan jenis ini dapat dibedakan menjadi bermacam-macam tujuan, misalnya: Tujuan pendidikan menurut paham pragmatisme, hanya menitik beratkan pada suatu kemanfaatan hidup manusia di dunia dimana ukuran-ukurannya sangat relatf, bergantung kepada kebudayaan atau peradaban manusia; Nilai-nilai kehidupan didasarkan atas kecenderungan-kecenderungan hidup sosial budaya yang berbeda-beda menurut paham pragmatisme ini selalu berubah-ubah menurut tuntunan waktu dan tempat di mana manusia berpacu mencapai kepuasan hidupnya. (Arifin: 1989:228)
    Tujuan pendidikan menurut tuntunan hidup ilmu dan teknologi modern seperti masa kini dan yang akan datang, meletakkan nilai-nilainya pada kemapuan menciptakan kemajuan hidup manusia berdarkan ilmu dan teknologi, tanpa memperhatikan nilai-nilai rohaniah dan keagamaan yang berada dibalik kemajuan ilmu dan teknologi. Tujuan pendidikan semacam ini adalah gersang dari nilai-nilai kemanusiaan dan agama, ssehingga terjadilah suatu bentuk kemajuan hidup manusia yang lebih mementingkan hidup materialistis dan atheistis, karena faktor nilai iman dan ketakwaan kepada Tuhan tidak mendapatkan tempat dalam pribadi manusia, hasil proses pendidikan ini.
    Tujuan pendidikan Islam jika diarahkan kepada upaya memajukan manusia dengan ilmu dan teknologi modern, tidaklah sama denan tujuan-tujuan pendidikan kaum pragmatis dan teknologis di atas, melainkan lebih mengutamakan pada upaya meningkatkan iman dan takwa kepada Allah sebagai pengendalinya.
    Untuk merumuskan tujuan umum atau tujuan akhir pendidikan Islam itu kita perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang terkandung dalam firman-firman Allah dan sabda-sabda Nabi SAW yang menjadi idealitas ajaran Islam yang diwujudkan sebagi pola kepribadian muslim yang hakiki sesuai tuntunan cita Islami tersebut.(Arifin:1989:235)
    Firman-firman Allah berikut ini merupakan idealitas asasi yang hendak direalisasikan melalui proses kependidikan Islam. (Arifin:1989:235)


     Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk  beribadah kepada-Ku.(Depag RI.Al Qur’an dan       Terjemahan:1990 :862:51:56)





    Artinya : Niscaya Allah akan meninggikan oarang-oarang yang beriman di antara kamu dan orang-oarang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan..(Depag RI.Al Qur’an dan Terjemahan:1990:910:58:11)





    Artinya :   Dan carilah pada apa yang telah dianugerahakan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuatlah kebaikan (kepada oarang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan: 1990:623:28:77)

    Dan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan upaya pembentukan kepribadian muslim yang senatiasa cenderung kepada mengharapkan keridhoan Allah dalam hidupnya.
    Atas dasar ayat tersebut di atas dapat dirumuskan tujuan pendidikan Islam yang ideal dan operasional dengan ruang lingkup yang memberikan nilai kehidupan manusia paripurna duniawiah dan ukhrawiah, yang melaksanakan tugas hidup individual dan sosial berdasarkan perintah Allah, Maha Penciptanya.
    Rumusan Tujuan Akhir Pendidikan Islam ialah merealisasikan manusia muslim yang beriman dan bertaqwa serta berilmu pengetahuan yang mampu mengabdikan dirinya kepada Khalik-nya dengan sikap dan kepribadian bulat yang menunjuk kepada penyerahan diri kepada-Nya dalam segala aspek hidupnya, duniawiah dan ukhrawiah.(Arifin:1989:236:237)
    Namun demikian rumusan di atas masih dapat diringkas lagi menjadi: mewujudkan manusia yang berkepribadian muslim yang bulat lahiriah dan batiniah yang mampu mengabdikan segala amal perbuatannya untuk mencari keridhoan Allah SWT. (Arifin: 1989:237)
    BAB III
    KONSEP PENDIDIKAN AL-GHAZALI

    A.    Riwayat Hidup Al-Ghazali
    Nama Lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450 H atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool, yang selalu memintal dan menjualnya sendiri di kota itu. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara. Ketika akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan pendididikannya setuntas-tuntasnya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali. Kedua anak itu dididik dan disekolahkan, setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.
    Imam Ghazali sejak kecilnya dikenal sebagai seorang anak pencinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki, seaklipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan sengsara. Untaian kata-kata berikut ini melukiskan keadaan pribadinya.
    “Kehausan untuk mencari hakikat kebenaran sesuatu sebagai habit dan favorit saya dari sejak kecil dan masa mudaku merupakan insting dan bakat yang dicampakkan Allah SWT. Pada tempramen saya, bukan merupakan usaha atau rekaan saja” (Abuddin Nata :2000:81)

    Dimasa kanak-kanak Imam Ghazali belajar kepada Ahmad bin Muhaammad Ar-Radzikani di Thus kemudian belajar kepada abi Nashr al-Ismaili di Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi. Pada kali yang lain diceritakan bahwa dalam perjalanan pulangnya, beliau dan teman-teman seperjalanannya dihadang sekawanan pembegal yang kemudian merampas harta dan kebutuhan-kebutuhan yang mereka bawa. Para pembegal tersebut merebut tas Imam Ghazali yang berisi buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan yang beliau senangi. Kemudian Al-Ghazali berharap kepada mereka agar sudi mengembalikan tasnya, karena beliau ingin mendapatkan berbagi macam ilmu pengetahuan yang terdapat dalam buku itu. Kawanan perampok merasa iba hati dan kasihan padanya, akhirnya mereka mengembalikan kitab-kitab itu kepadanya.
    Diceritakan pula setelah peristiwa itu beliau menjadi rajin sekali meempelejari kitab-kitabnya, memahami ilmu yang terkandung di dalamnya dan berusaha mengamalkannya. Bahkan beliau selalu menaruh kitab-kitabnya di suatu tempat yang aman.
    Sesudah itu Imam Ghazali pindah ke Nisabur untuk belajar kepada seorang ahli agama kenamaan dimasanya, yaitu Al-Juwaini, Imam Al-Haramain (W.478 H/1085 M). Dari beliau ini dia belajar Ilmu Kalam, Ilmu Ushul dan Ilmu Pengetahuan agama lainnya.(Abuddin Nata : 2000:82)
    Imam Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai denagan penalaran yang jernih hingga Imam Al-Juwaini sempat memberi predikat beliau “laut dalam nan menenggelamkan (Bahrun Muughriq).” Ketika gurunya ini meninggal dunia, Al-Ghazali meninggalkan Nisabur menuju ke Istana Nidzam Al-Mulk yang menjadi seorang perdana menteri Sultan Bani Saljuk.
    Keikutsertaan Ghazali dalam suatu diskusi bersama sekelompok ulama dan para intlektual dihadapan Nidzam Al-Mulk membawa kemenangan baginya. Hal ini tidak lain berkat ketinggian ilmu filsafatnya, kekayaan ilmu penegetahuannya, kefasihan lidahnya dan kejituan argumentasinya. Nidzam al-Mulk benar-benar kagum melihat kehebatan beliau ini dan berjanji akan mengangkatnya sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad. Peristiwa ini terjadi pada tahun 484/1091 M.
    Ditengah-tengah kesibukannya mengajar di Bahgdad beliau masih sempat mengarang sejumlah kitab seperti : Al Basith, Al Wasith, Al-wajiz, Khulasah Ilmu Fiqh, Almunqil fi Ilm Al-Jadal (Ilmu Berdebat), Ma’khadz al-Khalaf, Lubab al-Nadzar, Tashin al Ma’akhidz dan Al-Mabadi’ wa al-Ghayat fi fann al-Khalaf. Namun kesibukan dalam karang mengarang ini tidaklah mengganggu perhatian beliau terhadap Ilmu Metafisika dan beliau selalu meragukan kebenaran adat-istiadat warisan nenek moyang di mana belum ada seorang pun yang memeperdebatkan soal kebenarannya atau menggali asal usul dari timbulnya adat istiadat tersebut(Abuddin Nata : 2000:83).
    Begitu juga ditengah-tengah kesibukan ini, beliau juga belajar berbagai ilmu pengetahuan dan filsafat klasik seperti Filsafat Yunani, sebagaimana beliau juga mempelajari berbagai aliran agama yang beraneka ragam yang terkenal di waktu itu. Beliau mendalami berbagai bidang studi ini dengan harapan agar dapat menolongnya mencapai ilmu pengetahuan sejati yang sangat didambakan.
    Setelah empat tahun beliau memutuskan untuk berhenti mengajar di Baghdad. Lalu ditinggalkannya  kota tersebut untuk menunaikan ibadah Haji. Setelah itu beliau menuju ke Syam, hidup dalam Jami’Umawy dengan kehidupan serba penuh ibadah, dilanjutkan menegembara ke berbagai padang pasir untuk melatih diri menjauhi barang-barang terlarang (haram), meninggalakan kesejahteraan dan kemewahan hidup, mendalami masalah keruhanian dan penghayatan agama.
    Demikianlah Imam Ghazali mempersiapkan dirinya dengan persiapan agama yang benar dan mensucikan jiwanya dari noda-noda keduniaan, sehingga beliau menjadi seorang filosof ahli tasawuf pertama kali dan seorang pemimpin yang menonjol dizamannya. Kemudian pada suatu waktu, beliau pulang ke Baghdad kembali mengajar disana. Hanya saja beliau menjadi guru besar dalam bidang studi lain tidak seperti dahulu kali. Setelah menjadi guru besar dalam berbagai dalam berbagai ilmu penegetahuan agama, sekarang tugasnya menjadi Imam ahli agama dan tasawuf serta penasihat spesialis dalam bidang agama.(Abuddin Nata :2000:84)
    Kitab pertama beliau karang setelah kembali ke Baghdad ialah kitab Al-Munqidz Al-Dholal (Penyelamat dari Kesesatan). Kitab ini dianggap sebagai salah satu buku refrensi yang penting bagi sejarawan yang ingin mendapatkan pengetahuan tentang kehidupan Imam Ghazali. Kitab ini mengandung keterangan sejarah hidupnya di waktu transisi yang mengubah pandangannya tentang nilai-nilai kehidupan. Dalam kitab ini juga, beliau menjelaskan bagaimana Iman dalam jiwa itu tumbuh dan berkembang, bagaimana hakikat ketuhanan itu dapat tersingkap atau terbuka bagi ummat manusia, bagaimana mencapai pengetahuan sejati (Ilmu yaqin) dengan cara tanpa berfikir dan logika namun dengan cara ilham dan mukasyafah (terbuka hijab) menurut ajaran tasawuf.
    Sekembalinya Imam Ghazali ke Baghdad sekitar sepuluh tahun ke naisaburi dan sibuk mengajar di sana dalam waktu yang tidak lama, setelah itu beliau meninggal dunia di kota Thus, kota kelahirannya, pada tahun 505 H/1111 M.
    Demikianlah yang dapat kita amati mengenai sejarah kehidupan Imam Ghazali dalam siklus purna yang berhenti di tempat semula Beliau dilahirkan di  Thus dan kemabali ke Thus lagi setelah belaiau melakukan pengembaraan dan akhirnya meninggal kehidupan ilmiah sebagai pengajar dan penasihat diakhirinya sebagai  guru dan penasihat pula.
    Dari uraian tersebut diatas, dapat diketahui dengan jelas bahwa Al-Ghazali tergolong ulama yang taat berpegang pada Al-Qur’an Al-Sunnah, taat menjalankan agama dan menghias dirinya dengan tasawuf. Ia banyak mempelajari berbagai pengetahuan umum seperti ilmu Kalam, filsafat, Fiqih, Tasawuf dan sebagainya, namun pada akhirnya ia lebih tertarik kepada fiqih dan Tasawuf. (Abuddin Nata : 2000:85)

    Selanjutnya dari uraian tersebut, diketahui dengan jelas, bahwa ia seorang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap pendidikan. Masalahnya adalah apakah corak pemahaman keagamaannya itu mempengaruhi konsep pendidikannya? Hal ini akan diketahui setelah membaca uaraian dibawah ini. Pertanyaan ini menarik untuk dikemukakan, karena sebagaimana banyak di jumpai, bahwa sutau konsep pendidikan yang dikemukakan suatu tokoh selalu dipengaruhi corak paham keagamaan yang dimiliki, sebagaimana dijumapai pada konsep pendidikan Al-Qabisi yang telah dikemukakan diatas. (Abudddin Nata : 2000:85)

    B.    Konsep Pendidikan Al-Ghazali
    Untuk menegetahui konsep pendidikan Al-Ghazali ini dapat diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahamai pemikirannya yang berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan denagan pendidikan, yaitu aspek tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru dan etika murid berikut ini.(Abuddin Nata :2000:86)
    1.     Tujuan Pendidikan
    Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan filsafat atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Seseorang baru dapat merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami secara benar filsafat yang mendasarinya. Rumusan tujuan pendidikan ini selanjutnya akan menentukan aspek kurikulum, metode, guru dan lainnya yang berkaitan denagan pendidikan. Dari hasil studi terhadap pemikiaran Al-Ghazali dapat diketahui denagan jelas, bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua :
    Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada pendekatan diri kepada Allah.
    Kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud tujuan pendidikan itu. Tujuan ini tampak bernuansa religius dan moral, tanpa mengabaikan masalah duniawi.
    Pendidikan Islam itu secara umum mempunyai corak yang spesifik, yaitu adanya cap (stempel) agama dan etika yang kelihatan nyata pada sasaran-sasaran dan sarananya, dengan tidak mengabaikan masalah-masalah keduniaan. Dan pendapat Al-Ghazali tentang pendidikan pada umumnya sejalan dengan trend-trend agama dan etika. Al-Ghazali juga tidak melupakan masalah-masalah duniawi, karenanya ia beri ruang dalam system pendidikannya bagi perkembangan duniawi. Tetapi dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk maslah-masalah dunia itu hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih utama dan kekal. Dunia adalah alat perkebunan untuk kehidupan akhirat, sebagai alat yang akan mengantarkan seseorang menemui Tuhannya. Ini tentunya bagi yang memandangnya sebagai tempat untuk selamanya.(Abuddin Nata :2000:86)
    Akan tetapi pendapat Al-Ghazali tersebut, disamping bercorak agamis yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam, tampak pula cenderung pada sisi kerohanian. Dan kecendrungan tersebut menurut keadaan yang sebenarnya, sejalan denagan filsafat Al-Ghazali yang bercorak Tasawuf. Maka sasaran pendidikan, menurut Al-Ghazali, adalah kesempurnaan insani didunia dan akhirat. Dan manusia akan samapai keada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat dia bahagia di dunia dan mendekatkan dia kepada Allah SWT, sehingga ia menjadi bahagia di akhirat kelak.(Abuddin Nata :2000:87)
    Sungguhpun Al-Ghazali dikenal sebagai seorang yang terkendali oleh jiwa agamis dan sufi yang mana keduanya telah mempengaruhi pandangannya tentang hidup, tentang nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan dan kedua-keduanya juga telah membuat dia mencari jalan untuk mendekatkan diri pada Allah dan mencari kebahagiaan di akhirat namun dia tidak lupa bahwa ilmu itu sendiri perlu dituntut, mengingat keutamaan dan keindahan yang dimilikinya. Ia melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan ia melebihi segala-galanya. Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi dia, termasuk tujuan pendidikan, mengingat nilai yang dikandungnya serta kelezatan dan kenikmatan yang diperoleh manusia padanya. Ia kemukakan : apabila anda melihat kepada ilmu maka tampak oleh anda bahwa imu itu sendiri adalah lezat dan oleh karena itu pula maka ilmu itu sendiri selalu dicari. Anda juga akan mengetahui bahwa ia merupakan jalan yang mengantarkan anda kepada kebahagiaan dinegeri akhirat, sebagai medium untuk taqarrub kepada Allah, dimana tak satupun sampai kepadanya tanpa ilmu, tingkat mulia bagi seorang manusia adalah kebahagiaan yang abadi; di antara wujud yang paling utama adalah wujud yang menjadi perantara kebahagiaan, tetapi kebahagiaan itu tak mungkin dicapai kecuali dengan ilmu dan amal, dan amal tak mungkin dicapai kecuali jika ilmu tentang cara beramal dikuasai.
    Dengan demikian, maka modal kebahagiaan di dunia dan akhirat itu, tak lain adalah ilmu. Kalau demikian, maka ilmu adalah amal yang terutama.(Abuddin Nata :2000:88)
    Selain itu rumusan tersebut mencerminkan sikap zuhud al-Ghazali terhadap dunia, merasa qana’ah (merasa cukup dengan yang ada), dan banayak memikirkan kehidupan akhirat daripada kehidupan dunia.
    Sikap yang demikian itu siperlihatkannya pula ketika rekan ayahnya mengirim al-Gahzali beserta saudaranya, Ahmad, ke Madrasah Islamiyah yang menyediakan berbagai sarana, makanan dan minuman serta fasilitas belajar lainnya. Berkenaan dengan hal ini al-Ghazali berkata,”Aku datang ke tempat ini untuk mencari keridhaan Allah, bukan untuk mencari harta dan kenikmatan.”
    Rumusan tujuan pendidikan al-Ghazali yang demikian itu juga karena al-Ghazali memandang dunia ini bukan merupakan hal yang pokok, tidak abadi dan akan rusak, sedangkan maut dapat memutuskan kenikmatan setiap saat. Dunia hanya tempat lewat sementara, tidak kekal. Sedangkan akhirat adalah desa yang kekal, dan maut senantiasa mengintai setiap saat.
    Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan bahwa orang yang berakal sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehingga orang tersebut derajatnya lebih tinggi di sisi Allah dan lebih luas kebahagiaannya di akhirat. Ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan menurut al-Ghazali tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia hanya sebagai alat. (Abuddin Nata :2005:213)
    2.     Kurikulum
    Secara tradisional kurikulum berarti mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu beradaptasi denagan lingkungannya. Kurikulum tersebut disusun sedemikian rupa agar dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan. (Abuddin Nata :2005:216)
    Konsep kurikulum yang dikemukakan Al-Ghazali terkait erat dengan konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Al-Ghazali ilmu terbagi kepada tiga bagian, sebagai berikut :
    Pertama, ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada manfaatnya, baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan. Al-Ghazali menilai ilmu tertsebut tercela karena ilmu-ilmu tersebut terkadang dapat menimbulkan mudharat (kesusahan) baik yang memilikinya, maupun bagi oaring lain. Ilmu sihir dan ilmu guna-guna misalnya dapat mencelakakan orang, dan dapat memisahkan antara sesama manusia yang bersahabat atau saling mencintai, menyebarkan rasa sakit hati, permusuhan menimbulkan kejahatan dan lain sebagainya. Selanjutnya ilmu nujum yang tergolong yang tidak tercela ini menurut Al-Ghazali dapat dibagi dua, yaitu ilmu nujum yang berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu nujum yang berdasarkan istidlaly, yaitu semacam astrologi dan meramal nasib berdasarkan petunjuk bintang. Ilmu nujum jenis kedua ini menurut Al-Ghazali tercela menurut syara’, sebab dengan ilmu iti dapat menyebabkan manusia menjadi ragu kepada Alllah, lalu menjadi kafir. Misalnya, suatu ketika seorang tukang nujum meramalkan bakal terjadi sesuatu dilangit dengan berpedoman kepada keyakinan langsung atau bedasarkan studi tentang bintang-bintang, kemudian pada waktu terjadinya peristiwa yang diramalkan itu, secara kebetulan terjadi tepat pada waktu yang ditentukan sebelumnya, tentu manusia akan merasa takjub atas kemampuan tukang nujum itu, dan seterusnya orang-orang tersebut akan percaya pada ramalan tukang nujum itu. Kesempatan ini bisa jadi dimanfaatkan oleh tukang nujum untuk menyatakan dirinya sebagai nabi, orang sakti dan sebagainya. Keadaan tersebut selanjutnya akan digunakan untuk memperluas pengaruhnya ditengah-tengah masyarakat, memaksa orang lain untuk melayani keperluannya  dan seterusnya. Masih berkenaan dengan ilmu ini Al-Ghazali mengatakan, bahwa dengan menyelami ilmu ini tidak akan membawa manfaat, dan terkadang  membawa manusia menjadi kufur kepada Allah SWT, seperti mempelajari bagian-bagian yang rumit dari suatu ilmu sebelum memahami bagian-bagiannya yang jelas, atau seperti mempelajari tentang rahasia-rahasia Ilahiyat. Ia sebutkan juga beberapa ilmu lain yang diantaranya adalah bagaian dari ilmu filsafat seperti metafisika.(Abuddin Nata :2000:89)
    Masih dalam ilmu yang termasuk bagian pertama diatas, Al-Ghazali mengtakan bahwa mempelajari filsafat bagi setiap orang tidaklah wajib, karena menurut tabi’atnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu tersebut dengan baik. Orang-orang yang mempelajari ilmu tersebut tak ubahnya seperti anak kecil yang masih menyusu. Anak kecil itu akan jatuh sakit apabila ia makan daging burung atau makan macam-macam makanan, yang belum dapat dicerna oleh perut besarnya. Hal ini akan dapat membahayakan. Kedua, ilmu-ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang berkaitan dengan kebersihan diri dari cacat dan dosa   serta ilmu yang dapat menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang baik dan melaksanakannya, ilmu-ilmu yang mengajarkan manusia tentang cra-cara mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan sesuatu yang diridhai-Nya, serta dapat membekali hidupnaya di akhirat. (Abuddin Nata : 2000:89)
    Terhadap ilmu model kedua Al-Ghazali membaginya kepada dua bagian. Pertama, wajib ‘aini dan wajib kifayah. Selanjutnya al-Ghazali mengatakan bahwa diantara para ulama masih terdapat perbedaan pendapat mengenai ilmu yang tergolong wajib ini. Ada yang mengatakan, bahwa ilmu yang wajib dipelajari itu adalah mengenai zat dan sifat-sifat-Nya. Yang lain lagi mengatakan bahwa ilmu yang wajib itu adalah ilmu fiqih, sebab dengan ilmu ini mengetahui masalah ibadah, mengenal yang halal dan haram, baik yang menyangkut tingkah laku secara umum, atau yang menyangkut bidang mu’amalah. Sementara itu yang lain memandang bahwa ilmu yang wajib itu adalah ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena denagan mengetahui Al-Qur’an dan As-Sunnah tersebut seseorang dapat mengenal agama dengan baik, dan dapat semakin dekat kepada Tuhan.
    Sementara Al-Ghazali sendiri memandang bahwa ilmu-ilmu yang wajib ‘aini bagi setiap muslim itu adalah ilmu-ilmu agama dengan segala jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadat yang pokok seperti shalat, puasa, dan zakat dan sebagainya. Bagi Al-Ghazali, ilmu yang wajib’aini itu adalah ilmu tentang cara mengamalkan amalan yang wajibnya. (Abuddin Nata : 2000:90)
    Sedangkan ilmu-ilmu yang termasuk fardhu kifayah adalah semua ilmu yang mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan seperti ilmu kedokteran yang menyangkut keselamatan tubuh atau hitung yang sangat diperlukan dalam hubungan mu’amalat pembagian wasiat dan warisan dan laian sebagainya. Ilmu-ilmu itu jika tidak ada seorangpun dari suatu penduduk yang menguasainya, maka berdosa seluruhnya. Sebaliknya jika telah ada salah seorang yang menguasai dan dapat mempraktekkannya maka ia sudah dianggap cukup dan tuntunan wajibnya pun lepas dari yang lain. Dengan demikian, ilmu yang wajib kifayah itu adalah ilmu kedokteran dan ilmu hitung. Menurutnya bahwa masyarakat tanpa ilmu ani adalah masyarakat yang  tidak sehat. Al-Ghazali juga menilai tentang adanya bidang pekerjaan yang termasuk kedalam kelompok wajib kifayah, seperti ilmu pertanian, menenun, administrasi dan jahit-menjahit.
    Ketiga, ilmu-ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan tercela jika dipelajarinya secara mendalam itu dapat menyebabkan terjadinya kekacauan dan kesemrawutan antara keyakinan dan keraguan, serta dapat pula membawa kepada kekafiran, seperti ilmu filsafat. Mengenai lmu filsafat dibagi oleh Al-Ghazali menjadi ilmu matematika, ilmu-ilmu logika, ilmu Ilahiyat, ilmu fisika, ilmu politik dan ilmu etika.
    Sampai disini tampaklah oleh kita bagaimana Al-Ghazali membagi ilmu-ilmu yang bermacam-macam itu serta menetapkan nilainya masing-masing sesuai dengan segala macamnya itu, baik  ilmu aqliyah maupun ilmu amaliyah, tidak sama nilainya, dan karena itu pula keutamaannaya berbeda. Menurut Al-Gahzali perbedaan iitu disebabkan oleh salah satu dari tiga bagian.(Abuddin Nata :2000:91)
    1.      Melihat kepada daya yang digunakan untuk menguasainya.
    Karena itu, ia melihat bahwa ilmu-imu aqliyah lebih tinggi nilainya dibanding dengan ilmu-ilmu bahasa, karena ia dicapai melalui akal, sedangkan yang kedua dicapai melalui pendengaran, dan akal lebih mulia dari pada pendengaran.
    2.      Melihat kepada besar kecilnya manfaat yang didapat manusia dari padanya. Maka pertanian, bagi dia lebih tinggi nilainya      dibandingkan dengan pandai besi, karena pertanian sangat penting bagi kehidupan, sedangkan pandai besi hnaya untuk hiasan.
    3.      Melihat kepada tempat mempelajarinya. Maka pandai besi menurut dia, lebih utama dibandingkan dngan kepandaian menyamak kulit. Pandai besi tempatnya adalah toko emas, jadi ia setempat dengan emas. Tapi menyamak kulit bertempat di ruang penyamakan kulit. Jadi orang yang menyamak berada satu tempat dengan kulit bangkai hewan.
    Pada akhirnya Al-Ghazali berkesimpulan, bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu agama dengan segala cabangnya, karena ia hanya dapat dikuasai melalui akal yang sempurna dan daya tangkap yang jernih. Akal adalah sifat manusia yang termulia karena dengan akal itulah amanah Allah diterima manusia, dan dengan akal juga orang dapat berada disisi Allah SWT, mengenai keluasan jangkauan manfaat akal kiranya tidak perlu diragukan. Manfaatnya adalah kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dilihat pula tempatnya yang sudah jelas. Seorang guru tugasnya adalah mengurus masalah hati dan jiwa manusia. Diketahui bahwa wujud yang termulia yang ada di atas bumi ini ialah manusia, dan bagian yang termulia dari materi manusia adalah hatinya.(Abuddin Nata : 2000:92)
    Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, ia mementingkan sisi yang faktual dalam kehidupan, yaitu sisi yang tak dapat tidak harus tetap ada. Selain itu Al-Ghazali juga menekankan sisi-sisi budaya. Ia jelaskan kenikmatan ilmu dan kelezatannya. Menurutnya ilmu itu wajib dituntut bukan karena keuntungan diluar hakikatnya, tetapi karena hakikatnya sendiri. Sebaliknya, Al-Ghazali tidak mementingkan ilmu-ilmu yang berbau seni atau keindahan, sesuai dengan sifat pribadinya yang dikuasai yaitu tasawuf dan zuhud. Disisi lain, sekalipun Al-Ghazali menenkankan pentingnya pengajaran berbagai keahlain esensial dalam kehidupan dan masyarakat, tetapi ia tidak menekankan pentingnya keterampilan.
    Dari sifat dan corak ilmu-ilmu yang dikemukakan di atas, terlihat dengan jelas, bahwa mata pelajaran yang seharusnya diajarkan dan masuk kedalam kurikulum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai berikut (Abuddin Nata : 2000:93)
    Pertama, kecenderungan agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-Ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama diatas segalanya, dan memandangnya sebagai alat untuk mensucikan diri dan memebersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia. Dengan kecenderungan ini, maka Al-Ghazali sangat mementingkan pendidikan etika, karena menurutnya ilmu bertalian erat dengan pendidikan agama.
    Kedua, kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya. Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilaiannya terhadap ilmu berdasarkan manfaaatnya bagi manusia, baik untuk kehidupan di dunia, maupun untuk kehidupan di akihrat. Ia juga menjelaskan bahwa ilmu netral yang tak digunakan pemiliknya bagi hal-hal yang bermanfaat bagi manusia sebagai ilmu yang tak bernilai. Bagi Al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari segi fungsi dan kegunaannya dalam bentuk amaliah. Dan setiap amaliah yang disertai ilmu itu harus pula disertai dengan kesungguhan sebagai niat yang tulus ikhlas. Hal ini terlihat dalam ungkapannya sebagai berikut (Abuddin Nata :2000:94)





    Artinya : “Seluruh manusia akan binasa kecuali yang berilmu, dan seluruh orang yang berilmu akan binasa kecuali yang beramal, dan seluruh orang yang beramal akan binasa kecuali orang yang ikhlas.”

    Dengan melihat sisi manfaatnya dari suatu ilmu ini, tampak Al-Gazali tergolong sebagai penganut paham pragmatis teologis, yaitu pemanfaatan yang disandarkan atas tujuan iman dan dekat dengan Allah SWT. Hal ini tidak dilepaskan dari sikapnya sebagai seorang sufi yang memiliki trend praktis dan faktual.
    Kurikulum yang diajukan Al-Gazali ini mendorong kita untuk mengaitkan pada kurikulum yang disusun oleh Herbert Spenser, seorang filosof berkebangsaan Inggris yang muncul pada pengujung abad ke XIX. Dalam sejarah pemikiran tercatat, bahwa Spenser termasuk filosof dan pendidik awal yang berpikir langsung pada prinsif-prinsif tertentu serta sejalan dengan tujuan pendidikan yang telah digariskan yang sejalan dengan filsafatnya.(Abuddin Nata : 2000 : 94)
    3.     Metode Pengajaran
    Perhatian Al-Gazali dalam bidang metode ini lebih ditunjukkan pada metode khusus bagi pengajaran agama untuk anak-anak. Untuk ini ia telah mencontohkan sebuah metode keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka. Perhatian Al-Gazali akan pendidikan agama dan moral ini sejalan dengan kecendrungan pendidikannya secara umum, yaitu prinsif-prinsif yang berkaitan secara khusus dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini mendapatkan perhatian khusus dari Al-Gazali, karena berdasar pada prinsipnya yang mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan demikian faktor keteladanan yang utama menjadi bagian dari metode pengajaran yang amat penting.
    Tentang pentingnya keteladanan utama dari seorang guru tersebut diatas, juga dikaitkan dengan pandangannya tentang pekerjaan mengajar. Menurutnya mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia dan sekaligus sebagai tugas yang paling agung. Pendapatnya ini, ia kuatkan dengan beberapa ayat Al-Qur’an dan hadist Rasulullah SAW, serta pengulangan berkali-kali tentang tingginya status guru yang sejajar dengan tugas kenabian. Lebih lanjut Al-Gazali mengatakan bahwa wujud yang termulia dimuka bumi ini adalah manusia, dan bagian inti manusia yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas menyempurnakan, menghias, mensucikan dan menggiringnya mendekati Allah SWT. Dengan demikian, mengajar adalah bentuk lain pengabdian manusia kepada Tuhan dan menjunjung tinggi perintah-Nya. Menurut Allah telah menghiasi hati seorang alim dengan ilmu yang merupakan sifat-Nya yang paling khusus. Seorang alim adalah pemegang khas, ia bukan pemilik khas dalam system perbendaharaan. Ia dibenarkan berbelanja dengan uang  untuk siapa saja yang memerlukannya. Kiranya tidak ada lagi martabat yang lebih tinggi dari pada sebagai perantara antara Tuhan dengan makhluk-Nya dalam mendekatkannya kepada Allah, dan menggiringnya kepada surga tempat tinggal tertinggi. (AbuddinNata :2000:95)
    4.     Kriteria Guru Yang Baik
    Sejalan dengan uraian tersebut diatas, Al-Gazali sampai pada uraian mengenai criteria guru yang baik. Menurutnya bahwa guru yang dapat diserahi tugas mengajar adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajarnya, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.
    Selain sifat-sifat umum yang harus dimiliki guru sebagaimana disebutkan di atas, seorang guru juga harus memiliki sifat-sifat khusus atau tugas-tugas tertentu sebagai berikut :
    Pertama, kalau praktek mengajar dan penyuluhan sebagai keahlian dan profesi dan seorang guru, maka sifat terpenting yang harus dimilikinya adalah rasa kasih sayang. Sifat ini dinilai penting karena akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa tentram pada diri murid terhadap gurunya. Hal ini pada gilirannya dapat menciptakan situasi yang mendorong murid untuk menguasai ilmu yang diajarkan oleh seorang guru.
    Kedua, karena mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang yang alim (berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya mengajarnya itu. Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW, yang mengajar ilmu hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat mendekatkan dirinya kepada Allah. Demikian pula seorang guru tidak dibenarkan minta dikasihani oleh muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterima kasih kepada muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina mental. Murid telah memberi peluang kepada guru untuk dekat pada Allah SWT. Namun hal ini bisa terjadi jika antara guru dan murid berbeda dalam satu tempat, ilmu yang diajarkannya terbatas pada ilmu-ilmu yang sederhana, tanpa memerlukan tempat khusus, sarana dan lain sebagainya. Namun jika guru yang mengajar harus datang dari tempat yang jauh, segala sarana yang mendukung pengajaran harus dibeli dengan dana yang besar, serta faktor-faktor lainnya harus diupayakan dengan dana yang tidak sedikit, maka akan sulit dilakukan kegiatan pengajaran apabila gurunya tidak diberikan imbalan kesejahteraan yang memadai.
    Ketiga, seorang guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar di hadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan muridnya memberi pelajaran yang lebih tinggi sebelum ia menguasai pelajaran yang sebelumnya. Ia juga tidak boleh membiarkan waktu berlalu tanpa peringatan kepada muridnya bahwa tujuan pengajaran itu adalah menedekatkan diri pada Allah SWT, dan bukan untuk mengejar pangkat, status dan hal-hal yang bersifat keduniawian. Seorang guru juga tidak boleh tenggelam dalam persaingan, perselisihan dan pertengkaran dengan sesama guru lainnya.
    Keempat, dalam kegitan belajar mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Dalam hubungan ini seorang guru hendaknya jangan mengekspos atau meneyebarluaskan kesalahan muridnya di depan umum, karena cara itu dapat menyebabkan anak murid memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang dan memusuhi gurunya. Dan jika keadaan ini terjadi dapat menimbulkn situasi yang tidak mendukung bagi terlaksananya pengajaran dengan baik.
    Kelima, sorang guru yang baik juga harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru harus bersikap toleran dan mau menghargai keahlian orang lain. Seorang guru hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang bukan keahlian atau spesialisnya. Kebiasaan seorang guru yang mencela guru ilmu, fiqih, dan guru ilmu fiqih mencela guru hadist dan tafsir, adalah guru yang tidak baik.
    Keenam, seorang guru yang baik juga harus memiliki prinsif mengakui adanya perbedaan potensi yang dimiliki murid secara individual, dan memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu. Dalam hubungan ini, Al-Gazali menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas kemampuan pemahaman muridnya, dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya, karena hal itu dapat menimbulkan rasa simpati atau merusak akal muridnya.
    Ketujuh, seorang guru yang baik menurut Al-Gazali adalah guru yang disamping memahami perbedaan tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, juga memahami bakat, tabi’at dan kejiwaan muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya. Kepada murid yang kemampuannya kurang, hendaknya seorang guru juga jangan mengajarkan hal-hal yang rumit sekalipun guru itu menguasainya. Jika hal ini tidak dilakukan oleh guru, maka dapat menimbulkan rasa kurang senang kepada guru, gelisah dan ragu-ragu.(Abuddin Nata : 2000: 98)
    Kedelapan, seorang guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh kepada prinsif yang diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa. Dalam hubungan ini Al-Gazali mengingatkan agar guru jangan sekali-kali melakukan perbuatan yang bertentangan dengan prinsif yang dikemukakannya. Sebab jika hal itu dilakukan akan menyebabkan seorang guru kehilangan wibawanya. Ia akan menjadi sasaran penghinaan da ejekan yang pada gilirannya akan menyebabkan ia kehilangan kemampuan dalam mengatur murid-muridnya. Ia tidak akan mampu lagi mengarahkan atau memberi petunjuk kepada murid-muridnya.
    Dari delapan sifat guru yang baik sebagaiamana dikemukakan di atas, tampak bahwa sebagiannya masih ada yang sejalan dengan tuntutan masyarakat modern. Sifat guru yang mengajarkan pelajaran secara sistematik, yaitu tidak mengajarkan bagian berikutnya sebelum bagian terdahulu dikuasasi, memahami tingkat perbedaan kejiwaan dan kemampuan intelektual para siswa, bersiap simpatik, tidak menggunakan cara-cara kekerasan, serta menjadi pribadi panutan dan teladan adalah sifat-sifat yang tetap sejalan dengan tuntutan masyarakat modern.
    5.     Sifat Murid Yang Baik
    Sejalan dengan tujuan pendidikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka belajar termasuk ibadah. Dengan dasar pemikiran ini, maka seorang murid yang baik, adalah murid yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (Abuddin Nata :2000:99)
    Pertama, seorang murid harus berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina dina dan sifat-sifat tercela lainnya. Sebagaimana halnya shalat, maka menuntut ilmu pun demikian pula. Ia harus dilakukan dengan hati yang bersih, terhindar dari hal-hal yang jelek, dan kotor, termasuk di dalamnya sifat-sifat yang rendah seperti marah, sakit hati, dengki, tinggi hati, ‘ujub, takabur dan sebagainya.(Abuddin Nata :99)
    Kedua, seorang murid yang baik, juga harus menjauhkan diri dari persoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterikatan dengan dunia, karena keterikatan kepada dunia dan masalah-masalahnya dapat mengganggu lancarnya penguasaan ilmu. Hal ini terlihat dari ucapan Al-Gazali yang mengatakan: “bahwa ilmu itu tidak akan memberikan sebagian dirinya kepadamu sebelum engkau memberikan seluruh dirimu kepadanya, maka ilmu pun pasti akan memberikan sebagain dirinya kepadamu. Pikiran yang dibagi-bagikan untuk hal-hal yang berbeda-beda sama halnya dengan anak sungai yang dibagi-bagi ke dalam beberapa cabang. Sebagian airnya diserap oleh tanah dan sebagain lagi menguap ke udara, sehingga tidak ada lagi yang tinggal untuk digunakan pada pertanian.
    Ketiga, seorang murid yang baik hendaknya bersikap rendah hati atau tawadlu. Sifat ini begitu amat ditekankan oleh Al-Gazali. Al-Gazali menganjurkan agar jangan ada murid yang merasa lebih besar dari pada gurunya, atau merasa ilmunya lebih hebat daripada ilmu gurunya, mendengarkan nasehat dan arahannya sebagaimana pasien yang mau mendengarkan nasehat dokternya.(Abuddin Nata :2000:99)
    Keempat, khusus terhadap murid yang baru hendaknya jangan mempelajari ilmu-ilmu yang saling berlawanan, atau pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan. Seorang murid yang baru hendaknya tidak mempelajari aliran-aliran yang berbeda-beda, atau terlibat dalam berbagai perdebatan yang membingungkan. Hal ini perlu diingat, karena murid yang bersangkutan belum siap memahami berbagai pendapat yang berbeda-beda itu, sehingga tidak terjadi kekacauan. Seharusnya pada tahap-tahap awal, seorang murid menguasai dan menekuni aliran yang benar dan yang disetujui oleh guru. Setelah itu, mungkin ia dapat menyertai perdebatan diskusi atau mempelajari aliran-aliran yang bertentangan.(Abuddin Nata :2000:100)
    Kelima, seorang murid yang baik hendaknya mendahulukan mempelajari yang wajib. Pengetahuan yang menyangkut berbagai segi (aspek) lebih baik daripada pengetahuan yang menyangkut hanya satu segi saja. Mempelajari Al-Qur’an misalnya harus didahulukan, karena dengan menguasai Al-Qur’an dapat mendukung pelaksanaan ibadah, serta memahami ajaran agama Islam secara keseluruhan, mengingat Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam. Hal ini sejalan dengan pendapat Al-Gazali yang mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang ada itu saling berkaitan dan berhubungan antara satu dengan yang lainnya, di mana biasa terjadi keawaman terhadap salah satunya lebih ringan dibandingkan terhadap ilmu lainnya.(Abuddin Nata :2000:100)
    Keenam, seorang murid yang baik hendaknya mempelajari ilmu secara bertahap. Seorang murid dinasehatkan agar tidak mendalami ilmu secara sekaligus, tetapi memulai dari ilmu-ilmu agama dan menguasainya dengan sempurna. Setelah itu, barulah ia melangkah kepada ilmu-ilmu lainnya, sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jika ia tidak mempunyai waktu untuk mendalaminya secara sempurna, maka seharusnya ia pelajari saja rangkumannya.
    Ketujuh, seorang murid hendaknya tidak mempelajari satu disiplin ilmu sebelum menguasai disiplin ilmu sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu tersusun dalam uraian tertentu secara alami, di mana sebagiannya merupakan jalan menuju kepada sebagian yang lain. Murid yang baik dalam belajarnya adalah yang tetap memelihara urutan dan pertahapan tersebut.
    Kedelapan, seorang murid hendaknya juga mengenal nilai setiap ilmu yang dipelajarinya. Kelebihan dan masing-masing ilmu serta hasil-hasilnya yang mungkin dicapai hendaknya dipelajarinya dengan baik. Dalam hubungan ini Al-Gazali mengatakan bahwa nilai ilmu itu tergantung pada dua hal, yaitu hasil dan argumentasinya. Ilmu agama misalnya berbeda nilainya dengan ilmu kedokteran. Hasil ilmu agama adalah kehidupan yang abadi, sedangkan hasil ilmu kedokteran adalah kehidupan yang sementara. Oleh karena itu ilmu agama kedudukannya lebih mulia daripada ilmu kedokteran. Contoh lain adalah ilmu hitung dan ilmu nujum. Ilmu hitung lebih mulia daripada ilmu nujum, karena dalilnya lebih kuat dan teguh daripada dalil ilmu nujum. Selanjutnya jika ilmu kedokteran dibandingkan dengan ilmu hitung, maka tergantung dari sudut mana  melihatnya.(Abuddin Nata :2000:101)
    Ciri-ciri murid yang demikian nampak juga masih dilihat dari perspektif  tasawuf yang menempatkan murid sebagaimana murid tasawuf di hadapan gurunya. Ciri-ciri tersebut untuk masa  sekarang tentu masih perlu ditambah dengan ciri-ciri yang lebih membawa kepada kreativitas dan kegairahan dalam belajar.(Abuddin Nata :2005:212)
    6.     Evaluasi
    Pendapat al-Ghazali mengenai evaluasi agak aneh, memang, terutama bagi orang yang terbiasa menghadapi evaluasi melalui kertas dan pensil dengan item-item yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Evaluasi al-Ghazali adalah evaluasi melalui hidup dengan segala cobaan, bukanlah pendidikan itu kehidupan, seperti kata John Dewey, ‘bukan sekedar persiapan untuk hidup’. Kalau ia adalah kehidupan, maka orang yang menghadapi evaluasi dalam pendidikan haruslah betul-betul muncul dari kehidupan itu. Misalnya ujian statistik di perguruan tinggi tidak boleh direkayasa secara artificial, dengan tujuan menggagalkan sekian persen peserta yang ikut ujian itu.(Fathiyah Hasan Sulaiman, 1986:18)

    Sebaliknya ujian itu harus direkayasa dari situasi sebenarnya, dan untuk menjawabnya jiga bisa buku-buku, malah kalau perlu ujian diadakan di perpustakaan sehingga kalau lupa satu formula, dalam statistic misalnya, bisa pergi membaca sederatan buku statistic yang ada diperpustakaan. Bukankah dalam kehidupan sehari-hari kita, sebenarnya, tidak pernah menghafal formula, dan kehidupan juga tidak menuntut kita menghafal formula-formula itu, yang dituntutnya ialah menyelesaikan masalah yang dihadapi.
    Cara terakhir ini memang kita baca dalam karya-karya al-Ghazali dan pemikir-pemikir Islam yang semasa mengenai evaluasi. Tidak ada bukti lebih tegas apakah konsepsi evaluasi ini lebih baik dari peristiwa-peristiwa pemberian ijazah sebagai penutup dari suatu tahap pendidikan.Ijazah itu sendiri dalam bahasa Arab berarti si murid telah diberi izin untuk mengajarkan ilmu yang telah diterimanya dari guru-gurunya.Upacara ini tidak disertai segulung kertas tanda lulus mendapat title Drs. Ir. SH. Dan lain-lain. Ia hanya disertai upacra sederhana, yaitu pemindahan sorban dari kepala seorang syeikh, katakana syeikh tafsir, kepada kepala seorang muridnya yang dipercayainya bisa menjarkan tafsir itu kepada orang lain. Suatu evaluasi yang betul-betul timbul dari kehidupan sebenarnya.(Fathiyah Hasan Sulaiman, 1986:19)



    BAB IV
    PEMBAHASAN
    ANALISA KONSEP PENDIDIKAN MENURUT AL-GHAZALI

    Dari keseluruhan pendekatan uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa Al-Ghazali adalah seorang ulama besar yang menaruh perhatian cukup tinggi terhadap pendidikan. Corak pendidikan yang dikembangkannya tamapak dipengaruhi oleh pandangannya tentang tasawuf dan fiqih. Hal ini tidak mengherankan karena dalam kedua bidang tersebut ilmu tersebut itulah al-Ghazali memperlihatkan kecenderungannya yang besar. Konsep pendidikan yang dikemukakannya nampak selain sistematik dan komphrensif juga secara konsisten sejalan dengan sikap dan kepribadiannya sebagai seorang sufi.
    Konsep pendidikan al-Ghazali tersebut merupakan aplikasi dan response dari jawabannya terhadap permasalahan sosial kemasyarakatan yang dihadapinya saat itu. Konsep tersebut jika diaplikasikan di masa sekarang nampak sebagiannya masih ada yang sesuai dan sebagaian lainnya ada yang perlu disempurnakan. Itulah watak hasil pemikiran manusia yang selalu menuntut penyempurnaan.(Abuddin Nata :2005:218)
    Yang harus diperhatikan dalam mempelajari karya-karya al-Ghazali tentang pendidikan secara umum adalah pola berpikirnya mengenai masalah-masalah pendidikan. Al-Ghazali tidak menulis secara lepas, tetapi mengikuti suatu alam pemikiran tertentu yang sangat jelas bagi orang yang membaca tulisan-tulisannya itu. Filsafatnya jelas dan definitive. Karena itu ketika menulis masalah-masalah pendidikan, ia memulai dari penjelasan tentang tujuan yang dikehendaki dari kegiatan mengajar yang disinari dengan cahaya filsafat cahaya sufistiknya dan pada saat yang sama sikap realitisnya. Hal ini dilakukan ketika merumuskan materi pendidikan. Ia tidak membuat materi secara serampangan, tetapi disusun menurut langkah pendidikan yang telah dirumuskan sehingga sejalan dengan tujuan-tujuan pendidikan yang dicanangkan. Karena itu ia melakukan sistematisasi, pembagian dan penilaian ilmu pengetahuan dan meletakkan secara berjenjang sesuai dengan ukuran yang ditetapkan menurut kegunaannya bagi murid atau bahaya yang mungkin diderita. Ia juga menerangkan soal cinta kasih yang seyogyanya merupakan perekat hubungan antara guru dan murid. Disertai banyak contoh, ia menjelaskan bagaiamana guru berhubungan dengan murid nya dan sebaliknya, murid berhubungan dengan gurunya. Ini berarti al-Ghazali meletakkan suatu asas yang patut diikuti dalam mengajar. (Fathiyah Hasan Sulaiman :1986:92)
    Al-Ghazali juga menerangkan metode mengajar agama dan membina tingkah laku dengan amat jelas berdasarkan pada garis serta corak filsafat dan tujuan pendidikannya. Karena itu al-Ghazali berada dalam barisan pertama para filosof pendidik yang telah merumuskan system pendidikan berdasar pola pemikiran dan aliran filsafat tertentu, seperti Plato, Rousseau, Dewey dan lainnya.
    Yang perlu diperhatikan juga oleh orang yang mempelajari al-Ghazali adalah kecenderungan pragmatise yang menguasai pikirannya, meskipun ia seorang sufi. Ia selalu berbicara bagaimana mencapai kebahagiaan akhirat, tetapi pikiran pragmatisnya tidak membuat ia lupa pada kebahagiaan dunia. Ia berpendapat, bahwa kebahagiaan duniawi bisa dicapai dengan cara hidup mulia, membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela dan interkasi positif denagan sesama manusia. Pendapatnya tentang cara memperoleh kebahagiaan dunia ini sudah barang tentu cocok dengan filsafatnya. Kebahagiaan duniawi menurut Al-Ghazali jauh dari pola kehidupan matearilistik dengan melupakan aspek manfaat dalam kehidupan. Al-Ghazali telah menasehatkan agar mengajarkan ilmu-ilmu yang sangat diperlukan untuk kehidupan manusia yang dapat mewujudkan kebahagiaan dan kesahteraan sosial, seperti kedokteran, ilmu hitung, dan beberapa ketrampilan teknis. Di sini tampak sikap realistis al-Ghazali dan perhatiannya pada aspek manfaat yang dibutuhkan dalam kehidupan duniawi.
    Karya-karya Al-Ghazali menunjukkan bahwa ia seorang cendikiawan yang melakukan penelitian lebih dahulu sebelum menulis. Terlihat juga pandangan-pandangannya bersumber dari proses kehidupan yang dialami, dari bidang ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman dan problematika yang pernah dihadapi dalam perkembangan hidupnya. Kita lihat misalnya, ia menyarankan agar kita mengikuti suatu cara ini adalah cara terbaik untuk menanamkan dasar-dasar agama pada jiwa seorang dengan mendikte dan menyakinkan, kemudian dikukuhkan dengan argumentasi dan bukti-bukti yang diambil dari membaca, merenungkan pesan-pesan dan makna al-Qur’an. Jelas al-Ghazali sampai pada keyakinan ini, setelah ia melakukan penelitian nyata dari perkembangan penghayatan keagamaan yang dialami. (Fathiyah Hasan Silaiman :1986:94)
    Pikiran al-Ghazali mengenai nilai pendidikan yang baik, dan sesuatu yang mungkin ditempuh menuju upaya pendidikan guna memperbaiki individu dan masyarakat, sama dengan pikiran beberapa filosof, ahli pendidikan dan pembaharu sosial yang mendahuluinya maupun yang datang kemudian. Seperti Plato, Aristoteles, Roussesau, Pestalozzi, John Dewey, dan lain-lain. Mereka yakin bahwa pendidikan yang benar dan dirumuskan berdasarkan asas yang benar dan baik merupakan jalan satu-satunya untuk memperbaiki pembentukan individu yang pada gilirannya akan membawa perbaikan masyarakat.Tidak perlu komentar, Plato dalam Republia dan Aristoteles dalam Politik, menyatakan, bahwa pembangunan masyarakat hanya bisa ditempuh denagan memperbaiki sistim pendidikan. Hal yang sama dikemukakan Rouseau dalam Emile, yang dikutip oleh Pestalozzi dalam Leonardogartrud dan dalam karya-karya John Dewey, seperti Democracy and Education, Shool and Society, dan sebagainya.
    Ungkapan Al-Ghazali kurang lebih sama dengan ungkapan Rousseau yang mengatakan, bahwa pendidikan bisa menyempurnakan kekurangan manusia dalam proses pembentukan nya. Ia mengatakan ada beberapa makhluk yang sejak adanya telah memiiliki bentuk yang sempurna tidak bisa ditambah dan dirubah, seperti bumi dan bintang-bintang. Sementara makhluk lain memiliki bentuk yang belum sempurna waktu lahir, seperti manusia. Pendidikan yang baik merupakan sarana untuk menyempurnakan kekurangan tersebut. (Fathiyah Hasan Sulaiman :1986:95)
    Rousseau mengatakan dalam buku pertama Emile,” :
    “… Kita terlahir dalam keadaan lunglai dan memerlukan penguat. Kita membutuhkan pertolongan. Kita pun memerlukan kekuatan untuk memahami sesuatu.  Segala kebutuhan untuk melengkapi kekurangan ketika lahir hanya kita peroleh melalui pendidikan.”
    Dengan demikian jelas ketegaran pendirian al-Ghazali dan Rosseau tentang kemungkinan mendidik manusia untuk menyempurnakan kekurangan serta melengkapi apa yang tidak terdapat dalam proses penciptaan. (Fathiyah Hasan Sulaiman :1986:96)
    Al-Ghazali sama sekali tidak bicara mengenai pendidikan wanita. Dia mencurahkan seluruh perhatiannya pada pendidikan anak laki-laki. Ini tidak mengherankan, sebab menurut mayoritas umat Islam, pendidikan itu hanya untuk anak laki-laki saja. Misalnya al-Ghazali mengtakan, menuntut ilmu itu wajib bagi tiap-tiap muslim. Dia tidak mengatakan bahwa menuntut ilmu -ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimat. Begitu juga al-Ghazali lupa dan kurang memperhatikan pendidikan kesenian dan estetika. Hal ini memang sesuai dengan pandangan tasawufnya, sebab mengajarkan kesenian dan estetika pada anak tidak sesuai dengan pendidikan hidup sederhana yang jauh di-ri keindahan dan kemewahan seperti yang ia sarankan.
    Tidak jelas pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan profesi. Ia sering berbicara tentang perlunya pengajaran pengetahuan-pengetahuan yang mengarah ke profesionalisme, seperti kedokteran, astronomi, ilmu hitung dan teknologi, tapi dalam waktu yang sama tidak nampak kesungguhannya pada pendidikan jenis ini. Bahkan sebaliknya, ia termasuk oaring-orang yang menyerukan agar oaring tidak mencari upah ketika melakukan pengabdian sosial. Terutama di bidang pendidikan ia banyak mengutip pendapat yang tidak membenarkan profesionalisme atau bayaran mengajar. Sebab ilmu harus dicari demi ilmu itu sendiri dan demi tolong menolong untuk mendekatkan kepada Allah, bukan untuk mencari rizki dan harta. (Fathiyah Hasan Sulaiman : 1986:96).
    Meskipun ia memuji profesi mengajar dengan mengatakan sebagai profesi dan tugas paling penting dan mulia , tetapi dalam waktu yang sama ia mengecam guru yang meminta bayaran dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai tidak tepuji dan tidak layak dihormati.(Fathiyah Hasan Sulaiman :1986:97)
    Secara umum Al-Ghazali adalah termasuk filosof yang meletakkan sistim pendidikan yang universal, mempunyai tujuan yang jelas dan tepat sasaran. Ia termasuk orang yang berbicara mengenai berbagai bidang yang berhubungan dengan pendidikan anak. Sistim pendidikannya mengikuti suatu ilmu pemikiran tertentu yang tidak sulit difahami dan mudah didefinisikan. Jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh pendidikan Barat, ia sebanding denagan tokoh-tokoh yang paling masyhur dan paling besar, seperti Plato dan Rousseau. Bahkan al-Ghazali punya kelebihan dari mereka, karena ia mendasarkan pandangan dan pikirannya pada kenyataan hidup yang dialaminya. Sedang mereka menulis masalah pendidikan secara teoritis, tidak bersandar pada realitas. (Fathiyah Hasan Sulaiman :1986:97)

    BAB V
    KESIMPULAN DAN SARAN

    A.     KESIMPULAN
    Kesimpulan dari uraian diatas adalah bahwa sikap religius, sufistik dan usaha al-Ghazali untuk membersihkan hati individu-individu untuk mewujudkan keutamaan dalam masyarakat merupakan sebab pokok perhatiannya terhadap pendidikan agama dan pendidikan akhlak. Kesimpulan lain, bahwa Al-Ghazali sangat yakin bahwa pendidikan yang benar bisa berperan banyak dalam memperbaiki budi pekerti dan membina perilaku seseorang. Ia mengatakan bahwa tingkah laku seseorang, secara umum, adalah hasil simbolis antara tabiat fitrahnya dengan faktor-faktor lingkungan yang mengitarinya. Dalam hal ini al-Ghazali sama dengan ahli-ahli pendidik modern yang mengatakan, bahwa kepribadian merupakan hasil interaksi antara kecendrungan fitrah dengan pengaruh lingkungannya.
    Dengan cara ini al-Ghazali telah menemukan betapa pentingnya perhatian terhadap kecendrungan fitrah manusia yag perlu diatur semampu mungkin dengan seimbang diantara dua sisi ekstrim. Al-Gazali mengemukakan, bahwa sebaik-baik sesuatu adalah yang ditengah-tengah. Ini mengingatkan kita pada seorang filosof Yunani kuno. Aristoteles yang berpendapat bahwa sebaik-baik segala sesuatu adalah yang ditengah-tengah. Seperti telah dijelaskan bahwa filsafat kuno yang dipelajari al-Ghazali adalah filsafat Aristoteles. Ia membaca dan mengkritik karya-karyanya.
    Al- Ghazali sebagai seorang yang mempelajari tabi’at manusia secara cermat dan parpurina banyak berbicara mengenai kecendrungan fitrah manusia, atau yang menurutnya disebut ghazirah. Ia menjelaskan bahwa watak manusia itu diciptakan untuk mengabdi kepada tujuan-tujuan hidup. Hilangnya watak ini akan merugikan manusia dan menjerumuskan dia dan keturunannya dalam bahaya, bahkan dalam kehancuran. Ia juga menerangkan bahwa ada beberapa watak yang lebih kuat dari yang lain dan ada yang lebih mudah diatur. Dalam hal ini al-Ghazali sama dengan ahli jiwa modern yang membedakan kecendrungan fitrah manusia dari segi kekuatan dan penerimannya pada perubahan. Ia juga menekankan arti penting kecendrungan fitrah manusia untuk kehidupan dan kelangsungannya.
    Dalam membicarakan watak manusia Al-Gazali lebih jauh menerangkan bahwa ada beberapa watak manusia yang telah ada sejak lahir, ada juga yang tercipta dalam dirinya mengikuti perkembangan usia. Pendapat ini juga ada unsur kesamaan dengan teori-teori kejiwaan modern yang akan mencapai tahap kuat dan matang dalam periode terutama dari perkembangan pertumbuhan individu.
    Ketika al-Ghazali berbicara tentang upaya membentuk dan membuat keseimbangan watak anak dalam pendidikan, seakan-akan ia termasuk ahli pendidikan modern. Dalam hal ini, usaha pendidikan haruslah meliputi usaha merubah watak dengan mengangkat atau menariknya, agar kemarahan menjadi keperwiraan, kepatuhan kepada penguasa dan kesungguhan dalam mengabdi kepada Negara dan sebagainya. Ia mengatakan juga, bahwa pendidikan yang baik bukan dengan cara mencabut kecendrungan fitrah manusia dari akalnya, atau menghapusnya secara total. Sebab yang demikian itu  tidak mungkin, bahkan bertentangan dengan tabi’at manusia.
    Al-Ghazali juga telah menerangkan pentingnya seorang guru mengetahui watak murid dalam segi kejiwaan. Ia mengatakan pengetahuan terhadap kejiwaan murid adalah sangat perlu dan tidak bisa diabaikan. Pengamatan guru pada kejiwaan anak sangat membantu dirinya dalam memilih metode yang sepatutnya dipraktekkan pada murid, dalam mengajar, mendidik, atau membimbing, baik ketika masih kecil atau ketika sudah beranjak dewasa. Bila guru tidak mempelajari kejiwaan, bisa menyebabkan bahaya besar. Pendapat al-Ghazali ini sejalan betul dengan pendapat yang kini berlaku yang mengatakan bahwa pelajaran ilmu jiwa merupakan salah satu tuntutan utama bagi calon guru yang baik. Tidak mungkin seorang guru memenuhi tugasnya dengan baik, bila ia tidak benar-benar memahami teori-teori ilmu jiwa yang menjelaskan perilaku, kecendrungan-kecendrungan warisan, kecendrungan fitrah dan perkembangan berfikir anak selama masa pertumbuhannya serta pengetahuan-pengetahuan lain yang membantu guru dalam mengajar.
    Ketika al-Ghazali berbicara tentang nilai permaian bagi anak, ia telah mengmukakan pendapat yang sangat matang, baik untuk saat itu maupun masa-masa sesudahnya. Al-Gazali tidak menganggap permainan semata-mata sebagai kegiatan bersama yang dilakukan oleh anak. Permainan mempunyai tiga tugas pokok, yang sangat dibituhkan baik untuk pertumbuhan jasmani maupun intelektual. Pertama-tama permainan membantu untuk menggerakkan tubuh anak serta menguatan otot-ototnya yang akan membawa pertumbuhan jasmaninya tumbuh dengan sehat. Selain itu permainan juga membuat hati anak senang dan segar yang merupakan pendorong kebahagiaan yang sangat dibutuhkan. Dan terakhir, permainan sebagai usaha menghilangkan keletihan belajar yang dilakukan anak dengan riang merupakan salah satu hal yang mempermudah pendidikan. Selanjutnya ia menerangkan, bahwa anak yang dilarang bermain bisa membuat ia jenuh dan tidak suka belajar. Tidak ragu lagi, ahli pendidikan modern mengemukakan pendapat yang sama dengan al-Ghazali tentang manfaat bermain dan tugas-tugas yang harus dipenuhi untuk pendidikan secara umum. Mereka mengatakan, kebanyakan penelitian dan seminar pendidikan berkesimpulan bahwa beberapa anak tidak mau lagi belajar akibat mereka tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk bermain dan bergembira.
    Tidak ketinggalan al-Ghazali berbicara tentang penghargaan dan hukuman dan bagaimana menggunakannya untuk tujuan pendidikan.Pendapat al-Ghazali mengenai hal ini sangat seimbang, terutama hukum anak, dan jangan sering mencela atau mengungkapkan kejelekan sebagai hukuman atas perbuatan jeleknya. pikiran-pikiran ini dibenarkan oleh ahli-ahli ilmu jiwa pada masa kini. Banyak penelitian menunjukkan bahwa mayoritas kesulitan dan problema kejiwaan serta kegagalan hidup yang diderita manusia merupakan akibat sikap para pendidik yang banyak memarahi mereka dan sering menghalang-halangi kemauan anak yang terbelakang dalam pelajaran. Umumnya, mereka menyerah dengan akhlak anak yang tidak baik atau tidak terpuji itu 

    B.      SARAN
    Yang perlu diperhatikan dalam mempelajari karya-karya al-Ghazali ialah kecenderungan pragmatis yang menguasai pikirannya, bagaimana mencapai kebahagiaan akhirat, tetapi tidak membuat kita lupa akan kebahagiaan dunia.
    Kebahagiaan dunia bisa diraih dengan hidup mulia, dengan cara membersihkan jiwa kita dari sifat-sifat tercela dan interaksi positif dengan sesama manusia.
    Keterkaitannya dengan itu semua, penulis mempunyai saran-saran sebagai berikut:
    1.        Bagi sekolah-sekolah atau madrasah-madrasah dalam melaksanakan kegiatan pendidikan, hendaknya memasukkan paham-paham pikiran pendidikan al-Ghazali dalam kurikulum madrasah atau sekolahnya  karena pola pikir al-Ghazali mengajarkan keseimbangan dunia dan akherat yang sesuai dengan budi pekerti dalam pelajaran PPKn.
    2.        Bagi praktisi pendidikan hendaknya berpikiran dan berprilaku seperti kerangka konsep Al-Ghazali dalam mendidik anak didiknya karena pola pikir al-Ghazali sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan.

    3.        Bagi penulis berikutnya, supaya menyempurnakan kembali hasil penelitian yang penulis lakukan, karena masih banyak nilai-nilai pendidikan yang belum terungkap dalam tulisan ini, oleh karenanya, bagi penulis supaya melengkapi berikut aplikasinya dalam dunia pendidikan secara nyata.

    DAFTAR PUSTAKA


    Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Raja Grafindo Persadsa, Jakarta, 2005.
    Abdurrahman Saleh, Drs. Didaktik Pendidikan Agama di Sekolah Dasar, Penerbit “Pelajar”, Bandung, 1969.
    Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Garya Media Pratama, Jakarta, 2005.
    A. Djzali, Ilmu Fiqih, Orba Shakti, 1993.
    Ali Issa Otham, Manusia Menurut Al-Gazali, Pustaka Bandung, 1981.
    Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam
    Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Logos Jakarta, 2000.
    Depag RI, Al-Qur’an Dan Terjemahan, Jakarta, 1995.
    Dra. H. Zuhairini, Drs. Abdul Ghofir, Drs. Slamet As. Yusuf, Metodik Khusus Pendidikan Agama, Usaha Nasional, Surabaya 1981.
    Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1987.
    Hasbulah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005
    Hery Noer Aly, Munzier S, Watak Pendidikan Islam, Bina Ilmu Surabaya, 1997.
    Masan AF, Aqidah Akhlaq Madrasah Tsanawiyah, Karya Toha Putra, Semarang, 2005.

    M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1991.
    M. Suparta, Herry Noer Aly, Metodologi Pengajaran Agama Islam Amisco, Jakarta, 2002.
    Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafat Pendidikan Islam, Bulan Bintang, 1979.
    S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, Rineka Cipta, Semarang, 1996.
    Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Semarang, 1997
    Suwendi, Sejarah Dan Pemikiran Pendidikan Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.










    Tidak ada komentar:

    Makalah

    Skripsi

    Tesis