BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang
peranan yang menentukan eksistensi dan perkembangan masyarakat tersebut, oleh
karena pendidikan merupakan usaha melestarikan, dan mengalihkan serta mentranfortasikan
nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspeknya dan jenisnya kepada generasi
penerus. Demikian pula halnya dengan peranan pendidikan di kalangan umat Islam, merupakan salah bentuk
manifestasi dari cita-cita hidup Islam untuk melestarikan, mengalihkan dan menanamkan
(internalisasi) dan mentransformasikan nilai-nilai Islam tersebut kepada
pribadi generasi penerusnya sehingga nilai-nilai cultural-religius yang
dicita-citakan tetap berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari
waktu-kewaktu.
Pendidikan Islam, bila dilihat dari segi kehidupan
cultural umat manusia tidak lain adalah merupakan salah satu alat pembudayaan
(enkulturasi) masyarakat itu sendiri. Sebagai suatu alat, pendidikan dapat
difungsikan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia,
(sebagai makhluk pribadi dan sosial), kepada titik optimal kemampuannya untuk
memperoleh kesejahteraan hidup di dunia dan kebahagiaan hidupnya di akhirat.
Dalam hal ini, maka kedayagunaan pendidikan sebagai alat pembudayan sangat
bergantung pada pemegang alat tersebut yaitu pendidik.
Oleh karena itu, untuk memperoleh gambaran tentang pola
berfikir dan berbuat dalam pelaksanaan pendidikan Islam pada khususunya,
diperlukan kerangka berpikir teoritis yang mengandung konsep tentang
pendidikan-pendidikan Islam, disamping konsep-konsep operasionalnya dalam
masyarakat. Dengan kata lain bahwa untuk memperoleh suatu keberhasilan dalam
proses pendidikan Islam, diperlukan adanya “Ilmu
Pengetahuan” tentang “Pendidikan
Islam “baik bersifat teoritis maupun praktis. Arifin (1991:8) mengemukakan
beberapa alasan tentang perlunya Ilmu Pendidikan Islam secara Teoritis tersebut
antara lain :
- Pendidikan sebagai usaha membentuk peribadi manusia harus melalui proses yang panjang, dengan resultat (hasil) yang tidak dapat diketahui dengan segera, berbeda denagan membentuk benda mati yang dapat dilakukan sesuai dengan keinginan pembuatnya.
- Pendidikan Islam pada khususnya yang bersumberkan nilai-nilai agama Islam disamping menanamkan atau membentuk sikap hidup yang dijiwai nilai-nilai tersebut, juga mengembangkan kemampuan berilmu pengetahuan sejalan denagan nilai-nilai Islam yang melandasinya adalah merupakan proses ikhtiariah yang secara pedagogis mampu mengembangkan hidup anak didik kearah kedewasaan/kematangan yang menguntungkan dirinya.
- Islam sebagai agama wahyu yang diturunkan oleh Allah dengan tujuan untuk mensejahterakan dan membahagiakan hidup dan kehidupan manusia didunia dan di akhirat.
- Ruang lingkup pendidikan Islam adalah mencakup segala bidang kehidupan manusia di dunia dimana manusia mampu memanfaatkan sebagai tempat menanam benih-benih amaliah yang buahnya akan dipetik di akhirat nanti.
- Teori-teori, hipotesa dan asumsi-asumsi kependidikan yang bersumberkan ajaran Islam sampai kini masih belum tersesusun secara ilmiah meskipun bahan-bahan bakunya telah tersedia, baik dalam kitab suci Al Quran dan Al Hadist maupun qaul ulama.
Al-Ghazali
mengemukakan, tujuan pendidikan adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT,
bukan untuk mencari kedudukan yang menghasilkan uang. Karena jika tujuan
pendidikan diarahkan bukan pada mendekatkan diri kepada Allah SWT, akan dapat
menimbulkan kedengkian, kebencian, dan permusuhan. ( Abuddin Nata : 2005:212 ).
Melihat betapa besarnya perhatian Al-Ghazali terhadap
pendidikan Islam, pada hakekatnya merupakan aktualisasi dari ajaran pendidikan Islam
itu sendiri, yaitu : agama, ilmu, akhlak, mental dan masyarakat. Oleh karena
itu, penulis berminat untuk mengadakan analisa terhadap konsep pendidikan Islam
menurut Al-Ghazali. Dan dari itu penulis memilih judul “Konsep Pendidikan Islam Menurut Al-Ghazali
( Sebuah Analisa Teoritis ).
B. Perumusan Masalah
Agar dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang
permasalahan yang diteliti, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
a.
Bagaiamana konsep al-Ghazali dalam
pendidikan Islam.
b.
Bagaimana al-Ghazali mengaktualisasikan
konsep pendidikannya.
C. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian
- Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh gambaran yang
jelas tentang :
a.
Ingin memperoleh informasi yang
akurat tentang usaha-usaha Al-Ghazali dalam mempertahankan eksistensi konsep
pendidikan, sebagai sub system pendidikan Islam.
b.
Ingin mengetahui sejauhmana
usaha-usaha yang dilakukan oleh Al-Ghazali dalam mengaktualisasikan konsep
pendidikan Islam.
- Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu:
a.
Kegunaan secara Teoritis yaitu :
Dari hasil penelitian ini diharapkan
dapat dijadikan masukan kritis sekitar konsep yang dirumuskan oleh
al-Ghazali.
b.
Kegunaan secara Praktis yaitu : dari
hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan kepada
semua pihak yang melakukan pendidikan Islam yang bercorak al-Ghazali.
D. Metodologi Penelitian
1. Rencana (Desaint
Penelitian)
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif yaitu sejarah atau historiografi tentang al-Ghazali,
kajian ini tidak hanya berkenaan mengenai kehidupan seperti yang biasa
disajikan disekolah. Penelitian sejarah juga diterapkan terhadap bidang
pengetahuan apa saja. Maksudnya ialah untuk belajar dari kesalahan dan
keberhasilan yang terjadi didalam sejarah. Karena sejarah tentu juga adalah
semacam pengalaman. Biasanya yang dilakukan dalam historiografi ialah penemuan
keterkaitan antara berbagai kejadian yang telah terjadi dimasa lalu dan
penelurusan masa lalu untuk menerangkan mengapa hal itu terjadi sekarang.
Dalam garis besarnya ada empat kegiatan utama yang
dilakukan dalam historiografi, yaitu menemukan bahan-bahan sejarah, pengujian
ketat (tidak asal) dan keaslian sumber serta kesahehan fakta yang terkandung
dalam bahan-bahan sejarah itu. (S. Margono, 2005 : 109).
Disamping itu data yang dipergunakan dalam penelitian
ini dikumpulkan dari sumber-sumber pustaka yang sudah ada sebagai obyek kajian
sebagai data sekunder (S. Margono, 2005 : 23).
2. Tehnik Pengumpulan Data
Didalam pengumpulan data, penulis menggunakan metode
dokumentasi. Dari asal katanya dokumen, yang artinya barang-barang tertulis.
Didalam melaksanakan dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis
seperti buku-buku, majalah, dokumen-dokumen dan sebagainya (Suharsimi Arikunto,
1997 : 149).
Cara pengumpulan data seperti ini dilakukan juga melalui
peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip yang termasuk didalamnya buku-buku
tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah
penelitian disebut tehnik dokumenter atau studi dokumenter (S. Margono, 2005 :
181).
Sesuai dengan penelitian yang penulis lakukan yaitu
mengenai Konsep Pendidikan Islam Menurut al-Ghazali (sebuah Analisa Teoritis).
3. Tehnik Analisa Data
Adalah data yang diperoleh melalui pengumpulan data maka
dalam penganalisaannya penulis menggunakan kajian pustaka, maka kajian yang
dimulai dengan pelaksanaan kepustakaan.
Mengenal pustaka dan pengalaman orang lain berarti
mencari teori-teori, konsep-konsep yang dapat dijadikan landasan teoritis bagi
penelitian yang akan dilakukan, agar penelitian mempunyai dasar yang kokoh, dan
bukan sekedar perbuatan coba-coba (trial and error) (S. Margono, 2005 : 78).
Sedangkan tahapan analisis data dalam kajian ini dapat
diuraikan antara lain (Suharsimi Arikunto, 1997 : 245-248).
1.
Deskriptif yaitu, penelitian non
hipotesis artinya dalam langkah penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis.
2.
Komparasi, yaitu menemukan
permasalahan melalui persamaan-persamaan dan perbedaan tentang ide-ide, tentang
orang, kelompok, kritik terhadap orang terhadap suatu ide atau prosedur kerja.
Dapat juga membandingkan kesamaan pandangan dan
perubahan-perubahan pandangan orang, grup atau Negara terhadap kasus, terhadap
orang, peristiwa atau ide-ide.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG PENDIDIKAN ISLAM
A. Pengertian Pendidikan Islam
Para ahli pendidikan
menemui kesulitan dalam merumuskan definisi pendidikan. Kesulitan ini antara
lain disebabkan oleh banyaknya jenis kegiatan serta aspek kepribadian yang
dibina dalam kegiatan itu, masing-masing kegiatan tersebut dapat disebut
pendidikan. Dengan perkataan lain kesulitan itu disebutkan oleh banyaknya jenis
kegiatan dan luasnya aspek kepribadian yang harus dibina oleh pendidikan.(Ahmad
Tafsir :1990:5)
Rupert C.Lodge dalam Philosophy
of Education (1974:23) menyatakan bahwa dalam pengertian yang luas
pendidikan itu menyangkut seluruh pengalaman. Anak mendidik orang tuanya, murid
mendidik gurunya, anjing mendidik tuannya. Semua yang kita sebut atau kita
lakukan dapat disebut mendidik kita, begitu juga dikatakan dan dilakukan oleh
selain kita dapat disebut mendidik kita. Dalam pengertian yang luas ini
kehidupan adalah pendidikan dan pendidikan adalah kehidupan itu. (Ahmad Tafsir
:1990:5)
Memahami
pendidikan Islam berarti kita harus menganalisis secara pedagogis suatu aspek
utama dari sisi agama yang diturunkan kepada manusia. Oleh karena itu Islam
sebagai petunjuk Ilahi mengandung implikasi pendidikan (paedagogis) yang mampu membimbing dan mengarahkan menjadi muslim, mukmin
dan muhsin tahap demi tahap.
Bila ingin kita mengetahui pengertian pendidikan Islam,
maka kita akan melihat kepada kata Arab, karena ajaran Islam secara menyeluruh diturunkan
dalam bentuk bahasa Arab. Dalam bahasa Arab ada beberapa istilah yang biasa
dipergunakan dalam pengertian pendidikan Islam.
Istilah yang biasa dipergunakan itu adalah kata tarbiyah. Kata ini sering digunakan oleh para ahli
pendidikan Islam untuk menerjemahkan kata pendidikan dalam bahasa Indonesia .
Sebuah karangan Muhammmad Athiyah al-Abrasyi yang berjudul al-Tarbiyah al-Islamiyah misalnya, diterjemahakan ke
dalam bahasa Indonesia oleh Prof. H.
Bustami A.Ghani (pakar di bidang bahasa Arab dari Indonesia) dan Johar Bahri menjadi Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Demikian pula buku yang
berjudul Min al-Ushul al-Tarbawiyah
Fi-al-Islam, karangan Abdul Fattah Jalal, diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia
menjadi Dasar-dasar Pendidikan Islam.(
Abuddin Nata :2005:5 )
Selain kata tarbiyah
terdapat pula kata ta’lim. Kata
ini oleh para penerjemah sering diartikan pengajaran. Dalam pengertian ini
Jusuf A. Faisal, pakar dalam bidang pendidikan mengatakan bahwa pengertian
pendidikan Islam dari sudut etimologi (ilmu akar kata) sering digunakan istilah
ta’lim dan tarbiyah berasal dari kata
allama dan rabba yang dipergunakan dalam Al-Qur’an sekalipun kata tarbiyah lebih luas konotasinya, yaitu mengandung
memelihara, membesarkan dan mendidik sekaligus mengandung makna mengajar (allama). Selanjutnya Faisal mengutip
pendapat Naquib Al attas dalam bukunya yang berjudul Islam and Secularisme sebagaimana tersebut diatas terdapat pula
kata ta’dib yang ada hubungannya
dengan kata adab yang berarti sopan
santun. (Abuddin Nata :2005:6)
Selanjutnya bagaimanakah penjelasan yang diberikan Al-Qur’an
terhadap ketiga kata tersebut? Untuk ini Muhammad Fuad Abd al-Baqi dalam
bukunya al-Mu’jam al-Mufahrasli Alfadz
al-Qur’an al-Karim telah menginformasikan bahwa didalam Al-Qur’an kata tarbiyah dengan berbagai kata yang
serumpun dengannya diulang sebanyak 872 kali. (Abuddin Nata : 2005:6)
Kata tersebut berakar pada kata rabb. Kata ini sebagaimana dijelaskan oleh la Raghib al-Asfahany,
pada mulanya berarti al-Tarbiyah yaitu insya’
al-syai’ halan ila halin ila had
tamam yang artinya mengembangkan atau menumbuhkan sesuatu setahap demi
setahap sampai pada batas yang sempurna. Kata tersebut selanjutnya digunakan
oleh Al-Qur’an untuk berbagai hal ini antara lain digunakan untuk menerangkan
salah satu sifat atau perbuatan Tuhan, yaitu rabb al-‘alamin yang diartikan Pemelihara, Pendidik, Penjaga,
Penguasa dan penjaga sekalian alam. (Abuddin Nata : 2005:6 )
Artinya : “ Segala
puji bagi Allah, Tuhan (yang mendidik) semesta alam. (Depag
RI. Al-Qur’an dan Terjamahan
:1990:5:1:1)
Dan juga firman Allah yang berbunyi :
Artinya: “ Demi, Jika engkau memukulku dengan tanganmu,
karena hendak membunuhku, niscaya aku tidak akan memukul engkau dengan tanganku
hendak membunuhmu, sesungguhnya aku takut akan Allah, Tuhan semesta alam. (Al
Qur’an Tarjamah.Al-Ma’arif :1989:102)
Beberapa ayat tersebut di atas menunjukkan dengan jelas,
bahwa kata rabb sebagaimana
disebutkan dalam Al-Qur’an ternyata digunakan untuk menunjukkan obyek yang
bermacam-macam, yang dalam hal ini meliputi benda-benda yang bersifat fisik dan
non-fisik. Dengan demikian, pendidikan meliputi pemelihraan terhadap seluruh
mahkluk Tuhan.
Juga kata tarbiyah
dipergunakan untuk pendidikan. Seperti firman Allah dalam surat Isra’ yang berbunyi :
Artinya :“Hai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana
mereka mendidikku sewaktu kecil”. (Depag
RI. Al-Qur’an Terjamahan: 1990:428:17:24)
Adapun mengenai kata
ta’dib yang berakar pada kata addaba
tidak dijumpai dalam Al-Quran. Kata tersebut dijumpai dalam hadist antara lain
yang artinya: “Tuhanku telah mendidikku,
dan telah membuat pendidikanku itu sebaik-baiknya.”(Hasan Langgulung : 1987:5)
Dalam pembahasan selanjutnya dijumpai perbedaan pendapat
dikalangan para ahli mengenai pemakaian kata tersebut dalam hubungannya dengan
pendidikan Abdurrahman Al-Nahlawi, misalnya lebih cenderung menggunakan kata tarbiyah untuk kata pendidikan.(Abuddin
Nata : 2005:7)
Ia lebih lanjut mengatakan bahwa kata tarbiyah berasal dari tiga kata, yaitu pertama dari
kata rabba, yarbu yang berarti bertambah dan bertumbuh, karena pendidikan
mengandung misi untuk menambah bekal pengetahuan kepada anak didik dan
menumbuhkan potensi yang dimilikinya, kedua, dari kata rabiya, yarba yang berarti menjadi besar, karena pendidikannya juga
mengandung arti untuk membesarkan jiwa dan memperluas wawasan seseorang, dan
ketiga dari kata rabba yarubbu yang
berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga dan memelihara
sebagaimana telah dijelaskan diatas.(Abuddin Nata : 2005:7)
Dari sini kemudian penulis mengambil beberapa kesimpulan
pokok untuk memahamai makna pendidikan, sebagai berikut:
Pertama, pendidikan
adalah proses yang mempunyai tujuan, sarana dan obyek.
Kedua, secara
mutlak pendidikan yang sebenarnya hanyalah Allah, pencipta fitrah dan pemberi
berbagai potensi dialah yang memberlakukan hukum dan tahapan perkembangan serta
interaksinya, dan hukum-hukum untuk mewujudkan kesempurnaan, kebaikan serta
kebahagiaan.
Ketiga,
pendidikan menurut adanya langkah-langkah yang secara bertahap harus dilalui
oleh berbagai kegiatan pendidikan dan pengajar, sesuai dengan urutan yang
disusun secra sistematis. Anak didik melakukan kegiatan tersebut fase demi
fase.
Keempat, kerja
pendidikan harus mengikuti aturan penciptanya dan pengadaan yang dilakukan
Allah sebagaimana harus mengikuti syara’ dan agama Allah.
Mengemukakan bahwa hakikat pendidikan Islam dalah usaha
orang dewasa muslim yang bertaqwa secara sadar mengarahkan dan membimbing
pertumbuhan serta perkembangan fitrah (kemampuan dasar) anak didik melalui
ajaran Islam ke arah titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya. (Arifin
:1989:32)
Proses bimbingan (pimpinan, tuntunan, asuhan) oleh obyek
didik terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, intuisi dan
lain-lain sebagainya).dan bahan ubahan materi tertentu pada jangka waktu tertentu
dengan metode tertentu dan dengan alat kelengkapan yang ada kearah tercapainya
pribadi tertentu disertai evaluasi dengan ajaran Islam.
Fadil Al-Jamali mengartikan pendidikan sebagai proses
yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan dapat mengangkat
derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan
ajarannya (pengaruh dari luar).(Ahmad Tafsir :1990:6)
Muhammad Labib Al-Najihi (1997:13) memberi defibnisi
pendidikan : “bukanlah ia fikiran mewah, juga bukan seperti anggapan sebagaian
filosof sebagai usaha mencari kebenaran, terlepas dari budaya diamana ia
berada, tetapi (pendidikan itu) adalah pernytaan sudut pandangan seorang atau
lebih filosof terhadap peristiwa-peristiwa sosial, lembaga-lembaga ,
nilai-nilai dan sistem-sistem yang menguasai zamannya di atas mana budayanya
berdiri. Adakah hasil pemikiran filsafat ini pembelaan terhadap budaya atau
serangan terhadapnya, ataukah sintesis antara berbagai kepentingan atau
maslahat, tetapi pada akhirnya adalah suatu pernyataan terhadap apa yang
menguasai budaya itu dan pantulan terhadap berbagai pertarungan yang sedang
bergejolak dalam budaya tersebut”. (Hasan Langgulung :1987:119)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah
usaha meningkatkan diri dalam segala aspeknya. Definisi ini mencakup kegiatan
pendidikan yang melibatkan guru maupun yang tidak melibatkan guru (pendidik), pendidikan
formal, maupun nonformal serta informal. Pendidikan dalam definisi ini adalah
seluruh aspek kepribadian. ( Ahmad Tafsir 1990:6)
M. Yusuf Al-Qardhawi memberikan pengertian, bahwa: ”pendidikan
Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan
jasmaninya, akhlak dan ketrampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan
manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkan
untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan
pahitnya.”. (Azyumardi Azra : 2000:5)
Hasan Langgulung merumuskan
pendidikan Islam sebagai suatu “proses penyiapan generasi muda untuk mengisi
peranan, memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan dengan
fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat”. (Azyumardi
Azra: 2000:5).
Endang Saifuddin Anshari memberikan pengertian pendidikan
Islam sebagai “Proses bimbingan (pimpinan, tuntutan, usulan) oleh subyek didik
terhadap perkembangan jiwa (pikiran, perasaan, kemauan, instuisi dan
sebagainya), dan raga obyek didik dengan bahan-bahan materi-materi tertentu,
pada jangka waktu tertentu, dengan metode tertentu dan dengan alat perlengkapan
yang ada ke arah terciptanya pribadi tertentu disertai evaluasi sesuai dengan
ajaran Islam.(Azyumardi Azra : 2000:6)
Pendidikan Agama juga berarti : Usaha-usaha secara
sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik agar supaya mereka hidup
sesuai dengan ajaran Islam.(Zuharini, abdul Gafur, Slamet As. Yusuf, 1978 : 28)
Dari beberapa definisi tersebut diatas, penulis dapat
mengambil kesimpulan bahwa pendidikan Islam adalah suatu proses bimbingan
jasmani dan rohani yang berdasarkan pada ajaran-ajaran Islam untuk menuju
kearah terwujudnya suatu kepribadian utama yang menyeluruh, sehingga dengan
pendidikan tersebut anak didik mampu menjalankan tugas kemanusiaannya dengan
baik, sebagai hamba Allah, sebagai warga masyarakat, dan sebagai makhluk yang
berhubungan dengan alam sekitarnya.
Adapun yang dimaksud dengan kepribadian yang utama dalam
pembahasan ini adalah kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang memiliki
tanggung jawab dan tercermin dalam dirinya nilai-nilai Islam dalam kehidupan
sehari-hari.
Dengan melihat berbagai pendapat pakar pendidikan itu,
maka ruang lingkup pendidikan ini tidak terbatas pada bidang yang diarahkan
pada kehidupan duniawi semata, akan tetapi keduanya dipadukan secara integral,
yaitu suatu kesatuan yang utuh dan bermakna bagi kehidupan manusia.
B. Asas-Asas Pendidikan Islam
Menurut Hasan Langgulung (1992:6) bahwa pendidikan itu
mempunyai asas-asas tempat ia tegak dalam materi, interaksi, inovasi dan
cita-citanya. Seperti halnya kedokteran, teknik atau pertanian, masing-masing
tidak dapat berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu sarana di mana
dipraktekkan sejumlah ilmu yang erat hubungannya antara satu dan lainnya dan
jalin menjalin.
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat diketahui, bahwa
yang dimaksud dengan asas pendidikan adalah sejumlah ilmu yang secara
fungsional sangat dibutuhkan untk membangun konsep pendidikan, termasuk pula
dalam melaksanakannnya. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan sebagai sebuah
ilmu sangat membutuhkan dukungan dari ilmu-ilmu lain, seperti ilmu sejarah,
psikologi manajemen, sosiologi, antropologi, teologi dan sebagainya.(Abuddin
Nata:2005:64)
Dalam hal ini, Hasan Langgulung misalnya menyebutkan
adanya enam bidang ilmu yang dibutuhkan
oleh pendidikan.Keenam ilmu tersebut adalah ilmu sejarah (historis), ilmu
sosial, ilmu ekonomi, ilmu politik, ilmu psikologi dan filsafat.(Abuddin Nata
:2005:64)
Selain menggunakan kata asas-asas, dikalangan para ahli
pendidikan Islam juga ada yang mempergunakan kata prinsip-prinsip yang menjadi
dasar pendidikan Islam. Omar Muhammad al-Toumy al-Syaibani misalnya menyebutkan
adanya lima
prinsip yang harus digunakan sebagai asas dalam membangun konsep pendidikan
Islam. Lima prinsip atau lima asas tersebut adalah prinsip yang menjadi dasar
pandangan Islam terhadap jagat raya, prinsip yang menjadi dasar pandangan Islam
terhadap manusia, prinsip yang menjadi dasar pandangan Islam terhadap
masyrakat, prinsip yang menjadi dasar teori pengetahuan pada pemikiran Islam,
dan prinsip-prinsip yang menjadi dasar falsafah akhlak dalam Islam.(Abuddin
Nata :2005:66)
Prinsip yang menjadi dasar pandangan Islam terhadap
jagat raya mengandung uraian tentang kepercayaan yang mengatakan bahwa
pendidikan adalah proses dan usaha mencari pengalaman dan perubahan yang diingini
oleh tingkah laku, bahwa jagat raya sebagai suatu selain Allah.(Abuddin Nata : 2005:67)
Penggunaan pandangan jagat raya seabagi asas pendidikan
sebagaaimana tersebut diatas, sangat diperlukan, karena dalam pelaksanaannya pendidikan
membutuhkan berbagai sarana yang ada di alam jagat raya ini. Selanjutnya
prinsip yang menjadi asas pendidikan berupa pandangan tentang manusia
mengandung arti kepercayaan bahwa manusia adalah sebagai makhluk yang termulia
di alam jagat raya. Ia adalah sebagai makhluk yang berpikir, mempunyai tiga
dimensi, yaitu badan, akal dan ruh, sebagai makluk yang dapat menerima warisan
yang bersumber dari alam lingkungan, memiliki motivasi dan kebutuhan, memiliki
perbedaan antara satu danlainnya, serta mempunyai keluwesan sifat dan dapat
berubah.(Abuddin Nata :2005:67)
Selanjutnya prinsip yang menjadi asas pendidikan berupa
pandangan tentang manusia mengandung arti kepercayaan bahwa manusia adalah
sebagai makhluk yang termulia dialam jagat raya. Ia adalah sebagai makhluk yang
berfikir, mempunyai tiga dimensi, yaitu badan, akal, ruh, sebagai makhluk yang
dapat menerima warisan yang bersumber dari alam lingkungan, memiliki motovasi
dan kebutuhan, memiliki perbedaan antara satu dan lainnya, serta mempunyai
keluwesan sifat dan dapat berubah.(Abuddin Nata :2005:68)
Dalam pada itu, pandangan tentang asas masyarakat
didasarkan pada pandangan bahwa masyarakat adalah salah satu faktor utama yang
memberi pengaruh dalam pendidikan dan kerangka di mana berlangsung proses
pendidikan, dan di situ juga berlakunya penentuan tujuan-tujuan, kurikulum,
metode dan alat-alat pendidikan. Dan oleh karena itu Islam mempunyai pandangan
khusus terhadap masyarakat dan kehidupan, maka haruslah ditentukan
prinsip-prinsip yang menjadi dasar pandangan ini ketika berusaha membina
falsafah pendidikan.(Abuddin Nata :2005:69)
Prinsip tentang alam jagat raya, manusia, masyarakat,
ilmu pengetahuan dan akhlak dalam hubungannya dengan pendidikan sebagaimana tersebut
di atas dengan mudah dapat dijumpai di dalam Al-Qur’an.
Menurut Fazlur
Rahman, Al-Qur’an sedikit sekali berbicara tentang kejadian alam (kosmolog). Pendidikan
Islam merupakan suatu aktivitas pengembangan dan pembentukan seluruh aspek kepribadian
manusia yang berlangsung seumur hidup. Sebagai suatu aktivitas tentunya pendidikan
Islam merupakan suatu landasan kerja untuk memberi arah bagi tercapainya tujuan
yang telah diprogramkan.(Abuddin Nata: 2005:75)
Berdasarkan informasi tersebut kita dapat melihat hubungan
paham alam jagat raya dengan pendidikan dalam empat hal. Pertama, dengan menyakini bahwa alam sebagai ciptaan Allah, maka
alam jagat raya selain dapat dipergunakan untuk semakin menyakini adanya Allah,
juga agar dalam penggunaannya tidak boleh melanggar ketentuan Allah. Kedua, dengan mengetahui bahwa alam
jagat raya ini terdapat pola-pola, watak-watak, kecenderungan-kecenderungan,
ukuran, batasan, dan berbagai keistimewaan lainnya selain akan memberikan
petunjuk kepada manusia tentang cara-cara memanfaatkan alam jagat raya, juga
mengenai adanya pengetahuan ilmiah yang menghasilkan berbagai teori ilmu
pengetahuan yang disebut sebagai natural science
atau ilmu pengetahuan murni.Ketiga, dengan mengetahui bahwa alam jagat raya
memiliki keterbatasan, maka diharapkan manusia tidak sampai mempertuhankan
terhadap alam. Keempat, dengan pengetahuan terhadap alam jagat raya akan
mendorong manusia untuk menyadari bahwa dirinya sangat membutuhkan
kehadirannya. Hal ini penting dicatat, agar tercipta prilaku yang akrab dan
ramah denagan alam jagat raya.
Pendidikan Islam yang dilaksanakan dalam suatu sistem
memberikan kemungkinan berprosesnya bagian-bagian kearah tujuan yang telah
ditetapkan ajaran Islam. Proses itu adalah bersifat konstan dan konsisten
apabila dilandasi dengan dasar pendidikan yang menjamin terwujudnya tujuan
pendidikan. Pendidikan Islam sebagai aktivitas pembentukan manusia utama,
haruslah memiliki landasan tempat berpijak bagi semua kegiatan dan perumusan
pendidikan Islam yang saling berhubungan, sehingga usaha pendidikan tersebut
mempunyai keteguhan dan sumber keyakinan, yang pada akhirnya mau mencapai
tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
Meletakkan dasar pendidikan Islam berarti harus
meletakkan dasar-dasar agama Islam yang memberikan ruang lingkup berkembangnya
proses pendidikan Islam dalam rangka, mencapai tujuan, sebab bagi umat Islam, maka
dasar agama Islam merupakan pondasi utama bagi keharusan berlangsungnya
pendidikan. Karena agama Islam bersifat universal yang mengandung seluruh aspek
kehidupan manusia dalam rangka hubungan denagan Khalik-nya yang diatur dalam “Ubudiyah”, juga hubungan dengan
sesamanya yang diatur dengan “Mu’amalah”.
Landasan atau dasar pendidikan Islam secara singkat dan
tegas yang terdapat dalam firman Allah SWT dan Sunnah Rasulullah SAW. Kalau
pendidikan diibaratkan bangunan, maka isi Al-Qur’an dan Hadistlah yang menjadi
pundamennya.
Landasan atau dasar pendidikan Islam sudah pasti adalah
Al-Quran dan Hadist, alasannya adalah firman Allah yang pertama kali turun dan
disampaikan kepada Rasulullah ada perintah membaca, sebagaimana firman Allah
dalam Al Qur’an :
Artinya : “ Bacalah
(ya Muhammad) dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan”. (Depag RI.Al
Qur’an Terjemahan :1990: 1079: 96:1)
Rasulullah juga telah memberikan peringatan dengan
sabdanya yang artinya : “Menuntut ilmu
diwajibkan atas semua orang Islam laki-laki dan perempuan.” (Masan
: 2004:62)
Dari keterangan ayat diatas, jelaslah yang menjadi dasar
atau landasan bagi seluruh manusia yang beriman kepada Allah, termasuk
pendidikan Islam, adalah kitabullah dan sunnah rasul-Nya. Selain pokok sumber
tersebut, dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa sumber dasar pendidikan Islam
digolongkan kedalam dua bagian, yaitu sumber pokok dan sumber tambahan yaitu :
1.
Sumber pokok yang terdiri dari :
a.
Al-Qur’an
b.
Al-Hadist
2.
Sumber tambahan ialah Al-Ijtihad
Ijtihad menurut ilmu ushul ialah “Mencurahkan daya kemampuan
untuk menghasilkan hukum syara’ secara terperinci”. (A. Djazuli 1993:67) memberikan
definisi tentang ijtihad sebagai berikut :
Ijtihad dalam arti yang luas adalah mengerahkan segala kemampuan
untuk mencapai sesuatu yang diharapkan. Sedangkan ijtihad dalam hal yang ada
kaitannya dengan hukum adalah: Mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki untuk
dapat meraih hukum yang mengandung nilai-nilai uluhiyah atau mengandung
sebanyak mungkin nilai syari’ah”.
Seorang mujtahid mengerahkan segala potensi yang ada padanya,
kecerdasan akalnya, kehalusan rasanya, keluasan imajinasinya, ketajaman
intuisinya dan keutamaan kearifannya. Sehingga hukum yang dihasilkan nya
merupakan hukum yang benar, indah dan bijaksana. Hal ini sudah tentu tidak
mudah. Karena itu seorang mujtahid harus memiliki syarat-syarat tertentu. Ada ulama yang memberikan
syarat yang sangat banyak dan ada pula yang hanya menentukan beberapa syarat
saja. Ukuran kualitas seorang mujtahid antara lain ditentukan oleh
syarat-syarat tersebut. Di antara syarat-syarat yang sangat penting adalah :
1.
Mengetahui Al-Qur’an, Assunnah dan
bahasa Arab dengan pengetahuan yang luas dan mendalam.
2.
Mengetahui maqasidu Syari’ah,
prinsip-prinsip umum dan semangat ajaran Islam.
3.
Mengetahui thuruq Al-Istinbath Ushul
Fiqh, metode menemukan dan menerapkan hokum, agar hokum hasil ijtihad lebih
mendekati kepada kebenaran.
4.
Memiliki akhlak yang terpuji dan
niat yang ikhlas dalam berijtihad pada prinsipnya ada tiga macam cara
berijtihad :
a)
Dengan memperhatikan kaidah-kaidah
bahasa (linguistik) seperti
kemungkinan-kemugkinan arti sesuatu kata, ruang lingkup kata, pemahaman
terhadap kata, gaya
bahasa dan lain-lain.
b)
Dengan menggunakan qaidah qiyas (analogi) dengan memperhatikan asal,
cabang, hukum asal dan illat hukum.
c)
Dengan memperhatikan semangat
ajaran Islam atau ruh Syari’ah. Untuk ini sangat menentukan kaidah-kaidah
kulliyah Ushul Fiqih, kaidah-kaidah
kulliyah Fiqhiyah, prinsip-prinsip umum hukum Islam dan dalil-dalil kulli.
Lapangan ijtihad itu meliputi dalil-dalil yang qot’i
wurudlnya tetapi dhani dalalahnya, yang dhani wurudlnya qot’i dalalahnya, yang
dhani wurudlnya dan dalalahnya serta terhadap kasus-kasus yang tidak ada
hukumnya.
Ditinjau dari subjek yang melakukan ijtihad, ijtihad itu ada
dua macam :
a)
Ijtihad Fardhi, yaitu ijtihad yang
dilakukan secara perorangan.
b)
Ijtihad Jama’i, yaitu ijtihad yang
dilakukan oleh sekelompok orang.
Menghadapi perkembangan dunia yang semakin maju ini, serta
agama (kompleksitas) permasalahan, baik dibidang sosial, ekonomi, hukum,
politik, budaya, serta pendidikan. Maka tuntutan para cendikiawan dan para
ulama’ dari kaum muslimin untuk melaksanakan ijtihad, sesuai dengan kemampuan
dan keahlian yang dimilikinya, yang hasilnya dipergunakan untuk kepentingan
umat. Ijtihad dibidang pendidikan ternyata semakin perlu sebab ajaran Islam
yang terdapat didalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah bersifat pokok-pokok dan
prinsif-prinsifnya saja bila ternyata ada yang agak terperinci, maka perincian
itu adalah sekedar contoh dalam menerapkan prinsif itu. Sejak Al-Qur’an diturunkan
sampai Nabi Muhammad SAW wafat, ajaran Islam telah tumbuh, dan berkembang
memulai ijtihad yang dituntut oleh perbuatan situasi dan kondisi yang tumbuh
dan berkembang pula. Sebaliknya ajaran Islam sendiri telah berperan mengubah
kehidupan manusia menjadi kehidupan muslim.
Pergantian dan perbedaan zaman terutama karena kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, yang bermuara pada perubahan sosial telah menuntut
ijtihad dalam bentuk penelitian dan pengkajian kembali ajaran-ajaran Islam
apakah ia boleh ditafsirkan dengan lebih baik serasi dengan lingkungan dan
kehidupan sosial sekarang ?. Kalau ajaran
itu memang prinsif, yang tidak boleh diubah, maka lingkungan sosialah yang
perlu diciptakan dan disesuaikan dengan psinsif itu. Sebaliknya, jika dapat
ditafsir maka ajaran-ajaran itulah yang menjadi lapangan ijtihad.
Kita hidup sekarang di zaman dan lingkungan yang jauh berbeda
dengan zaman dan lingkungan ketika ajaran Islam itu diterapkan untuk pertama
kali. Disamping itu juga kita yakin pula bahwa ajaran Islam itu berlaku disegala
zaman dan tempat, disegala situasi dan kondisi lingkungan sosial . Kenyataan
yang dihadirkan oleh peralihan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan
menyebabkan kebutuhan manusia semakin banyak. Kebutuhan itu ada primer dan ada
yang sekunder, kebutuhan primer adalah kebutuhan pokok yang mendasar bila tidak
dipenuhi, kehidupan akan rusak. Kebutuhan sekunder adalah kebutuhan pelengkap
yang kalau tidak dipenuhi, tidak akan merusak kehidupan secara total.
Sebagai makhluk individu dan sekaligus makhluk social,
manusia tentu saja mempunyai kebutuhan individu dan kebutuhan social menurut
tingkatan-tingkatannya, dalam kehidupan bersama untuk kelanjutan kehidupan
kelompoknya. Kebutuhan-kebutuhan ini meliputi berbagai aspek kehiudpan individu
dan sosial, seperti system politik, ekonomi, sosial dan pendidikan yang
tersebut terakhir adalah kebutuhan yang terpenting karena pendidikan menyangkut
pembinaan generasi mendatang dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang
tersebut sebelumnya.
Sistem pembinaan, disatu pihak dituntut agar senantiasa
sesuai dengan perkembangan zaman. Ilmu dan teknologi yang berkembang cepat.
Dilain pihak dituntut agar tetap bertahan dalam hal kesesuaian dengan ajaran Islam.
Hal ini merupakan suatu masalah yang senantiasa menuntut mujtahid muslim
dibidang pendidikan untuk selalu berijtihad sehingga teori pendidikan Islam
selalu relevan dengan tuntutan zaman, ilmu dan tekhnologi tersebut. Kegiatan
pendidikan dan pengajaran yang merupakan tugas setiap warga Negara dan
pemerintah harus berlandaskan pada filsafat dan berpandangan hidup yang sama.
Oleh karena itu landasan pendidikannya harus sesuai dengan filsafat dan
pandangan hidup itu sendiri dan penganut suatu agama yang kuat dan taat,
seluruh aspek kehidupannya harus disesuaikan dengan ajaran agama serta filsafat
dan pandangan hidup bangsanya. Bila ternyata terdapat ketidaksesuaian atau
pertentangan, maka para mujtahid dibidang pendidikan harus berusaha mencari jalan
keluarnya dengan menggunakan ijtihad yang telah digariskan oleh agama, dengan
ketentuan bahwa ajaran agama yang prinsif tidak boleh dilanggar atau
ditinggalkan sekedar untuk memenuhi kebutuhan ijtihad.
Sejalan dengan itu, maka pendidikan Islam sebagai suatu tugas
dan kewajiban pemerintah dalam mengemban aspirasi rakyat, harus mencerminkan
dan menuju kearah tercapainya masyarakat yang agamis. Dalam kegiatan pendidikan
agama harus mengisi dalam setiap lembaga pendidikan, ini berarti bahwa
pendidikan Islam iti, selain
berlandaskan Al-Qur’an dan Sunnah, juga berlandaskan ijtihad dalam menyesuaikan
kebutuhan suatu bangsa yang selalu berkembang mengikuti irama perkembangan
zaman, dalam ijtihad itu penyesuaian konsep yang digunakan sebagai penerapan kebijakan
pendidikan sekaligus digunakan landasan pendidikan, termasuk pendidikan agama.
C. Isi Pendidikan Islam
Isi pendidikan Islam memiliki sejumlah karakteristik
yang digali dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Sebagai sumber ajaran
Islam. Karakteristik pertama tampak pada kriteria pemilihannya, yaitu iman,
ilmu, amal, akhlak, dan sosial. Dengan kriteria tersebut pendidikan Islam
merupakan pendidikan keimanan, ilmiah, amaliah, moral, dan sosial. Dengan
criteria tersebut tersebut terhimpun dalam firman Allah ketika menyifati
kerugian manusia yang menyimpang dari jalan pendidikan Islam, baik manusia
sebagai individu, manusia sebagai jenis, manusia sebagai generasi maupun umat
manusia secara keseluruhan. (Suparta, Herry Noer Aly : 2002: 101)
Artinya : Demi
masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriaman dan mengerjakan amal shaleh, dan nasehat-menasehati
supanya mentaati kebenaran dan nasehat-menasehati supanya meneati kesabaran.(Depag RI.
Al Qur’an dan Terjemahan:1990: 1099:1).
Firman tersebut sekaligus menunjukkan bahwa proses
pendidikan berpusat pada manusia sebagai sasaran taklif, dan merupakan proses
sosial yang menuntut kerja sama masyarakat diberbagai lapangan kehidupan.
1. Pendidikan Keimanan
Pendidikan Islam berwatak Robbani. Watak tersebut menempatkan
hubungan antara hamba dan al-Khaliq sebagai isi pertama pendidikan Islam.
Dengan tersebut, kehidupan individu akan bermakna, perbuatannya akan bertujuan,
dorongannya untuk belajar dan beramal akan tumbuh, akhlaknya menjadi mulia, dan
jiwanya menjadi bersih, sehingga pada gilirannya ia akan memiliki kompetensi
untuk menjadi khalifah di muka bumi. Dengan demikian, pendidikan keimanan
merupakan pendidikan rohani yang unik bagi individu.(Suparta, Herry Noer Aly:2002:103)
Pendidikan Rabbani atau pendidikan keimanan tidak sama dengan
pendidikan keagamaan dalam arti pendidikan kependetaan seperti yang berlangsung
di Barat denagan nama Religious Education. Pendidikan semacam itu tidak ada di
dalam kamus Islam, sebab pendidikan Islam mencakup Islam itu sendiri dengan
segala konsepnya.(Suparta, Herry Noer Aly :2002:103)
Ayat-ayat al-Qur’an yang menyerukan keimanan sangat
bervariasi sejalan dengan bervariasinya lapangan kehidupan itu sendiri
umpamanya Allah berfirman:
Artinya : Alif
lam Mim. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka
yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan
shalat, dan menafkahkan sebahagian rizki yang kami anugerahkan kepada mereka,
dan mereka yang beriman kepada Kitab
(al-Qur’an) yang telah diturnkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan
sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah
yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka dan merekalah orang-orang yang
beruntung.(Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan:1990:8:2:15)
Dr. Fadhil al-Jamali, di dalam bukunya, al-falsafah al
Tarbawiyyah fi al-Qur’an (Filsafat Pendidikan dalam Al-Qur’an) mengemukakan
hubungan antara iman dan amal saleh sebagai berikut: (Suparta, Herry Noer Aly
:2002:108)
Iman merupakan sumber akhlak yang luhur. Akhlak pada
gilirannya menuntun manusia untuk menemukan kebenaran dan hakikat, yaitu ilmu,
sedangkan ilmu akan menuntun manusia untuk mengerjakan amal saleh.(Suparta,
Herry Noer Aly:2002:108)
2. Pendidikan Amaliah
Pendidikan Islam meemperhatikan aspek amaliah karena manfaatnya
yang besar bagi kehidupan didunia berupa kebaikan kebahagiaan bagi individu dan
masyarakat. Perhatian tersebut terlihat dalam sabda Rasulullah SAW, maupun firman
Allah. Rasulullah SAW bersabda:
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung
kepada-Mu dari ilmu yang tidak
memberi manfaat.(Suparta, Herry Noer Aly:2002:114)
Allah berfirman:
Artinya : Dan
orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni sorga; mereka
kekal di dalamnya.(Depag
RI. Al Qur’an dan
Terjemahan:1990:23:82)
Perhatian pendidikan Islam yang demikian tetap berada dalam
prinsip keseimbangan antara aspek teoritis dan praktis. Prinsip ini merupakan
karakteristik sistem pendidikan Islam, sehingga berpengaruh terhadap
terciptanya hidup seimbang.
Berikut ini beberapa contoh ayat al-Qur’an yang menunjuk
kepada aspek pendidikan amaliah dalam Islam:(Suparta, Herry Noer Aly:2002:119)
a.
Islam menekankan pendidikan yang
berorientasi pada pencapaian kebaikan bagi individu dengan menawarkan amal
saleh sebagai simbol orientasi baru. Dengan amal saleh akan lahir manusia baru
yang berhak memperoleh kebaikan, sebab amal saleh yang dilakukannya akan
membuatnya berbeda dari sebelum memperoleh pendidikan akhlak dan amal saleh.
Artinya : Kecuali
orang-orang yang bertaubat, beriman, dan mengerjakan amal saleh, maka kejahatan
mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan:1990:569 :25:70)
b.
Islam selalu mengaitkan kejujuran
iman dengan amal saleh sebagai manifestasinya:
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu
mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian disisi Allah bahwa
kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (Depag RI. Al
Qur’an dan Terjemahan:1990: 928: 61: 2-3)
c.
Islam mengaitkan ilmu yang hakiki
dengan amal saleh:
Artinya : Berkatalah
orang-orang yang dianugrahi ilmu, “Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala
Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan
tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh
orang-orang yang sabar.” (Depag
RI. Al Qur’an dan
Terjemahan:1990:624:28:80)
d.
Islam mengaitkan nilai hakiki
manusia dengan kualitas amalnya, bukan dengan harta ataupun keluarganya:
Artinya : Barang siapa yang mengerjakan kebaikan
seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa
yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihatan
(balasan)nya pula. (Depag RI.Al Qur’an dan Terjemahan:1990:1087:99:7-8)
e.
Pendidikan amaliah yang
dikehendaki Islam disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan individu:
Artinya : Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Depag
RI.Al Qur’an dan Terjemahan:1990: 72: 2: 286).
f.
Pendidikan amaliah dalam Islam
diberikan kepada semua individu masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan:
Artinya : Barang siapa yang mengerjakan amal-amal
saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka
itu masuk kedalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun. (Depag
RI. Al Qur’an dan
Terjemahan:1990:142: 4:124).
g.
Pendidikan amaliah dalam Islam
memperhatikan kualitas amal, tidak sekedar memperhatikan kuantitasnya:
Artinya : Dan
sesungguhnya akan kami balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari
apa yang telah mereka kerjakan. (Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan:
16:97).
h.
Pendidikan amaliah memberi
individu ketentraman dan rizki didunia serta kebahagian di akhirat. Hal ini
merupakan motivasi bagi manusia untuk terus melakukan amal saleh sesuai dengan
kemampuannya. Sebaliknya, amal yang buruk atau tidak berbuat sama sekali hanya
akan membuahkan kemalasan, hal-hal negatif, kemunduran, dan pengangguran di
dunia serta kecelakan di akherat.
Artinya : Orang-orang
yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagian dan tempat kembali yang
baik. (Depag RI.Al Qur’an dan Terjemahan:1990:374:13: 29 ).
3. Pendidikan Ilmiah
Isi pendidikan Islam yang lain ialah ilmu pengetahuan:
dimulai dengan keterampilan membaca dan menulis (Suparta, Herry Noer
Aly:2002:128)
Artinya : Nun,
demi kalam dan apa yang mereka tulis. (Depag RI. Al
Qur’an dan Terjemahan:1990:960: 68: 1).
Pandangan Islam terhadap ilmu pengetahuan bersifat
komprehensif karena lahir dari prinsif kesatuan yang merupakan aspek penting
dalam konsep Islam. Atas dasar itu, Islam mendorong manusia untuk mempelajari
setiap pengetahuan yang bermanfaat bagi dirinya, masyarakat dan semua umat
manusia, baik dalam lingkup pengetahuan kesyari’atan maupun pengetahuan sosial,
kealaman ataupun pengalaman lainnya.(Suparta, Herry Noer Aly:2002:129)
Pandangan Islam tentang proses memperoleh ilmu pengetahuan
menempatkan aktivitas pendidikan dan pengajaran pada derajat ibadah dan
kesucian.Rasullullah saw bersabda:
Barang siapa menempuh suatu jalan untuk
menuntut ilmu, niscaya Allah membawanya ke suatu jalan menuju surga.(Suparta,Herry
Noer Aly:2002 :129)
Pandangan Islam tentang hubungan antara isi pengetahuan dan
pentingnya pendidikan dalam pandangan Islam.
Artinya : Sesungguhnya
yang takut kepada Allah diantara hamba-hambanya
hanyalah ulama’. (Depag RI.Al Qur’an dan Terjemahan:1990:700: 35:28).
Islam menganjurkan kepada manusia untuk menggunakan akalnya
secara maksimal. Anjuran tersebut dipertegas dengan kecaman terhadap orang yang
tidak menggunakan akalnya untuk meneliti, memperhatikan dan menggali bukti-bukti
serta menarik kesimpulan dari berbagai pengetahuan, baik pengetahuan keagamaan
maupun keduniaan. Anjuran tersebut tampak pada firman Allah sebagai berikut.(Suparta,
Herry Noer Aly:2002:130)
Artinya : Katakanlah,
“Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi.” (Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan: 1990 :322 :10 :101)
Itulah beberapa ayat yang singkat dan padat tentang seruan
kepada manusia untuk melakukan penelitian dan perenungan terhadap penciptaan
segala makhluk hidup, langit, dan bumi guna mengambil peringatan dan pelajaran.(Suparta,
Hery Noer Aly:2002:131)
4. Pendidikan Akhlak
Pendidikan akhlak merupakan bagian besar dari isi pendidikan
Islam. Posisi ini terlihat dari kedudukan Al-Qur’an sebagai referensi paling
penting tentang akhlak bagi kaum muslimin: individu, keluarga, masyarakat dan
umat. Akhlak merupakan buah Islam yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusian
serta membuat hidup dan kehidupan menjadi baik. Akhlak merupakan alat kontrol phisikis
dan sosial bagi individu dan masyarakat.
Tanpa akhlak, masyarakat manusia tidak akan berbeda dari kumpulan binatang.(Suparta,
Hery Noer Aly:2002:133)
Allah menjadikan Al-Asma’al-husna sebagai nilai ideal akhlak
yang mulia dan menyerukan kepada manusia untuk meneladaninya sebaliknya, Allah
mencela akhlak buruk yang disandang oleh orang kafir dan musyrik.
Artinya : Hanya
milik Allah Asma’al-husna, maka bermohonlah kepadanya dengan menyebut al asma’al-Husna
itu. (Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan:1990:252:7:180).
Perjalanan hidup Nabi SAW. Penuh dengan akhlak luhur yang
apabila diterapkan didalam kehidupan akan memberi kebahagian bagi individu dan
masyarakat.
Pendidikan akhlak dalam Islam yang tersimpul dalam
prinsif “berpegang pada kebaikan serta
kebajikan serta menjauhi keburukan dan kemungkaran” berhubungan erat dengan
upanya mewujudkan tujuan besar pendidikan Islam, yaitu ketakwaan, ketundudukan
dan beribadah kepada Allah. Hubungan ini sebenarnya merupakan hubungan sesama
isi pendidikan Islam.(Suparta, Herry Noer Aly:2002:136)
Artinya : Dan hendaklah
ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyeruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, merekalah orang-orang yang
beruntung.(Depag RI. Al Qur’an dan Terjemahan: 1990: 93:3:104)
Dalam realitas budaya barat, akhlak atau apa yang disebut
akhlak telah mengakibatkan kehancuran. Apa yang mereka pandang sebagai kasih
sayang, sehingga terhadap binatang, berubah dalam penerapannya dimasyarakat
yang dijajah dan Negara berkembang menjadi penghancuran, eksploitasi,
peperangan dan kelaparan.(Suparta, Hery Noer Aly:2002:137)
Ayat Al-Qur’an dan hadist Nabi saw. Banyak mengemukakan
akhlak yang diserukan untuk dipraktikkan, antara lain sabar, amar makruf, dan
nahi mungkar, adil, kasih saying, amanah, akhlas, jujur, pemaaf dan toleransi.
Allah berfirman.(Suparta, Hery Noer Aly:2002:138)
Artinya : Hai orang-oarang yang beriman, mintalah
pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang yang sabar..(Depag
RI. Al Qur’an dan
Terjemhan:1990:38:2:153)
Pendidikan akhlak dalam Islam mencakup aspek kejiwaan yang
diberikan melalui pengajaran dan pelatihan sesuai dengan kemampuan, potensi,
dan struktur phisikis individu.(Suparta, Herry Noer Aly:2002:142)
Artinya : Demi
kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.(Depag RI. Al
Qur’an dan Terjemahan:1990:1061:90:10)
Karakteristik paling penting dari pendidikan akhlak dalam
Islam ialah praktis, artinya dapat diterapkan oleh individu dan semua umat
manusia dengan segala perbedaan bahwa, warna kulit, tempat, dan waktunya.(Suparta,
Hery Noer Aly:2002:143)
Akhlak Islam relevan bagi semua manusia dengan segala
perbedaan jenis, warna kulit, masa, dan negerinya, karena jalan Islam sesuai
dengan memperhatikan tabiat dan kejiwaan manusia. Dr, Shalih al-Syamma, didalam
bukunya al-Madzhab al-Akhlaqifi al-Qur’an al-Karim (Akhlak didalam Al-Qur’an,
sebuah Mazhab), mengemukakan sebagai berikut.(Suparta, Herry Noer Aly:2002:145)
Ini sebuah nilai. Keistimewaan besarnya telah diakui oleh
generasi demi generasi. Yang kami maksud ialah kesesuaian akhlak Qurani dengan
tabiat manusia dan mudahnya berbagai kaun diberbagai tempat dan massa untuk menyesuaikan
diri dengannya prinsif-prinsif , aliran-aliran dikalangan filosof, tidak
diragukan lagi, memang memiliki kecermatan dan kekokohan dengan memperhatikan
unsure intrinsic manusia sebagai unsure terpenting didalamnya. Namun, sejauh
mana filsafat- filsafat moral (etika) tersebut dapat diterapkan pada berbagai
kaum diberbagai masa? Etika Aristoteles, Kant, atau para filosof moral besar
lainnya akademis yang besar. Namun, sejauh mana keberhasilannya realitas
insani? (Suparta, Herry Noer Aly :2002:145:146)
5. Pendidikan Sosial
Pendidikan sosial merupakan aspek penting dalam pendidikan
Islam karena manusia menurut tabiatnya, dalam arti sesuai dengan hukum
penciptaan Allah, adalah makhluk sosial:(Suparta, Herry Noer Aly:2002:146)
Artinya : Hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. (Depag RI. Al
Qur’an dan Terjemahan:1990:847:49:13)
Pendidikan sosial dalam Islam mulai dengan pengembangan mental
individu dari aspek inisiatif dan tanggung jawab individu yang merupakan dasar
tanggung jawab secara kelompok dimana setiap individu bertanggung jawab
terhadap yang lain:(Suparta,Herry Noer Aly:2002147)
Artinya : Dan
tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan
sendiri-sendiri. (Depag
RI. Al Qur’an dan
Terjemahan:1990:473:19:95).
Keharmonisan keluarga merupakan salah satu dimensi penting
didalam pendidikan sosial Islam, kepentingan ini terlihat antara dalam firman
Allah sebagai berikut.(Suparta,Herry Noer Aly:2002:148)
Artinya : Dan
hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. (Depag
RI.Al Qur’an dan Terjemahan:1990: 427 : 17: 23)
Masyarakat Islam mempunyai banyak pranata sosial. Di antaranya
yang terpenting ialah masjid dengan aspek edukatifnya, rohani, amaliah, akhlak,
sosial dan ilmiah. Bentuk-bentuk amaliah dalam Islam seperti shalat, zakat, puasa
dan haji sesungguhnya merupakan sarana-sarana praktis pendidikan yang dilakukan
individu sebagai anggota dalam suatu komunitas. Ambillah contoh ketika individu
didalam ibadahnya berdoa kepada Allah.(Suparta,Herry Noer Aly:2002:149)
Artinya : Hai orang-orang
yang diwajibkan atsa kamu berpuasa sebagaiman diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Depag
RI. Al Qur’an dan
Terjemahan:1990: 44: 2: 183).
Lapangan terakhir pendidikan sosial dalam Islam adalah alam
semesta, karena Allah adalah Rabb al-‘alamin dan Rabb al-nas, ketuhanan-Nya
mencakup seluruh umat manusia. Allah berfirman: (Suparta, Herry Noer Aly:2002:151)
Artinya : Dan
tiadalah kami mengutusmu melainkan agar kamu menjadi rahmat bagi alam semesta. (Depag RI.
Al Qur’an dan Terjemahan: 1990:508:21:107)
D. Tujuan Pendidikan Islam
Di kalangan para ahli masih terdapat perbedaaan pendapat
mengenai pemakaian istilah tujuan. Hasan Langgulung, misalnya mengatakan
bahwa istilah tujuan sendiri banyak dicampurbaurkan penggunaaannya dengan
istilah maksud. Kadang-kadang tampak
berbeda, dan kadang-kadang tampak serupa. Namun demikian, pada akhirnya ia
menganggap bahwa kedua istilah itu mempunyai arti yang sama.(Abuddin Nata
:2005:99)
Tujuan pendidikan Islam atau tujuan-tujuan pendidikan
lainnya, mengandung di dalamnya suatu nilai-nilai tertentu sesuai pandangan
dasar masing-masing yang harus direalisasikan melaui proses yang terarah dan
konsisten dengan menggunakan berbagai sarana fisik dan non fisik yang sama
sebangun dengan nilai-nilainya.Ahmad Tafsir, misalnya mencoba menjelaskan
tujuan pendidikan Islam dengan merujuk berbagai pendapat para pakar-pakar
pendidikan Islam.
Dilihat dari Ilmu Pendidikan Teoritis, tujuan pendidikan
ditempuh secara bertingkat, misalnya tujuan intermediair (sementara atau
antara), yang dijadikan batas sasaran kemampuan yang harus dicapai dalam proses
pendidikan pada tingkat tertentu, untuk mencapai tujuan akhir.(Arifin : 1989:38)
Tujuan incidental merupakan peristiwa tertentu yang
tidak direncanakan, akan tetapi dapat dijadikan sasaran dari proses pendidikan
pada tingkat tertentu. Misalnya, peristiwa meletusnya gunung berapi, dapat
dijadikan sasaran pendidikan yang mengandung tujuan tertentu, yaitu anak didik
timbul kemampuannya untuk memahami arti kekuasaan Tuhan yang harus diyakini
kebenarannya. Tahap kemampuan ini menjadi bagian dari tujuan antara untuk
mencapai tujuan akhir pendidikan.
Berbagai tingkat tujuan pendidikan yang dirumuskan
secara teoritis itu bertujuan untuk memudahkan proses pendidikan melalui tahapan
yang makin meningkat (progresif) keaarah tujuan umum atau tujuan akhir.(Arifin
:1989:39)
Dalam sistem operasionalisasi kelembagaan pendidikan,
berbagai tujuan tersebut ditetapkan secara berjenjang dalam struktur program
instruksional, sehingga tergambarlah klasifikasi gradual yang semakin
meningkat, bila dilihat dari pendekatan sistem Instruksional tertentu sebagai
berikut:(Arifin :1989:39)
1)
Tujuan Intruksional Khusus,
diarahkan pada setiap bidang studi yang harus dikuasai dan diamalkan oleh anak
didik.
2)
Tujuan Intruksional Umum,
diarahkan pada penguasaan atau pengamalan suatu bidang secara umum atau garis
beasrnya sebagai suatu kebulatan.
3)
Tujuan Kurikuler, yang diteatapkan
untuk dicapai melalui garis-garis besar program pengajaran di tiap institusi
(lembaga) pendidikan.
4)
Tujuan Institusional, adalah
tujuan yang harus dicapai menurut program pendidikan di tiap sekolah atau
lembaga pendidikan tertentu secara bulat atau terminal seperti tujuan
institusional SMTP/SMTA atau STM/SPG (tujuan terminal).
5)
Tujuan Umum, Tujuan Nasional, adalah cita-cita
hidup yang ditetapkan untuk dicapai melalui proses kependidikan denagan
berbagai cara atau sistem, baik sistem formal (sekolah), sistem non formal (non
klasikal dan non kurikuler), maupun sistem informal (yang tidak terikat oleh
formalitas program, waktu, ruang dan materi).
Tujuan Pendidikan Agama di lembaga-lembaga penddidikan
formal diIndonesia ini dapat dibagi menjadi dua macam, yakni: (Zuhairini, Abdul
Ghofir, Slamet As. Yusuf, 1978 : 45)
1.
Tujuan Umum
2.
Tujuan Khusus
1. Tujuan Umum Pendidikan Agama
Tujuan Umum Pendidikan Agama ialah membimbing anak agar
mereka menjadi orang Muslim sejati, beriman teguh, beramal sholeh dan berakhlak
mulia serta berguna bagi masyarakat, Agama dan Negara.
Tujuan Pendidikan Agama tersebut adalah merupkan tujuan yang
hendak dicapai oleh setiap orang yang melaksanakan pendidikan Agama. Karena
dalam mendidik Agama yang perlu ditanamkan terlebih dahulu adalah keimanan yang
teguh, sebab denagan adanya keimanan yang teguh itu maka akan menghasilkan ketaaatan
menjalankan kewajiban Agama.
2. Tujuan Khusus Pendidikan
Agama
Tujuan khusus pendidikan Agama pada setiap tahap atau tingkat
yang dilalui, seperti misalnya tujuan pendidikan Agama untuk SD berbeda dengan tujuan
pendidikan Agama untuk Sekolah Menengah, dan berada pula untuk Peguruan Tinggi.
Adapun tujuan pendidikan Agama Islam untuk masing-masing
tingkat sekolah tersebut adalah sebagai berikut :
a.
Untuk Tingkat Sekolah Dasar
- Penanaman rasa agama kepada murid
- Menanamkan perasaan cinta kepada Allah dan rasul-Nya.
- Memperkenalkan ajaran islam yang bersifat global, seperti rukun
Iman, rukun Islam dan lain-lain
- Membiasakan anak-anak berakhlaq mulia, dan melatih anak-anak
untuk mempraktekkan ibadah yang bersifat praktis-praktis, seperti shalat, puasa
dan lain-lain.
- Membiasakan contoh tauladan yang baik.
b.
Untuk Tingkat Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP)
- Memberikan ilmu pengetahuan agama islam
- Memberikan pengertian tentang agama islam yang sesuai dengan
tingkat kecerdasannya.
- Memupuk jiwa agama
- Membimbing anak agar mereka beramal shaleh dan berakhlaq mulia
c.
Untuk Tingkat Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas (SLTA)
- Menyempurnakan pendidikan agama yang sudah diberikan di tingkat
SLTP
- Memberikan pendidikan dan pengetahuan agama islam serta berusaha
agar mereka mengamalkan ajaran islam yang telah diterimanya.
d.
Untuk Tingkat Universitas
- Terbentuknya Sarjana Muslim yang taqwa kepada allah
- Tertanamnya aqidah Islmiyah pada setaip mahasiswa
- Terwujudnya mahasiswa yang taat beribadah dan berakhlaq mulia.
Adapun tujuan akhir pendidikan Islam hakikatnya adalah
realisasi dari cita-cita ajaran Islam itu sendiri, yang membawa misi bagi
kesejahteraan umat manusia sebagai hamba Allah lahir dan batin, di dunia dan
akhirat.
Rumusan-rumusan tujuan akhir pendidikan Islam telah disusun
oleh para ulama dan ahli pendidikan Islam dari semua golongan dan madzhab dalam
Islam, misalnya sebagai berikut:(Arifin:1989:40)
1)
Rumusan yang ditetapkan dalam
kongres sedunia tentang pendidikan Islam sebagai berikut: “Education should aim at the balanced growt of total personality of man
through the training of mans spirit, intellect the racional self, feeling and
bodily sense. Education should there fore cater for the growth af man in all
its aspects, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic,
both individually and collectively, and motivate all these aspects toward
goodness and attainment of perfection. The ulmate aim of education lies in the
realization of complete submission to Allah on the level of individual, the
community and humanity at large”.
Rumusan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan Islam
mempunyai tujuan yang luas dan dalam, seluas dan sedalam kebutuhan hidup
manusia sebagai mkhluk individual dan seabagi makhluk sosial yang menghamba
kepada Khaliknya yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran agamanya. (Arifin:1989:40)
Oleh karena itu pendidikan Islam bertujuan untuk
menumbuhkan pola kepribadian manusia yang bulat melaui latihan kejiwaan,
kecerdasan otak, penalaran, perasaan dan indera. Pendidikan ini harus melayani
pertumbuhan manusia dalam semua aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual,
imjinasi, jasmaniah, ilmiah, maupun bahsanaya (secara perorangan maupun
kelompok). Dan pendidikan ini mendorong semua aspek tersebut kea arah keutamaan
serta pencapaian kesempurnaan hidup.(Arifin:1989:41)
2)
Rumusan yang lain adalah hasil
keputusan seminar pendidikan Islam se
Indoneisa tanggal 7 s.d 11 Mei 1960 , di cipayung, Bogor.(Arifin:1989:41)
Pada
saat itu berkumpullah para ulama ahli pendidikan Islam dari semua lapisan
masyarakat Islam, berdiskusi dengan para ahli pendidikan umum, dan telah
berhasil merumuskan tujuan pendidikan Islam sebagai berkut:
“Tujuan
pendidikan Islam adalah menanamkan taqwa dan akhlak serta menegakkan kebenaran
dalam rangka membentuk manusia yang berpribadi dan berbudi luhur menurut ajaran
Islam”.
Tujuan
tersebut ditetapkan berdasarkan atas pengertian bahwa:
“Pendidikan
Islam adalah bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran
Islam denagan hikmah menagarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh dan mengawasi
berlakunya semua ajaran Islam”.
Jadi jelaslah, membicarakan masalah tujuan pendidikan,
khususnya Islam, tidak terlepas dari masalah nilai-nilai ajaran Islam itu
sendiri, oleh karena realisasi nilai-nilai itulah yang pada hakikatnya menjadi
dasar dan tujuan pendidikan Islam.(Arifin:1989:41:42)
3)
Ada rumusan lain tentang pendidikan Islam
oleh Prof. Dr. Omar Muhammad Al Toumy Al Syaebani sebagai berikut: (Arifin:1989:42)
“Tujuan
pendidikan ialah perubahan yang diingini yang diusahakan dalam proses pendidikan
atau usaha pendidikan untuk mencapainya, baik pada tingkah laku individu dari
kehidupan pribadinya atau kehidupan masyarakat serta pada alam sekitar di mana
individu itu hidup atau pada proses pendidikan itu sendiri dan proses
pengajaran sebagai suatu kegiatan asasi dan sebagai proporsi di antara profesi
asasi dalam masyarakat”.
Mengingat
tujuan pendidikan yang begitu luas, tujuan tersebut dibedakan dalam beberapa
bidang menurut tugas dan fungsi manusia secara filosofis sebagai
berikut:(Arifin:1989:42)
1)
Tujuan Individual yang menyangkut
individu, melalui proses belajar dalam rangka mempersiapkan dirinya dalam
kehidupan dunia dan akhirat.
2)
Tujuan sosial yang berhubungan
dengan kehidupan bermasyarakat sebagai keseluruhan, dan dengan tingkah laku
masyarakat umumnya serta dengan perubahan-perubahan yang diinginkan pada
pertumbuhan pribadi, pengalaman dan kemajuan hidupnya.
3)
Tujuan professional yang
menyangkut pengajaran sebagai ilmu, seni dan profesi serta sebagai suatu
kegiatan dalam masyarakat.
Dalam proses kependidikan, ketiga tujuan di atas dicapai
secara integral, tidak tepisah dari satu sama lain, sehingga dapat mewujudkan
tipe manusia paripurna seperti dikehendaki oleh ajaran agama
Islam.(Arifin:1989:42)
Oleh karena itu tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan
cita-cita mewujudkan nilai-nilai, maka filsafat kependidikanlah yang memberi
dasar dan corak serta arah tujuan kependidikan itu sendiri. (Arifin:1989:42)
Tujuan pendidikan Islam dengan demikian merupakan
penggambaran nilai-nilai Islami yang hendak diwujudkan dlam pribadi
manusia-didik pada akhir dari proses tersebut. Dengan istilah lain tujuan
pendidikan Islam adalah perwujudan nilai-nilai Islami dlam pribadi
manusia-didik yang diiktiarkan oleh pendidik muslim melalui proses yang
terminal pada hasil (produk) yang berkepribadian Islam yang beriman, bertakwa
dan berilmu pengetahuan yang sanggup mengembangkan dirinya menjadi hamba Allah
yang taat.(Arifin:1989:224)
Hasil rumusan tentang Tujuan Pendidikan Islam menurut kongres
Pendidikan Islam se Dunia di Islamad tahun 1980, menunjukkan bahwa pendidikan
harus merealisasikan cita-cita (idealitas) Islami yang mencakup pengembangan
kepribadian muslim bersifat menyeluruh secara harmonis berdasarkan potensi
psikologis dan fisiologis (jasmaniah) manusia mengacu kepada keimanan dan sekaligus
berilmu pengetahuan secara berkesinambungan sehingga terbentuklah manusia
muslim yang pari purna yang berjiwa
tawakal (menyerahkan diri) secara total kepada Allah SWT. (Arifin:1989:224)
sebagaimana firman Allah yang menyatakan:
Artinya : “ Katakanlah
sesungguhnya shalatku, ibadahku dan hidup dan matiku hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam.(Depag RI.Al Qur’an
dan Terjemahan:1990:216: 6:162)
Rumusan di atas sesuai dengan firman
Allah:
Artinya : ”Niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat, dan Allah Maha Mengetahui, apa
yang kamu kerjakan. (Depag RI.
Al Qur’an Terjemahan:1990:910: 58 :11)
Dengan demikian tujuan pendidikan Islam berjangkauan sama
luasnya dengan kebutuhan hidup manusia modern masa kini dan masa yang akan
datang, dimana manusia tidak hanya memerlukan iman atau agama melainkan juga
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat untuk mmemperoleh kesejahteraan
hidup di dunia sebagai sarana untuk mencapai kehidupan spiritual yang bahagia
di akhirat terhindar dari siksaan neraka.(Arifin: 1989:225)
Sejalan dengan tujuan pendidikan yang bersifat paripurna itu,
Prof. Dr. Mohd Fadhil Al-Djamali, berpendapat bahwa sasaran pendidikan Islam
sesuai dengan ajaran Al Quran ialah membina kesadaran atas diri manusia sendiri
dan atas system sosial yang Islami, sikap dan rasa tanggung jawab sosialnya,
juga terhadap alam sekitar ciptaan Allah serta kesadarannya untuk mengembangkan
dan mengelola ciptaannya bagi kepentingan kesejahteraan umum manusia yang
paling utama dari semuanya itu ialah membina makrifat kepada Allah Pencipta alam
dan beribadah kepada-Nya dengan cara mentaati perintah-perintah-Nya serta
menjauhi segala larangan-Nya.(Arifin :1989:226)
Rumusan tujuan pendidikan Islam dapat juga tidak seragam
ruang lingkupnya, bergantung pada mazhab atau aliran paham yang dijadikan
orientasi sikap dan pandangan dalam pengamalan agama. Berikut keaneka ragaman
rumusan tujuan pendidikan Islam menampakkan pengaruh mazhab atau aliran paham
para pemikir atau ulama Islam dalam masalah pendidikan:(Arifin :1989:226)
1.
Ichwanus sofa, karena cenderung
berorientasi kepada mazhab filsafat dan kepada keyakinan politisnya merumuskan
tujuan pendidikan untukmenumbuh-kembangkan kepribadian muslim yang mampu
mengamalkan cita-citanya.
2.
Abul Hasan Al-Qabisi yang menganut
paham ahli sunnah wal jama’ah merumuskan tujuan pendidikan untuk mencapai
makrifat dalam agama baik ilmiah maupun amaliah.
3.
Ibnu Maskawaih seorang ahli fiqh
dan hadist menitik beratkan rumusannya pada usaha mencapai tujuan pendidikan
yang berkualitas baik, benar dan indah (atau merealisasikan kewbaikan,
kebenaran dan keindahan).
4.
Al-Gazaly, merumuskan tujuan
pendidikan dengan menitik beratkan pada melatih anak agar dapat mencapai
makrifat kepada Allah melalui jalan tasawwuf yaitu dengan mujahadah
(membiasakan) dan melatih nafsu-nafsu.
Kalau diterjemahkan ke dalam bahasa pendidikan mutakhir, maka
tujuan di atas di sebut tujuan akhir atau al-ahdaf
al-Ulya yang dapat dijabarkan kepada tujuan-tujuan kecil, yakni tujuan umum
dan tujuan khusus. Dengan kata lain lagi, untuk memebentuk insan kamil ada
pra-syarat-pra-syarat yang harus dipenuhi, diantaranya mempelajari berbagai
ilmu juga dengan pra-syarat-pra-syarat yang terkandung dalam mempelajarai
ilmu-ilmu itu seperti mempelajari bahasa , syari’ah dan lain-lain. Jadi
tidaklah insan kamil itu tercipta dalam sekejap mata, ia mengalami proses yang
panjang: mempelajari ilmu, beramal, dengan berbgai cobaan yang bisa terjadi di
dalam proses itu,. Hanya orang yang lulus dari cobaan-cobaan itulah yang
sanggup sampai ketahap kesempurnaan (kamal).(Fathiyah Hasan Sulaiman, 1986:9)
Perlu juga difahami bahwa pendidikan di sini dimaksudkan
dalam pengertiannya yang sangat luas, yaitu yang formal, non formal, dan
informal. Tidak heran kalau al-Ghazali selalu berbicara dengan ungkapan yang
umum, yang masuh perlu dijabarkan secara detil untuk dapat dilaksanakan didalam
kelas. Dan perlu juga ditegaskan bahwa tujuan pendidikan menurut al-Ghazali di
sini memang harus menempati suatu tempat khusus dalam bidang filsafat , yaitu
filsafat manusia yang memang sangat jarang dikupas dalam dunia kependidikan
dewasa ini.
Mempelajari karya-karya al-ghazali mengenai pendidikan dan
pengajaran, akan ditemukan dua tujuan pendidikan yang hendak dicapai. Pertama,
Kesempurnaan manusia, yang puncaknya adalah dekat kepada Allah. Kedua,
Kesempatan manusia, yang puncaknya adalah kebahagiaan dunia dan akhirat. Karena
itu, ia berusaha mengajar manusia agar mampu mencapai tujuan-tujuan yang
dirumuskan tadi. (Fathiyah Hasan Sulaiman:1986:19)
Sistem pendidikan Islam secara umum mempunyai ciri khas ,
yakni warna religius dan kerangka etik yang nampak jelas dalam tujuan dan
sasarannya, tanpa mengesampikan masalah-masalah duniawi. Pemikiran al-Ghazali
tentang pendidikan secara umum sesuai dengan orientasi religius-etis. Dengan
tidak melupakan urusan dunia, al-Ghazali mempersiapkan segala perangkat yang
dibutuhkan dalam pendidikan. Namun ia menganggap pelayanan urusan dunia dan
kebahagiaannya hanya faktor suplementer untuk
mencapai kebahagiaan akhirat yang lebih utama dan abadi. Dunia adalah
ladang menuju akhirat. Ia merupakan sarana menuju kepada Allah bagi yang
menjadikannya sebagai sarana dan tempat pengembaraan, bukan tempat menetap dan
bertempat tinggal.(Fathiyah Hasan Sulaiman, 1986: 20)
Pikiran-pikiran al-Ghazali di samping dibentuk oleh warna
religius sebagai cirri khas pendidikan Islam ia lebih banyak cenderung pada
bidang ruhani. Kecenderungan ini memang sesuai dengan filsafat sufistiknya.
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali adalah kesempurnaan manusia di dunia dan
akhirat yang bisa dicapai melalui upaya mencari keutamaan dengan ilmu
pengetahuan. Jadi keutamaan bisa membahagiakan di dunia di samping membuat juga
dekat kepada Allah, suatu kebhagiaan di akhirat.
Namun, meski ia sangat religius dan sufi, yang mempengaruhi
pandangan dan nilai-nilai lainnya, serta menjadikan tujuannya untuk mendekatkan
diri kepada Allah dan untuk kebahagiaan akhirat, al-Ghazali tidak lupa, bahwa
menuntut ilmu demi ilmu itu sendiri adlah perlu. Karena pada dasarnya ilmu
pengetahuan mempunyai keistimewaan dan kebaikan. Dikatakan, bahwa ilmu
pengetahuan merupakan keutamaan dalam dirinya sendiri juga keutamaan secara
mutlak.(Fathiyah Hasan Sulaiman, 1986:21)
Karena itu ia menganggap mencari ilmu sebagai tujuan
pendidikan. Sebab ilmu mempunyai nilai tinggi dan orang akan menemukan
kelezatan dan kenikmatan. Karena itu, ilmu perlu dituntut demi ilmu itu
sendiri. Disamping itu, engkau menemukan ilu sebagai jalan menuju akhirat dan
kebahagiaan disana. Ilmu juga merupakan sarana satu-satunya untuk mendekatkan
diri kepada Allah. Dalam hal manusia, tingkatan yang paling utama adalah
kebahagiaan abadi dan sesuatu yang paling mulia adalah sarana untuk mencapainya,
dan kebahagiaan abadi tidak bisa dicapai kecuali dengan ilmu dan amal. Orang
tak bisa beramal dengan baik tanpa mengetahui tata caranya. Maka pangkal
kebahagiaan dunia dan akhirat adalah ilmu. Dengan demikian, ilmu merupkan amal
perbuatan yang paling mulia.(Fathiyah Hasan Sulaiman, 1986 : 21).
Abd. Rahman Nahlawy
dalam bukunya: “Dasar-dasar Pendidikan
Islam dan metode-metode Pengajarannya”
penulis mengumpulkan empat tujuan atau maksud am yang asasi bagi pendidikan Islam, yaitu: (Omar Mohammad Al-Toumy
Al-Syaibani :1979:418)
a.
Pendidikan akal dan persiapan
fikiran: “Pendidikan Islam memandang dengan penuh pemikiran, renungan dan
meditasi. Allah menyuruh kita untuk memikirkan kejadian langit dan bumi dan
agar supaya kita bergantung pada akal kita untuk sampai kepada keimanan kepada
Allah.
b.
Menumbuhkan kekuatan-kekuatan dan
kesediaan-kesediaan (bakat-bakat) semula jadi pada kanak-kanak. Islam adalah
agama fitrah. Sebab ajarannya tidak asing dari tabiat semula jadi manusia,
bahkan ia adalah “fithrah yang dijadikan manusia atasnya,”tidak ada kerumitan
dan perkara luar biasa. Segala sesuatu bersifat logis dan sesuai dengan
kebutuhan manusia dan memenuhi maslahat mereka.
c.
Menaruh perhatian pada kekuatan
generasi muda dan mendidik mereka sebaik-baiknya, baik laki-laki maupun
perempuan.
d.
Berusaha untuk meyeimbangkan
segala kekuatan-kekuatan dan kesediaan-kesediaan manusia. Dan tujuan atau
prinsip penting yang menjadi dasar pendidikan Islam ini “memberikan kepada kita
hasil yang penting, yaitu tidak membatasi kerja pendidik itu pada pendidikan
fikiran saja, keharusan memberi perhatian pada segala aspek psikologis
kanak-kanak dan kesediaan-kesediannya sewaktu timbulnya.”
Menurut pandangan Prof. Mohd. Said Ramadhan El Bouthy,
Pendidikan Islam itu mempunyai tujuh tujuan atau maksud dasar, yaitu: (Omar
Mohammad Al-Toumy Al-Syaibani :1979:420)
a.
Mencapai keridhaan Allah, menjauhi
murka dan sisksaan-Nya dan melaksanakan perhambaan yang ikhlas kepada-Nya. Tujuan
ini dianggap induk segala hasil pendidikan Islam dan terbesar.
b.
Mengangkat tahap akhlak dalam
masyarakat berdasarkan pada agama yang diturunkan, untuk membimbing masyarakat
pada rancangan akhlak yang telah dibuat oleh Allah baginya.
c.
Memungkinkan timbulnya jiwa
kebangsaan pada diri manusia berdasar pada agama dan ajaran-ajaran yang
dibawanya begitu juga mengajak manusia kepada nilai-nilai dan akhlak.
d.
Mewujudkan ketentraman didalam
jiwa dan akidah yang dalam, perhambaan yang semata-mata, dan kepatuhan yang
ikhlas kepada Allah SWT.
e.
Memelihara bahasa dan
kesusasteraan Arab sebagai bahasa al-Quran, dan sebagai wadah kebudayaan dan unsur-unsur
kebudayaan Islam yang paling menonjol, dan sebagai jalan bagi orang yang ingin
memahami Al-Quran dan mempelajari syari’ah dan hukum-hukumnya.
f.
Menghapuskan khurafat-khurafat
yang bercampur baur dengan hakikat agama, menyebarkan kesadaran Islam yang
sebenarnya dan menunjukkan hakikat agama atas kebersihan dan kecemerlangan.
g.
Meneguhkan perpaduan tanah air dan
menyatukan barisan melalui usaha menghilangkan perselisihan, bergabung dan
kerjasama dalam rangka prinsip-prinsip dan kepercayaan-kepercayaan Islam yang
dipersetujui yang terkandung dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, menanamkan
roh toleransi terhadap penganut agama-agama Allah, menanamkan kepercayaan agama
yang betul, sebab “perpaduan tanah air tidak akan kukuh tanpa kepercayaan agama
yang betul.
Ahmad D. Marimba, misalnya meyebutkan tiga fungsi tujuan
pendidikan. Pertama, tujuan berfungsi
mengakhiri usaha. Sesuatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidaklah mempunyai
arti apa-apa. Selain itu, usaha mengalami permulaan dan mengalamai pula
akhirnya. Ada
usaha yang terhenti karena sesuatu kegagalan sebelum mencapai tujuan, tetapi
usaha tersebut belum disebut berakhir. Pada umumnya, suatu usaha berakhir kalau
tujuan akhir telah dicapai. Kedua,
tujuan berfungsi mengarahkan usaha, tanapa ada antisipasi (pandangan ke depan)
kepada tujuan, penyelewengan akan banyak terjadi dan kegiatan yang dilakukan
tidak akan berjalan secara efisien. Ketiga,
tujuan dapat berfungsi sebagai titik untuk mencapai tujuan-tujuan lain, yaitu
tujuan-tujuan baru maupun tujuan lanjutan dari tujuan pertama.(Abuddin
Nata:2005:97)
Meskipun berbeda-beda dalam rumusan dari beberapa
pemikir/ulama Islam tersebut di atas, namun satu aspek principal yang sama
adalah mereka semuanya menghendaki terwujudnya nilai-nilai Islami dalam pribadi
anak-didik, yaitu keislaman, keimanan, dan ketakwaannya.(Arifin:1989:226)
Setengah ulama ada yang merumuskan tujuan pendidikan
Islam yang didasarkan atas cita-cita hidup umat Islam yang menginginkan
kehidupan duniawi yang bahagia secara harmonis, maka tujuan penidikan Islam
secara teoritis dibedakan menjadi 2 jenis tujuan:(Arifin:1989:227)
1. Tujuan Keagamaan
(Al-Ghardhud Dieny)
Setiap orang Islam pada hakikatnya adalah insan agama yang bercita-cita, beramal untuk hidup akhiratnya,
berdasarkan atas petunjuk dari wahyu Allah melalui Rasulullah. Kecenderungan
hidup keagamaan ini merupakan ruhnya agama yang benar yang perkembangannya
dipimpin oleh ajaran Islam yang murni, bersumber pada kitab suci yang
menjelaskan serta menerangkan tentang perkara benar (haq), tentang tugas kewajiban
manusia untuk mengikuti yang benar itu, menjauhi yang batil dan sesat atau
mungkar, yang kesemuanya telah diwujudkan dalam syari’at agama yang berdasrkan
nilai-nilai mutlak dan norma-normanya telah ditetapkan oleh Allah yang tak
berubah-ubah menurut selera nafsu
manusia. Oleh karena itu tujuan pendidikan Islam penuh dengan nilai-nilai
rohaniah Islami dan berorientasikan kepada kebahagiaan hidup diakhirat. Tujuan
ini difokuskan pada pembentukan pribadi muslim yang sanggup melaksanakan
syariat Islami melalui proses pendidikan spiritual menuju makrifat kepada Allah.(Arifin: 1989: 227)
Ayat-ayat
Al Quran seperti tersebut berikut ini dijadikan tumpuan cita-cita hidupnya.
Artinya
: Sesungguhnya beruntunglah orang yang
memebersihkan dirinya (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya lalu dia
bersembahyang, tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi,
sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.(Depag RI.Al
Qur’an dan Terjemhannya:1990: 1052:14-17)
2. Tujuan Keduniaan
(Al-Ghardud Dunyawi)
Tujuan ini lebih mengutamakan
pada upaya uuntuk mewujudkan kehidupan sejahtera di dunia dan kemanfaatannya.
Tujuan Pendidikan jenis ini dapat dibedakan menjadi bermacam-macam tujuan,
misalnya: Tujuan pendidikan menurut paham pragmatisme, hanya menitik beratkan
pada suatu kemanfaatan hidup manusia di dunia dimana ukuran-ukurannya sangat
relatf, bergantung kepada kebudayaan atau peradaban manusia; Nilai-nilai kehidupan
didasarkan atas kecenderungan-kecenderungan hidup sosial budaya yang
berbeda-beda menurut paham pragmatisme ini selalu berubah-ubah menurut tuntunan
waktu dan tempat di mana manusia berpacu mencapai kepuasan hidupnya. (Arifin: 1989:228)
Tujuan pendidikan menurut tuntunan hidup ilmu dan
teknologi modern seperti masa kini dan yang akan datang, meletakkan
nilai-nilainya pada kemapuan menciptakan kemajuan hidup manusia berdarkan ilmu
dan teknologi, tanpa memperhatikan nilai-nilai rohaniah dan keagamaan yang
berada dibalik kemajuan ilmu dan teknologi. Tujuan pendidikan semacam ini
adalah gersang dari nilai-nilai kemanusiaan dan agama, ssehingga terjadilah
suatu bentuk kemajuan hidup manusia yang lebih mementingkan hidup materialistis
dan atheistis, karena faktor nilai iman dan ketakwaan kepada Tuhan tidak
mendapatkan tempat dalam pribadi manusia, hasil proses pendidikan ini.
Tujuan pendidikan Islam jika diarahkan kepada upaya
memajukan manusia dengan ilmu dan teknologi modern, tidaklah sama denan
tujuan-tujuan pendidikan kaum pragmatis dan teknologis di atas, melainkan lebih
mengutamakan pada upaya meningkatkan iman dan takwa kepada Allah sebagai
pengendalinya.
Untuk merumuskan tujuan umum atau tujuan akhir
pendidikan Islam itu kita perlu mengintegrasikan nilai-nilai yang terkandung
dalam firman-firman Allah dan sabda-sabda Nabi SAW yang menjadi idealitas
ajaran Islam yang diwujudkan sebagi pola kepribadian muslim yang hakiki sesuai
tuntunan cita Islami tersebut.(Arifin:1989:235)
Firman-firman Allah berikut ini merupakan idealitas
asasi yang hendak direalisasikan melalui proses kependidikan Islam. (Arifin:1989:235)
Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia kecuali untuk beribadah
kepada-Ku.(Depag RI.Al Qur’an dan Terjemahan:1990 :862:51:56)
Artinya
: Niscaya Allah akan meninggikan oarang-oarang yang beriman di antara kamu dan
orang-oarang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan..(Depag RI.Al Qur’an dan Terjemahan:1990:910:58:11)
Artinya
: Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahakan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuatlah kebaikan (kepada
oarang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(Depag
RI. Al Qur’an dan Terjemahan:
1990:623:28:77)
Dan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan upaya
pembentukan kepribadian muslim yang senatiasa cenderung kepada mengharapkan
keridhoan Allah dalam hidupnya.
Atas dasar ayat tersebut di atas dapat dirumuskan tujuan
pendidikan Islam yang ideal dan operasional dengan ruang lingkup yang
memberikan nilai kehidupan manusia paripurna duniawiah dan ukhrawiah, yang
melaksanakan tugas hidup individual dan sosial berdasarkan perintah Allah, Maha
Penciptanya.
Rumusan Tujuan Akhir Pendidikan Islam ialah
merealisasikan manusia muslim yang beriman dan bertaqwa serta berilmu
pengetahuan yang mampu mengabdikan dirinya kepada Khalik-nya dengan sikap dan
kepribadian bulat yang menunjuk kepada penyerahan diri kepada-Nya dalam segala
aspek hidupnya, duniawiah dan ukhrawiah.(Arifin:1989:236:237)
Namun demikian rumusan di atas masih dapat diringkas lagi
menjadi: mewujudkan manusia yang berkepribadian muslim yang bulat lahiriah dan
batiniah yang mampu mengabdikan segala amal perbuatannya untuk mencari
keridhoan Allah SWT. (Arifin: 1989:237)
BAB III
KONSEP PENDIDIKAN AL-GHAZALI
A. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Nama Lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad
Al-Ghazali dilahirkan di Thus, sebuah kota di Khurasan, Persia, pada tahun 450
H atau 1058 M. Ayahnya seorang pemintal wool, yang selalu memintal dan
menjualnya sendiri di kota itu. Al-Ghazali mempunyai seorang saudara. Ketika
akan meninggal, ayahnya berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya
itu diasuh dan disempurnakan pendididikannya setuntas-tuntasnya. Sahabatnya
segera melaksanakan wasiat ayah Al-Ghazali. Kedua anak itu dididik dan disekolahkan,
setelah harta pusaka peninggalan ayah mereka habis, mereka dinasehati agar
meneruskan mencari ilmu semampu-mampunya.
Imam Ghazali sejak kecilnya dikenal sebagai seorang anak
pencinta ilmu pengetahuan dan penggandrung mencari kebenaran yang hakiki,
seaklipun diterpa duka cita, dilanda aneka rupa nestapa dan sengsara. Untaian
kata-kata berikut ini melukiskan keadaan pribadinya.
“Kehausan untuk mencari hakikat kebenaran sesuatu
sebagai habit dan favorit saya dari sejak kecil dan masa mudaku merupakan
insting dan bakat yang dicampakkan Allah SWT. Pada tempramen saya, bukan
merupakan usaha atau rekaan saja” (Abuddin Nata :2000:81)
Dimasa kanak-kanak Imam Ghazali belajar kepada Ahmad bin
Muhaammad Ar-Radzikani di Thus kemudian belajar kepada abi Nashr al-Ismaili di
Jurjani dan akhirnya ia kembali ke Thus lagi. Pada kali yang lain diceritakan
bahwa dalam perjalanan pulangnya, beliau dan teman-teman seperjalanannya
dihadang sekawanan pembegal yang kemudian merampas harta dan
kebutuhan-kebutuhan yang mereka bawa. Para
pembegal tersebut merebut tas Imam Ghazali yang berisi buku-buku filsafat dan
ilmu pengetahuan yang beliau senangi. Kemudian Al-Ghazali berharap kepada
mereka agar sudi mengembalikan tasnya, karena beliau ingin mendapatkan berbagi
macam ilmu pengetahuan yang terdapat dalam buku itu. Kawanan perampok merasa
iba hati dan kasihan padanya, akhirnya mereka mengembalikan kitab-kitab itu
kepadanya.
Diceritakan pula setelah peristiwa itu beliau menjadi
rajin sekali meempelejari kitab-kitabnya, memahami ilmu yang terkandung di
dalamnya dan berusaha mengamalkannya. Bahkan beliau selalu menaruh
kitab-kitabnya di suatu tempat yang aman.
Sesudah itu Imam Ghazali pindah ke Nisabur untuk belajar
kepada seorang ahli agama kenamaan dimasanya, yaitu Al-Juwaini, Imam Al-Haramain
(W.478 H/1085 M). Dari beliau ini dia belajar Ilmu Kalam, Ilmu Ushul dan Ilmu
Pengetahuan agama lainnya.(Abuddin Nata : 2000:82)
Imam Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup
mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai denagan penalaran yang jernih hingga
Imam Al-Juwaini sempat memberi predikat beliau “laut dalam nan menenggelamkan (Bahrun
Muughriq).” Ketika gurunya ini meninggal dunia, Al-Ghazali meninggalkan Nisabur
menuju ke Istana Nidzam Al-Mulk yang menjadi seorang perdana menteri Sultan
Bani Saljuk.
Keikutsertaan Ghazali dalam suatu diskusi bersama
sekelompok ulama dan para intlektual dihadapan Nidzam Al-Mulk membawa
kemenangan baginya. Hal ini tidak lain berkat ketinggian ilmu filsafatnya,
kekayaan ilmu penegetahuannya, kefasihan lidahnya dan kejituan argumentasinya.
Nidzam al-Mulk benar-benar kagum melihat kehebatan beliau ini dan berjanji akan
mengangkatnya sebagai guru besar di Universitas yang didirikannya di Baghdad.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 484/1091 M.
Ditengah-tengah kesibukannya mengajar di Bahgdad beliau
masih sempat mengarang sejumlah kitab seperti : Al Basith, Al Wasith, Al-wajiz, Khulasah Ilmu Fiqh, Almunqil fi Ilm
Al-Jadal (Ilmu Berdebat), Ma’khadz al-Khalaf, Lubab al-Nadzar, Tashin al
Ma’akhidz dan Al-Mabadi’ wa al-Ghayat fi fann al-Khalaf. Namun kesibukan
dalam karang mengarang ini tidaklah mengganggu perhatian beliau terhadap Ilmu
Metafisika dan beliau selalu meragukan kebenaran adat-istiadat warisan nenek
moyang di mana belum ada seorang pun yang memeperdebatkan soal kebenarannya
atau menggali asal usul dari timbulnya adat istiadat tersebut(Abuddin Nata : 2000:83).
Begitu juga ditengah-tengah kesibukan ini, beliau juga
belajar berbagai ilmu pengetahuan dan filsafat klasik seperti Filsafat Yunani,
sebagaimana beliau juga mempelajari berbagai aliran agama yang beraneka ragam
yang terkenal di waktu itu. Beliau mendalami berbagai bidang studi ini dengan harapan
agar dapat menolongnya mencapai ilmu pengetahuan sejati yang sangat didambakan.
Setelah empat tahun beliau memutuskan untuk berhenti
mengajar di Baghdad.
Lalu ditinggalkannya kota tersebut untuk menunaikan ibadah Haji.
Setelah itu beliau menuju ke Syam, hidup dalam Jami’Umawy dengan kehidupan
serba penuh ibadah, dilanjutkan menegembara ke berbagai padang pasir untuk
melatih diri menjauhi barang-barang terlarang (haram), meninggalakan
kesejahteraan dan kemewahan hidup, mendalami masalah keruhanian dan penghayatan
agama.
Demikianlah Imam Ghazali mempersiapkan dirinya dengan
persiapan agama yang benar dan mensucikan jiwanya dari noda-noda keduniaan,
sehingga beliau menjadi seorang filosof ahli tasawuf pertama kali dan seorang
pemimpin yang menonjol dizamannya. Kemudian pada suatu waktu, beliau pulang ke Baghdad kembali mengajar
disana. Hanya saja beliau menjadi guru besar dalam bidang studi lain tidak
seperti dahulu kali. Setelah menjadi guru besar dalam berbagai dalam berbagai
ilmu penegetahuan agama, sekarang tugasnya menjadi Imam ahli agama dan tasawuf
serta penasihat spesialis dalam bidang agama.(Abuddin Nata :2000:84)
Kitab pertama beliau karang setelah kembali ke Baghdad ialah kitab
Al-Munqidz Al-Dholal (Penyelamat dari Kesesatan). Kitab ini dianggap sebagai
salah satu buku refrensi yang penting bagi sejarawan yang ingin mendapatkan
pengetahuan tentang kehidupan Imam Ghazali. Kitab ini mengandung keterangan
sejarah hidupnya di waktu transisi yang mengubah pandangannya tentang
nilai-nilai kehidupan. Dalam kitab ini juga, beliau menjelaskan bagaimana Iman
dalam jiwa itu tumbuh dan berkembang, bagaimana hakikat ketuhanan itu dapat
tersingkap atau terbuka bagi ummat manusia, bagaimana mencapai pengetahuan
sejati (Ilmu yaqin) dengan cara tanpa berfikir dan logika namun dengan cara
ilham dan mukasyafah (terbuka hijab) menurut ajaran tasawuf.
Sekembalinya Imam Ghazali ke Baghdad sekitar sepuluh tahun ke naisaburi
dan sibuk mengajar di sana
dalam waktu yang tidak lama, setelah itu beliau meninggal dunia di kota Thus, kota kelahirannya, pada
tahun 505 H/1111 M.
Demikianlah yang dapat kita amati mengenai sejarah
kehidupan Imam Ghazali dalam siklus purna yang berhenti di tempat semula Beliau
dilahirkan di Thus dan kemabali ke Thus
lagi setelah belaiau melakukan pengembaraan dan akhirnya meninggal kehidupan
ilmiah sebagai pengajar dan penasihat diakhirinya sebagai guru dan penasihat pula.
Dari uraian tersebut diatas, dapat diketahui dengan
jelas bahwa Al-Ghazali tergolong ulama yang taat berpegang pada Al-Qur’an Al-Sunnah,
taat menjalankan agama dan menghias dirinya dengan tasawuf. Ia banyak mempelajari
berbagai pengetahuan umum seperti ilmu Kalam, filsafat, Fiqih, Tasawuf dan
sebagainya, namun pada akhirnya ia lebih tertarik kepada fiqih dan Tasawuf. (Abuddin
Nata : 2000:85)
Selanjutnya dari uraian tersebut, diketahui dengan
jelas, bahwa ia seorang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap
pendidikan. Masalahnya adalah apakah corak pemahaman keagamaannya itu mempengaruhi
konsep pendidikannya? Hal ini akan diketahui setelah membaca uaraian dibawah
ini. Pertanyaan ini menarik untuk dikemukakan, karena sebagaimana banyak di jumpai,
bahwa sutau konsep pendidikan yang dikemukakan suatu tokoh selalu dipengaruhi
corak paham keagamaan yang dimiliki, sebagaimana dijumapai pada konsep
pendidikan Al-Qabisi yang telah dikemukakan diatas. (Abudddin Nata : 2000:85)
B. Konsep Pendidikan Al-Ghazali
Untuk menegetahui konsep pendidikan Al-Ghazali ini dapat
diketahui antara lain dengan cara mengetahui dan memahamai pemikirannya yang
berkenaan dengan berbagai aspek yang berkaitan denagan pendidikan, yaitu aspek
tujuan pendidikan, kurikulum, metode, etika guru dan etika murid berikut ini.(Abuddin
Nata :2000:86)
1. Tujuan Pendidikan
Rumusan tujuan pendidikan pada hakikatnya merupakan rumusan
filsafat atau pemikiran yang mendalam tentang pendidikan. Seseorang baru dapat
merumuskan suatu tujuan kegiatan, jika ia memahami secara benar filsafat yang
mendasarinya. Rumusan tujuan pendidikan ini selanjutnya akan menentukan aspek
kurikulum, metode, guru dan lainnya yang berkaitan denagan pendidikan. Dari
hasil studi terhadap pemikiaran Al-Ghazali dapat diketahui denagan jelas, bahwa
tujuan akhir yang ingin dicapai melalui kegiatan pendidikan ada dua :
Pertama, tercapainya kesempurnaan insani yang bermuara pada
pendekatan diri kepada Allah.
Kedua, kesempurnaan insani yang bermuara pada kebahagiaan
dunia dan akhirat. Karena itu ia bercita-cita mengajarkan manusia agar mereka
sampai pada sasaran-sasaran yang merupakan tujuan akhir dan maksud tujuan
pendidikan itu. Tujuan ini tampak bernuansa religius dan moral, tanpa
mengabaikan masalah duniawi.
Pendidikan Islam itu secara umum mempunyai corak yang
spesifik, yaitu adanya cap (stempel) agama dan etika yang kelihatan nyata pada
sasaran-sasaran dan sarananya, dengan tidak mengabaikan masalah-masalah
keduniaan. Dan pendapat Al-Ghazali tentang pendidikan pada umumnya sejalan dengan
trend-trend agama dan etika. Al-Ghazali juga tidak melupakan masalah-masalah
duniawi, karenanya ia beri ruang dalam system pendidikannya bagi perkembangan
duniawi. Tetapi dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk maslah-masalah
dunia itu hanya dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di alam
akhirat yang lebih utama dan kekal. Dunia adalah alat perkebunan untuk
kehidupan akhirat, sebagai alat yang akan mengantarkan seseorang menemui
Tuhannya. Ini tentunya bagi yang memandangnya sebagai tempat untuk selamanya.(Abuddin
Nata :2000:86)
Akan tetapi pendapat Al-Ghazali tersebut, disamping bercorak
agamis yang merupakan ciri spesifik pendidikan Islam, tampak pula cenderung
pada sisi kerohanian. Dan kecendrungan tersebut menurut keadaan yang sebenarnya,
sejalan denagan filsafat Al-Ghazali yang bercorak Tasawuf. Maka sasaran
pendidikan, menurut Al-Ghazali, adalah kesempurnaan insani didunia dan akhirat.
Dan manusia akan samapai keada tingkat kesempurnaan itu hanya dengan menguasai
sifat keutamaan melalui jalur ilmu. Keutamaan itulah yang akan membuat dia
bahagia di dunia dan mendekatkan dia kepada Allah SWT, sehingga ia menjadi
bahagia di akhirat kelak.(Abuddin Nata :2000:87)
Sungguhpun Al-Ghazali dikenal sebagai seorang yang terkendali
oleh jiwa agamis dan sufi yang mana keduanya telah mempengaruhi pandangannya
tentang hidup, tentang nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan dan
kedua-keduanya juga telah membuat dia mencari jalan untuk mendekatkan diri pada
Allah dan mencari kebahagiaan di akhirat namun dia tidak lupa bahwa ilmu itu
sendiri perlu dituntut, mengingat keutamaan dan keindahan yang dimilikinya. Ia
melihat bahwa ilmu itu sendiri adalah keutamaan dan ia melebihi segala-galanya.
Oleh karena itu, menguasai ilmu bagi dia, termasuk tujuan pendidikan, mengingat
nilai yang dikandungnya serta kelezatan dan kenikmatan yang diperoleh manusia
padanya. Ia kemukakan : apabila anda melihat kepada ilmu maka tampak oleh anda
bahwa imu itu sendiri adalah lezat dan oleh karena itu pula maka ilmu itu sendiri
selalu dicari. Anda juga akan mengetahui bahwa ia merupakan jalan yang
mengantarkan anda kepada kebahagiaan dinegeri akhirat, sebagai medium untuk
taqarrub kepada Allah, dimana tak satupun sampai kepadanya tanpa ilmu, tingkat
mulia bagi seorang manusia adalah kebahagiaan yang abadi; di antara wujud yang
paling utama adalah wujud yang menjadi perantara kebahagiaan, tetapi
kebahagiaan itu tak mungkin dicapai kecuali dengan ilmu dan amal, dan amal tak
mungkin dicapai kecuali jika ilmu tentang cara beramal dikuasai.
Dengan demikian, maka modal kebahagiaan di dunia dan akhirat
itu, tak lain adalah ilmu. Kalau demikian, maka ilmu adalah amal yang terutama.(Abuddin
Nata :2000:88)
Selain itu rumusan tersebut mencerminkan sikap zuhud
al-Ghazali terhadap dunia, merasa qana’ah
(merasa cukup dengan yang ada), dan banayak memikirkan kehidupan akhirat
daripada kehidupan dunia.
Sikap yang demikian itu siperlihatkannya pula ketika rekan ayahnya
mengirim al-Gahzali beserta saudaranya, Ahmad, ke Madrasah Islamiyah yang menyediakan
berbagai sarana, makanan dan minuman serta fasilitas belajar lainnya. Berkenaan
dengan hal ini al-Ghazali berkata,”Aku datang ke tempat ini untuk mencari
keridhaan Allah, bukan untuk mencari harta dan kenikmatan.”
Rumusan tujuan pendidikan al-Ghazali yang demikian itu juga
karena al-Ghazali memandang dunia ini bukan merupakan hal yang pokok, tidak
abadi dan akan rusak, sedangkan maut dapat memutuskan kenikmatan setiap saat.
Dunia hanya tempat lewat sementara, tidak kekal. Sedangkan akhirat adalah desa
yang kekal, dan maut senantiasa mengintai setiap saat.
Lebih lanjut al-Ghazali mengatakan bahwa orang yang berakal
sehat adalah orang yang dapat menggunakan dunia untuk tujuan akhirat, sehingga
orang tersebut derajatnya lebih tinggi di sisi Allah dan lebih luas
kebahagiaannya di akhirat. Ini menunjukkan bahwa tujuan pendidikan menurut
al-Ghazali tidak sama sekali menistakan dunia, melainkan dunia hanya sebagai
alat. (Abuddin Nata :2005:213)
2. Kurikulum
Secara tradisional kurikulum berarti mata pelajaran yang
diberikan kepada anak didik untuk menanamkan sejumlah pengetahuan agar mampu
beradaptasi denagan lingkungannya. Kurikulum tersebut disusun sedemikian rupa
agar dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan. (Abuddin Nata :2005:216)
Konsep kurikulum yang dikemukakan Al-Ghazali terkait erat dengan
konsepnya mengenai ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Al-Ghazali ilmu terbagi
kepada tiga bagian, sebagai berikut :
Pertama, ilmu yang terkutuk baik sedikit maupun banyak, yaitu
ilmu-ilmu yang tidak ada manfaatnya, baik di dunia maupun di akhirat, seperti
ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan. Al-Ghazali menilai ilmu tertsebut
tercela karena ilmu-ilmu tersebut terkadang dapat menimbulkan mudharat
(kesusahan) baik yang memilikinya, maupun bagi oaring lain. Ilmu sihir dan ilmu
guna-guna misalnya dapat mencelakakan orang, dan dapat memisahkan antara sesama
manusia yang bersahabat atau saling mencintai, menyebarkan rasa sakit hati,
permusuhan menimbulkan kejahatan dan lain sebagainya. Selanjutnya ilmu nujum
yang tergolong yang tidak tercela ini menurut Al-Ghazali dapat dibagi dua,
yaitu ilmu nujum yang berdasarkan perhitungan (hisab), dan ilmu nujum yang
berdasarkan istidlaly, yaitu semacam astrologi dan meramal nasib berdasarkan
petunjuk bintang. Ilmu nujum jenis kedua ini menurut Al-Ghazali tercela menurut
syara’, sebab dengan ilmu iti dapat menyebabkan manusia menjadi ragu kepada
Alllah, lalu menjadi kafir. Misalnya, suatu ketika seorang tukang nujum
meramalkan bakal terjadi sesuatu dilangit dengan berpedoman kepada keyakinan
langsung atau bedasarkan studi tentang bintang-bintang, kemudian pada waktu terjadinya
peristiwa yang diramalkan itu, secara kebetulan terjadi tepat pada waktu yang
ditentukan sebelumnya, tentu manusia akan merasa takjub atas kemampuan tukang
nujum itu, dan seterusnya orang-orang tersebut akan percaya pada ramalan tukang
nujum itu. Kesempatan ini bisa jadi dimanfaatkan oleh tukang nujum untuk menyatakan
dirinya sebagai nabi, orang sakti dan sebagainya. Keadaan tersebut selanjutnya
akan digunakan untuk memperluas pengaruhnya ditengah-tengah masyarakat, memaksa
orang lain untuk melayani keperluannya dan
seterusnya. Masih berkenaan dengan ilmu ini Al-Ghazali mengatakan, bahwa dengan
menyelami ilmu ini tidak akan membawa manfaat, dan terkadang membawa manusia menjadi kufur kepada Allah
SWT, seperti mempelajari bagian-bagian yang rumit dari suatu ilmu sebelum memahami
bagian-bagiannya yang jelas, atau seperti mempelajari tentang rahasia-rahasia
Ilahiyat. Ia sebutkan juga beberapa ilmu lain yang diantaranya adalah bagaian
dari ilmu filsafat seperti metafisika.(Abuddin Nata :2000:89)
Masih dalam ilmu yang termasuk bagian pertama diatas, Al-Ghazali
mengtakan bahwa mempelajari filsafat bagi setiap orang tidaklah wajib, karena
menurut tabi’atnya tidak semua orang dapat mempelajari ilmu tersebut dengan
baik. Orang-orang yang mempelajari ilmu tersebut tak ubahnya seperti anak kecil
yang masih menyusu. Anak kecil itu akan jatuh sakit apabila ia makan daging
burung atau makan macam-macam makanan, yang belum dapat dicerna oleh perut
besarnya. Hal ini akan dapat membahayakan. Kedua,
ilmu-ilmu yang terpuji baik sedikit maupun banyak, yaitu ilmu yang erat
kaitannya dengan peribadatan dan macam-macamnya, seperti ilmu yang berkaitan dengan
kebersihan diri dari cacat dan dosa
serta ilmu yang dapat menjadi bekal bagi seseorang untuk mengetahui yang
baik dan melaksanakannya, ilmu-ilmu yang mengajarkan manusia tentang cra-cara
mendekatkan diri kepada Allah dan melakukan sesuatu yang diridhai-Nya, serta
dapat membekali hidupnaya di akhirat. (Abuddin Nata : 2000:89)
Terhadap ilmu model kedua Al-Ghazali membaginya kepada dua
bagian. Pertama, wajib ‘aini dan
wajib kifayah. Selanjutnya al-Ghazali mengatakan bahwa diantara para ulama
masih terdapat perbedaan pendapat mengenai ilmu yang tergolong wajib ini. Ada yang mengatakan,
bahwa ilmu yang wajib dipelajari itu adalah mengenai zat dan sifat-sifat-Nya.
Yang lain lagi mengatakan bahwa ilmu yang wajib itu adalah ilmu fiqih, sebab
dengan ilmu ini mengetahui masalah ibadah, mengenal yang halal dan haram, baik
yang menyangkut tingkah laku secara umum, atau yang menyangkut bidang
mu’amalah. Sementara itu yang lain memandang bahwa ilmu yang wajib itu adalah
ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah, karena denagan mengetahui Al-Qur’an dan As-Sunnah
tersebut seseorang dapat mengenal agama dengan baik, dan dapat semakin dekat
kepada Tuhan.
Sementara Al-Ghazali sendiri memandang bahwa ilmu-ilmu yang
wajib ‘aini bagi setiap muslim itu adalah ilmu-ilmu agama dengan segala
jenisnya, mulai dari kitab Allah, ibadat yang pokok seperti shalat, puasa, dan
zakat dan sebagainya. Bagi Al-Ghazali, ilmu yang wajib’aini itu adalah ilmu
tentang cara mengamalkan amalan yang wajibnya. (Abuddin Nata : 2000:90)
Sedangkan ilmu-ilmu yang termasuk fardhu kifayah adalah semua
ilmu yang mungkin diabaikan untuk kelancaran semua urusan seperti ilmu kedokteran
yang menyangkut keselamatan tubuh atau hitung yang sangat diperlukan dalam
hubungan mu’amalat pembagian wasiat dan warisan dan laian sebagainya. Ilmu-ilmu
itu jika tidak ada seorangpun dari suatu penduduk yang menguasainya, maka
berdosa seluruhnya. Sebaliknya jika telah ada salah seorang yang menguasai dan
dapat mempraktekkannya maka ia sudah dianggap cukup dan tuntunan wajibnya pun
lepas dari yang lain. Dengan demikian, ilmu yang wajib kifayah itu adalah ilmu
kedokteran dan ilmu hitung. Menurutnya bahwa masyarakat tanpa ilmu ani adalah
masyarakat yang tidak sehat. Al-Ghazali
juga menilai tentang adanya bidang pekerjaan yang termasuk kedalam kelompok
wajib kifayah, seperti ilmu pertanian, menenun, administrasi dan jahit-menjahit.
Ketiga, ilmu-ilmu yang
terpuji dalam kadar tertentu, atau sedikit, dan tercela jika dipelajarinya
secara mendalam itu dapat menyebabkan terjadinya kekacauan dan kesemrawutan
antara keyakinan dan keraguan, serta dapat pula membawa kepada kekafiran,
seperti ilmu filsafat. Mengenai lmu filsafat dibagi oleh Al-Ghazali menjadi ilmu
matematika, ilmu-ilmu logika, ilmu Ilahiyat, ilmu fisika, ilmu politik dan ilmu
etika.
Sampai disini tampaklah oleh kita bagaimana Al-Ghazali
membagi ilmu-ilmu yang bermacam-macam itu serta menetapkan nilainya
masing-masing sesuai dengan segala macamnya itu, baik ilmu aqliyah maupun ilmu amaliyah, tidak sama
nilainya, dan karena itu pula keutamaannaya berbeda. Menurut Al-Gahzali perbedaan
iitu disebabkan oleh salah satu dari tiga bagian.(Abuddin Nata :2000:91)
1.
Melihat kepada daya yang digunakan
untuk menguasainya.
Karena itu, ia melihat bahwa ilmu-imu aqliyah lebih
tinggi nilainya dibanding dengan ilmu-ilmu bahasa, karena ia dicapai melalui
akal, sedangkan yang kedua dicapai melalui pendengaran, dan akal lebih mulia
dari pada pendengaran.
2.
Melihat kepada besar kecilnya
manfaat yang didapat manusia dari padanya. Maka pertanian, bagi dia lebih
tinggi nilainya dibandingkan dengan
pandai besi, karena pertanian sangat penting bagi kehidupan, sedangkan pandai
besi hnaya untuk hiasan.
3.
Melihat kepada tempat
mempelajarinya. Maka pandai besi menurut dia, lebih utama dibandingkan dngan
kepandaian menyamak kulit. Pandai besi tempatnya adalah toko emas, jadi ia
setempat dengan emas. Tapi menyamak kulit bertempat di ruang penyamakan kulit.
Jadi orang yang menyamak berada satu tempat dengan kulit bangkai hewan.
Pada akhirnya Al-Ghazali berkesimpulan, bahwa ilmu yang
paling utama adalah ilmu agama dengan segala cabangnya, karena ia hanya dapat
dikuasai melalui akal yang sempurna dan daya tangkap yang jernih. Akal adalah
sifat manusia yang termulia karena dengan akal itulah amanah Allah diterima
manusia, dan dengan akal juga orang dapat berada disisi Allah SWT, mengenai
keluasan jangkauan manfaat akal kiranya tidak perlu diragukan. Manfaatnya
adalah kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dilihat pula tempatnya yang sudah
jelas. Seorang guru tugasnya adalah mengurus masalah hati dan jiwa manusia.
Diketahui bahwa wujud yang termulia yang ada di atas bumi ini ialah manusia,
dan bagian yang termulia dari materi manusia adalah hatinya.(Abuddin Nata : 2000:92)
Dalam menyusun kurikulum pelajaran, Al-Ghazali memberi
perhatian khusus pada ilmu-ilmu agama dan etika sebagaimana dilakukannya
terhadap ilmu-ilmu yang sangat menentukan bagi kehidupan masyarakat. Dengan
kata lain, ia mementingkan sisi yang faktual dalam kehidupan, yaitu sisi yang
tak dapat tidak harus tetap ada. Selain itu Al-Ghazali juga menekankan sisi-sisi
budaya. Ia jelaskan kenikmatan ilmu dan kelezatannya. Menurutnya ilmu itu wajib
dituntut bukan karena keuntungan diluar hakikatnya, tetapi karena hakikatnya
sendiri. Sebaliknya, Al-Ghazali tidak mementingkan ilmu-ilmu yang berbau seni
atau keindahan, sesuai dengan sifat pribadinya yang dikuasai yaitu tasawuf dan
zuhud. Disisi lain, sekalipun Al-Ghazali menenkankan pentingnya pengajaran
berbagai keahlain esensial dalam kehidupan dan masyarakat, tetapi ia tidak menekankan
pentingnya keterampilan.
Dari sifat dan corak ilmu-ilmu yang dikemukakan di atas,
terlihat dengan jelas, bahwa mata pelajaran yang seharusnya diajarkan dan masuk
kedalam kurikulum menurut Al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan sebagai
berikut (Abuddin Nata : 2000:93)
Pertama, kecenderungan
agama dan tasawuf. Kecenderungan ini membuat Al-Ghazali menempatkan ilmu-ilmu
agama diatas segalanya, dan memandangnya sebagai alat untuk mensucikan diri dan
memebersihkannya dari pengaruh kehidupan dunia. Dengan kecenderungan ini, maka
Al-Ghazali sangat mementingkan pendidikan etika, karena menurutnya ilmu
bertalian erat dengan pendidikan agama.
Kedua,
kecenderungan pragmatis. Kecenderungan ini tampak dalam karya tulisnya.
Al-Ghazali beberapa kali mengulangi penilaiannya terhadap ilmu berdasarkan
manfaaatnya bagi manusia, baik untuk kehidupan di dunia, maupun untuk kehidupan
di akihrat. Ia juga menjelaskan bahwa ilmu netral yang tak digunakan pemiliknya
bagi hal-hal yang bermanfaat bagi manusia sebagai ilmu yang tak bernilai. Bagi
Al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari segi fungsi dan kegunaannya dalam
bentuk amaliah. Dan setiap amaliah yang disertai ilmu itu harus pula disertai
dengan kesungguhan sebagai niat yang tulus ikhlas. Hal ini terlihat dalam
ungkapannya sebagai berikut (Abuddin Nata :2000:94)
Artinya : “Seluruh
manusia akan binasa kecuali yang berilmu, dan seluruh orang yang berilmu akan
binasa kecuali yang beramal, dan seluruh orang yang beramal akan binasa kecuali
orang yang ikhlas.”
Dengan melihat sisi manfaatnya dari suatu ilmu ini, tampak
Al-Gazali tergolong sebagai penganut paham pragmatis teologis, yaitu
pemanfaatan yang disandarkan atas tujuan iman dan dekat dengan Allah SWT. Hal
ini tidak dilepaskan dari sikapnya sebagai seorang sufi yang memiliki trend
praktis dan faktual.
Kurikulum yang diajukan Al-Gazali ini mendorong kita untuk
mengaitkan pada kurikulum yang disusun oleh Herbert Spenser, seorang filosof
berkebangsaan Inggris yang muncul pada pengujung abad ke XIX. Dalam sejarah
pemikiran tercatat, bahwa Spenser termasuk filosof dan pendidik awal yang
berpikir langsung pada prinsif-prinsif tertentu serta sejalan dengan tujuan
pendidikan yang telah digariskan yang sejalan dengan filsafatnya.(Abuddin Nata
: 2000 : 94)
3. Metode Pengajaran
Perhatian Al-Gazali dalam bidang metode ini lebih ditunjukkan
pada metode khusus bagi pengajaran agama untuk anak-anak. Untuk ini ia telah
mencontohkan sebuah metode keteladanan bagi mental anak-anak, pembinaan budi
pekerti dan penanaman sifat-sifat keutamaan pada diri mereka. Perhatian Al-Gazali
akan pendidikan agama dan moral ini sejalan dengan kecendrungan pendidikannya
secara umum, yaitu prinsif-prinsif yang berkaitan secara khusus dengan sifat
yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya. Hal ini
mendapatkan perhatian khusus dari Al-Gazali, karena berdasar pada prinsipnya
yang mengatakan bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan hubungan
yang erat antara dua pribadi, yaitu guru dan murid. Dengan demikian faktor
keteladanan yang utama menjadi bagian dari metode pengajaran yang amat penting.
Tentang pentingnya keteladanan utama dari seorang guru
tersebut diatas, juga dikaitkan dengan pandangannya tentang pekerjaan mengajar.
Menurutnya mengajar adalah pekerjaan yang paling mulia dan sekaligus sebagai
tugas yang paling agung. Pendapatnya ini, ia kuatkan dengan beberapa ayat Al-Qur’an
dan hadist Rasulullah SAW, serta pengulangan berkali-kali tentang tingginya
status guru yang sejajar dengan tugas kenabian. Lebih lanjut Al-Gazali
mengatakan bahwa wujud yang termulia dimuka bumi ini adalah manusia, dan bagian
inti manusia yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas menyempurnakan,
menghias, mensucikan dan menggiringnya mendekati Allah SWT. Dengan demikian,
mengajar adalah bentuk lain pengabdian manusia kepada Tuhan dan menjunjung
tinggi perintah-Nya. Menurut Allah telah menghiasi hati seorang alim dengan
ilmu yang merupakan sifat-Nya yang paling khusus. Seorang alim adalah pemegang
khas, ia bukan pemilik khas dalam system perbendaharaan. Ia dibenarkan
berbelanja dengan uang untuk siapa saja
yang memerlukannya. Kiranya tidak ada lagi martabat yang lebih tinggi dari pada
sebagai perantara antara Tuhan dengan makhluk-Nya dalam mendekatkannya kepada
Allah, dan menggiringnya kepada surga tempat tinggal tertinggi. (AbuddinNata
:2000:95)
4. Kriteria Guru Yang Baik
Sejalan dengan uraian tersebut diatas, Al-Gazali sampai pada
uraian mengenai criteria guru yang baik. Menurutnya bahwa guru yang dapat
diserahi tugas mengajar adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya,
juga guru yang baik akhlaknya dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia
dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya
yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan
kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajarnya, mendidik dan mengarahkan
anak-anak muridnya.
Selain sifat-sifat umum yang harus dimiliki guru sebagaimana
disebutkan di atas, seorang guru juga harus memiliki sifat-sifat khusus atau
tugas-tugas tertentu sebagai berikut :
Pertama, kalau
praktek mengajar dan penyuluhan sebagai keahlian dan profesi dan seorang guru,
maka sifat terpenting yang harus dimilikinya adalah rasa kasih sayang. Sifat
ini dinilai penting karena akan dapat menimbulkan rasa percaya diri dan rasa
tentram pada diri murid terhadap gurunya. Hal ini pada gilirannya dapat
menciptakan situasi yang mendorong murid untuk menguasai ilmu yang diajarkan
oleh seorang guru.
Kedua, karena
mengajarkan ilmu merupakan kewajiban agama bagi setiap orang yang alim
(berilmu), maka seorang guru tidak boleh menuntut upah atas jerih payahnya
mengajarnya itu. Seorang guru harus meniru Rasulullah SAW, yang mengajar ilmu
hanya karena Allah, sehingga dengan mengajar itu ia dapat mendekatkan dirinya
kepada Allah. Demikian pula seorang guru tidak dibenarkan minta dikasihani oleh
muridnya, melainkan sebaliknya ia harus berterima kasih kepada muridnya atau
memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina mental. Murid telah
memberi peluang kepada guru untuk dekat pada Allah SWT. Namun hal ini bisa
terjadi jika antara guru dan murid berbeda dalam satu tempat, ilmu yang
diajarkannya terbatas pada ilmu-ilmu yang sederhana, tanpa memerlukan tempat
khusus, sarana dan lain sebagainya. Namun jika guru yang mengajar harus datang
dari tempat yang jauh, segala sarana yang mendukung pengajaran harus dibeli dengan
dana yang besar, serta faktor-faktor lainnya harus diupayakan dengan dana yang
tidak sedikit, maka akan sulit dilakukan kegiatan pengajaran apabila gurunya
tidak diberikan imbalan kesejahteraan yang memadai.
Ketiga, seorang
guru yang baik hendaknya berfungsi juga sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur
dan benar di hadapan murid-muridnya. Ia tidak boleh membiarkan muridnya memberi
pelajaran yang lebih tinggi sebelum ia menguasai pelajaran yang sebelumnya. Ia
juga tidak boleh membiarkan waktu berlalu tanpa peringatan kepada muridnya
bahwa tujuan pengajaran itu adalah menedekatkan diri pada Allah SWT, dan bukan
untuk mengejar pangkat, status dan hal-hal yang bersifat keduniawian. Seorang guru
juga tidak boleh tenggelam dalam persaingan, perselisihan dan pertengkaran
dengan sesama guru lainnya.
Keempat, dalam
kegitan belajar mengajar seorang guru hendaknya menggunakan cara yang simpatik,
halus dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian dan sebagainya. Dalam
hubungan ini seorang guru hendaknya jangan mengekspos atau meneyebarluaskan
kesalahan muridnya di depan umum, karena cara itu dapat menyebabkan anak murid
memiliki jiwa yang keras, menentang, membangkang dan memusuhi gurunya. Dan jika
keadaan ini terjadi dapat menimbulkn situasi yang tidak mendukung bagi
terlaksananya pengajaran dengan baik.
Kelima, sorang guru
yang baik juga harus tampil sebagai teladan atau panutan yang baik di hadapan
murid-muridnya. Dalam hubungan ini seorang guru harus bersikap toleran dan mau
menghargai keahlian orang lain. Seorang guru hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu
yang bukan keahlian atau spesialisnya. Kebiasaan seorang guru yang mencela guru
ilmu, fiqih, dan guru ilmu fiqih mencela guru hadist dan tafsir, adalah guru
yang tidak baik.
Keenam, seorang
guru yang baik juga harus memiliki prinsif mengakui adanya perbedaan potensi
yang dimiliki murid secara individual, dan memperlakukannya sesuai dengan
tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya itu. Dalam hubungan ini, Al-Gazali
menasehatkan agar guru membatasi diri dalam mengajar sesuai dengan batas
kemampuan pemahaman muridnya, dan ia sepantasnya tidak memberikan pelajaran
yang tidak dapat dijangkau oleh akal muridnya, karena hal itu dapat menimbulkan
rasa simpati atau merusak akal muridnya.
Ketujuh, seorang
guru yang baik menurut Al-Gazali adalah guru yang disamping memahami perbedaan
tingkat kemampuan dan kecerdasan muridnya, juga memahami bakat, tabi’at dan
kejiwaan muridnya sesuai dengan tingkat perbedaan usianya. Kepada murid yang
kemampuannya kurang, hendaknya seorang guru juga jangan mengajarkan hal-hal
yang rumit sekalipun guru itu menguasainya. Jika hal ini tidak dilakukan oleh
guru, maka dapat menimbulkan rasa kurang senang kepada guru, gelisah dan
ragu-ragu.(Abuddin Nata : 2000: 98)
Kedelapan, seorang
guru yang baik adalah guru yang berpegang teguh kepada prinsif yang
diucapkannya, serta berupaya untuk merealisasikannya sedemikian rupa. Dalam
hubungan ini Al-Gazali mengingatkan agar guru jangan sekali-kali melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan prinsif yang dikemukakannya. Sebab jika hal
itu dilakukan akan menyebabkan seorang guru kehilangan wibawanya. Ia akan
menjadi sasaran penghinaan da ejekan yang pada gilirannya akan menyebabkan ia kehilangan
kemampuan dalam mengatur murid-muridnya. Ia tidak akan mampu lagi mengarahkan
atau memberi petunjuk kepada murid-muridnya.
Dari delapan sifat guru yang baik sebagaiamana dikemukakan di
atas, tampak bahwa sebagiannya masih ada yang sejalan dengan tuntutan masyarakat
modern. Sifat guru yang mengajarkan pelajaran secara sistematik, yaitu tidak
mengajarkan bagian berikutnya sebelum bagian terdahulu dikuasasi, memahami
tingkat perbedaan kejiwaan dan kemampuan intelektual para siswa, bersiap
simpatik, tidak menggunakan cara-cara kekerasan, serta menjadi pribadi panutan
dan teladan adalah sifat-sifat yang tetap sejalan dengan tuntutan masyarakat
modern.
5. Sifat Murid Yang Baik
Sejalan dengan tujuan pendidikan sebagai upaya mendekatkan
diri kepada Allah SWT, maka belajar termasuk ibadah. Dengan dasar pemikiran
ini, maka seorang murid yang baik, adalah murid yang memiliki ciri-ciri sebagai
berikut: (Abuddin Nata :2000:99)
Pertama, seorang
murid harus berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina dina dan
sifat-sifat tercela lainnya. Sebagaimana halnya shalat, maka menuntut ilmu pun
demikian pula. Ia harus dilakukan dengan hati yang bersih, terhindar dari
hal-hal yang jelek, dan kotor, termasuk di dalamnya sifat-sifat yang rendah
seperti marah, sakit hati, dengki, tinggi hati, ‘ujub, takabur dan sebagainya.(Abuddin
Nata :99)
Kedua, seorang
murid yang baik, juga harus menjauhkan diri dari persoalan-persoalan duniawi,
mengurangi keterikatan dengan dunia, karena keterikatan kepada dunia dan
masalah-masalahnya dapat mengganggu lancarnya penguasaan ilmu. Hal ini terlihat
dari ucapan Al-Gazali yang mengatakan: “bahwa ilmu itu tidak akan memberikan
sebagian dirinya kepadamu sebelum engkau memberikan seluruh dirimu kepadanya,
maka ilmu pun pasti akan memberikan sebagain dirinya kepadamu. Pikiran yang
dibagi-bagikan untuk hal-hal yang berbeda-beda sama halnya dengan anak sungai
yang dibagi-bagi ke dalam beberapa cabang. Sebagian airnya diserap oleh tanah
dan sebagain lagi menguap ke udara, sehingga tidak ada lagi yang tinggal untuk
digunakan pada pertanian.
Ketiga, seorang
murid yang baik hendaknya bersikap rendah hati atau tawadlu. Sifat ini begitu
amat ditekankan oleh Al-Gazali. Al-Gazali menganjurkan agar jangan ada murid
yang merasa lebih besar dari pada gurunya, atau merasa ilmunya lebih hebat
daripada ilmu gurunya, mendengarkan nasehat dan arahannya sebagaimana pasien
yang mau mendengarkan nasehat dokternya.(Abuddin Nata :2000:99)
Keempat, khusus
terhadap murid yang baru hendaknya jangan mempelajari ilmu-ilmu yang saling berlawanan,
atau pendapat yang saling berlawanan atau bertentangan. Seorang murid yang baru
hendaknya tidak mempelajari aliran-aliran yang berbeda-beda, atau terlibat
dalam berbagai perdebatan yang membingungkan. Hal ini perlu diingat, karena murid
yang bersangkutan belum siap memahami berbagai pendapat yang berbeda-beda itu,
sehingga tidak terjadi kekacauan. Seharusnya pada tahap-tahap awal, seorang
murid menguasai dan menekuni aliran yang benar dan yang disetujui oleh guru.
Setelah itu, mungkin ia dapat menyertai perdebatan diskusi atau mempelajari
aliran-aliran yang bertentangan.(Abuddin Nata :2000:100)
Kelima, seorang
murid yang baik hendaknya mendahulukan mempelajari yang wajib. Pengetahuan yang
menyangkut berbagai segi (aspek) lebih baik daripada pengetahuan yang
menyangkut hanya satu segi saja. Mempelajari Al-Qur’an misalnya harus
didahulukan, karena dengan menguasai Al-Qur’an dapat mendukung pelaksanaan
ibadah, serta memahami ajaran agama Islam secara keseluruhan, mengingat Al-Qur’an
adalah sumber utama ajaran Islam. Hal ini sejalan dengan pendapat Al-Gazali
yang mengatakan bahwa ilmu-ilmu yang ada itu saling berkaitan dan berhubungan
antara satu dengan yang lainnya, di mana biasa terjadi keawaman terhadap salah
satunya lebih ringan dibandingkan terhadap ilmu lainnya.(Abuddin Nata
:2000:100)
Keenam, seorang murid
yang baik hendaknya mempelajari ilmu secara bertahap. Seorang murid
dinasehatkan agar tidak mendalami ilmu secara sekaligus, tetapi memulai dari
ilmu-ilmu agama dan menguasainya dengan sempurna. Setelah itu, barulah ia
melangkah kepada ilmu-ilmu lainnya, sesuai dengan tingkat kepentingannya. Jika
ia tidak mempunyai waktu untuk mendalaminya secara sempurna, maka seharusnya ia
pelajari saja rangkumannya.
Ketujuh, seorang
murid hendaknya tidak mempelajari satu disiplin ilmu sebelum menguasai disiplin
ilmu sebelumnya. Sebab ilmu-ilmu itu tersusun dalam uraian tertentu secara alami,
di mana sebagiannya merupakan jalan menuju kepada sebagian yang lain. Murid
yang baik dalam belajarnya adalah yang tetap memelihara urutan dan pertahapan
tersebut.
Kedelapan, seorang
murid hendaknya juga mengenal nilai setiap ilmu yang dipelajarinya. Kelebihan
dan masing-masing ilmu serta hasil-hasilnya yang mungkin dicapai hendaknya
dipelajarinya dengan baik. Dalam hubungan ini Al-Gazali mengatakan bahwa nilai
ilmu itu tergantung pada dua hal, yaitu hasil dan argumentasinya. Ilmu agama
misalnya berbeda nilainya dengan ilmu kedokteran. Hasil ilmu agama adalah
kehidupan yang abadi, sedangkan hasil ilmu kedokteran adalah kehidupan yang
sementara. Oleh karena itu ilmu agama kedudukannya lebih mulia daripada ilmu
kedokteran. Contoh lain adalah ilmu hitung dan ilmu nujum. Ilmu hitung lebih
mulia daripada ilmu nujum, karena dalilnya lebih kuat dan teguh daripada dalil
ilmu nujum. Selanjutnya jika ilmu kedokteran dibandingkan dengan ilmu hitung,
maka tergantung dari sudut mana melihatnya.(Abuddin
Nata :2000:101)
Ciri-ciri murid yang demikian nampak juga masih dilihat dari
perspektif tasawuf yang menempatkan
murid sebagaimana murid tasawuf di hadapan gurunya. Ciri-ciri tersebut untuk
masa sekarang tentu masih perlu ditambah
dengan ciri-ciri yang lebih membawa kepada kreativitas dan kegairahan dalam
belajar.(Abuddin Nata :2005:212)
6. Evaluasi
Pendapat al-Ghazali mengenai evaluasi agak aneh, memang,
terutama bagi orang yang terbiasa menghadapi evaluasi melalui kertas dan pensil
dengan item-item yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Evaluasi al-Ghazali
adalah evaluasi melalui hidup dengan segala cobaan, bukanlah pendidikan itu
kehidupan, seperti kata John Dewey, ‘bukan sekedar persiapan untuk hidup’.
Kalau ia adalah kehidupan, maka orang yang menghadapi evaluasi dalam pendidikan
haruslah betul-betul muncul dari kehidupan itu. Misalnya ujian statistik di
perguruan tinggi tidak boleh direkayasa secara artificial, dengan tujuan
menggagalkan sekian persen peserta yang ikut ujian itu.(Fathiyah Hasan
Sulaiman, 1986:18)
Sebaliknya ujian itu harus direkayasa dari situasi
sebenarnya, dan untuk menjawabnya jiga bisa buku-buku, malah kalau perlu ujian
diadakan di perpustakaan sehingga kalau lupa satu formula, dalam statistic
misalnya, bisa pergi membaca sederatan buku statistic yang ada diperpustakaan.
Bukankah dalam kehidupan sehari-hari kita, sebenarnya, tidak pernah menghafal
formula, dan kehidupan juga tidak menuntut kita menghafal formula-formula itu,
yang dituntutnya ialah menyelesaikan masalah yang dihadapi.
Cara terakhir ini memang kita baca dalam karya-karya
al-Ghazali dan pemikir-pemikir Islam yang semasa mengenai evaluasi. Tidak ada
bukti lebih tegas apakah konsepsi evaluasi ini lebih baik dari
peristiwa-peristiwa pemberian ijazah sebagai penutup dari suatu tahap
pendidikan.Ijazah itu sendiri dalam bahasa Arab berarti si murid telah diberi
izin untuk mengajarkan ilmu yang telah diterimanya dari guru-gurunya.Upacara
ini tidak disertai segulung kertas tanda lulus mendapat title Drs. Ir. SH. Dan
lain-lain. Ia hanya disertai upacra sederhana, yaitu pemindahan sorban dari
kepala seorang syeikh, katakana syeikh tafsir, kepada kepala seorang muridnya
yang dipercayainya bisa menjarkan tafsir itu kepada orang lain. Suatu evaluasi
yang betul-betul timbul dari kehidupan sebenarnya.(Fathiyah Hasan Sulaiman,
1986:19)
BAB IV
PEMBAHASAN
ANALISA KONSEP PENDIDIKAN MENURUT
AL-GHAZALI
Dari
keseluruhan pendekatan uraian tersebut dapat disimpulkan, bahwa Al-Ghazali adalah
seorang ulama besar yang menaruh perhatian cukup tinggi terhadap pendidikan.
Corak pendidikan yang dikembangkannya tamapak dipengaruhi oleh pandangannya
tentang tasawuf dan fiqih. Hal ini tidak mengherankan karena dalam kedua bidang
tersebut ilmu tersebut itulah al-Ghazali memperlihatkan kecenderungannya yang
besar. Konsep pendidikan yang dikemukakannya nampak selain sistematik dan komphrensif
juga secara konsisten sejalan dengan sikap dan kepribadiannya sebagai seorang
sufi.
Konsep
pendidikan al-Ghazali tersebut merupakan aplikasi dan response dari jawabannya
terhadap permasalahan sosial kemasyarakatan yang dihadapinya saat itu. Konsep
tersebut jika diaplikasikan di masa sekarang nampak sebagiannya masih ada yang
sesuai dan sebagaian lainnya ada yang perlu disempurnakan. Itulah watak hasil
pemikiran manusia yang selalu menuntut penyempurnaan.(Abuddin Nata :2005:218)
Yang
harus diperhatikan dalam mempelajari karya-karya al-Ghazali tentang pendidikan
secara umum adalah pola berpikirnya mengenai masalah-masalah pendidikan.
Al-Ghazali tidak menulis secara lepas, tetapi mengikuti suatu alam pemikiran tertentu
yang sangat jelas bagi orang yang membaca tulisan-tulisannya itu. Filsafatnya
jelas dan definitive. Karena itu ketika menulis masalah-masalah pendidikan, ia
memulai dari penjelasan tentang tujuan yang dikehendaki dari kegiatan mengajar
yang disinari dengan cahaya filsafat cahaya sufistiknya dan pada saat yang sama
sikap realitisnya. Hal ini dilakukan ketika merumuskan materi pendidikan. Ia tidak
membuat materi secara serampangan, tetapi disusun menurut langkah pendidikan
yang telah dirumuskan sehingga sejalan dengan tujuan-tujuan pendidikan yang
dicanangkan. Karena itu ia melakukan sistematisasi, pembagian dan penilaian
ilmu pengetahuan dan meletakkan secara berjenjang sesuai dengan ukuran yang
ditetapkan menurut kegunaannya bagi murid atau bahaya yang mungkin diderita. Ia
juga menerangkan soal cinta kasih yang seyogyanya merupakan perekat hubungan antara
guru dan murid. Disertai banyak contoh, ia menjelaskan bagaiamana guru
berhubungan dengan murid nya dan sebaliknya, murid berhubungan dengan gurunya.
Ini berarti al-Ghazali meletakkan suatu asas yang patut diikuti dalam mengajar.
(Fathiyah Hasan Sulaiman :1986:92)
Al-Ghazali
juga menerangkan metode mengajar agama dan membina tingkah laku dengan amat
jelas berdasarkan pada garis serta corak filsafat dan tujuan pendidikannya.
Karena itu al-Ghazali berada dalam barisan pertama para filosof pendidik yang
telah merumuskan system pendidikan berdasar pola pemikiran dan aliran filsafat
tertentu, seperti Plato, Rousseau, Dewey dan lainnya.
Yang
perlu diperhatikan juga oleh orang yang mempelajari al-Ghazali adalah
kecenderungan pragmatise yang menguasai pikirannya, meskipun ia seorang sufi.
Ia selalu berbicara bagaimana mencapai kebahagiaan akhirat, tetapi pikiran
pragmatisnya tidak membuat ia lupa pada kebahagiaan dunia. Ia berpendapat,
bahwa kebahagiaan duniawi bisa dicapai dengan cara hidup mulia, membersihkan jiwa
dari sifat-sifat tercela dan interkasi positif denagan sesama manusia.
Pendapatnya tentang cara memperoleh kebahagiaan dunia ini sudah barang tentu
cocok dengan filsafatnya. Kebahagiaan duniawi menurut Al-Ghazali jauh dari pola
kehidupan matearilistik dengan melupakan aspek manfaat dalam kehidupan.
Al-Ghazali telah menasehatkan agar mengajarkan ilmu-ilmu yang sangat diperlukan
untuk kehidupan manusia yang dapat mewujudkan kebahagiaan dan kesahteraan
sosial, seperti kedokteran, ilmu hitung, dan beberapa ketrampilan teknis. Di
sini tampak sikap realistis al-Ghazali dan perhatiannya pada aspek manfaat yang
dibutuhkan dalam kehidupan duniawi.
Karya-karya
Al-Ghazali menunjukkan bahwa ia seorang cendikiawan yang melakukan penelitian
lebih dahulu sebelum menulis. Terlihat juga pandangan-pandangannya bersumber
dari proses kehidupan yang dialami, dari bidang ilmu pengetahuan yang diperoleh
melalui pengalaman dan problematika yang pernah dihadapi dalam perkembangan
hidupnya. Kita lihat misalnya, ia menyarankan agar kita mengikuti suatu cara
ini adalah cara terbaik untuk menanamkan dasar-dasar agama pada jiwa seorang
dengan mendikte dan menyakinkan, kemudian dikukuhkan dengan argumentasi dan
bukti-bukti yang diambil dari membaca, merenungkan pesan-pesan dan makna al-Qur’an.
Jelas al-Ghazali sampai pada keyakinan ini, setelah ia melakukan penelitian
nyata dari perkembangan penghayatan keagamaan yang dialami. (Fathiyah Hasan
Silaiman :1986:94)
Pikiran
al-Ghazali mengenai nilai pendidikan yang baik, dan sesuatu yang mungkin
ditempuh menuju upaya pendidikan guna memperbaiki individu dan masyarakat, sama
dengan pikiran beberapa filosof, ahli pendidikan dan pembaharu sosial yang
mendahuluinya maupun yang datang kemudian. Seperti Plato, Aristoteles,
Roussesau, Pestalozzi, John Dewey, dan lain-lain. Mereka yakin bahwa pendidikan
yang benar dan dirumuskan berdasarkan asas yang benar dan baik merupakan jalan
satu-satunya untuk memperbaiki pembentukan individu yang pada gilirannya akan
membawa perbaikan masyarakat.Tidak perlu komentar, Plato dalam Republia dan Aristoteles dalam Politik, menyatakan, bahwa pembangunan
masyarakat hanya bisa ditempuh denagan memperbaiki sistim pendidikan. Hal yang
sama dikemukakan Rouseau dalam Emile,
yang dikutip oleh Pestalozzi dalam Leonardogartrud
dan dalam karya-karya John Dewey, seperti Democracy
and Education, Shool and Society, dan sebagainya.
Ungkapan
Al-Ghazali kurang lebih sama dengan ungkapan Rousseau yang mengatakan, bahwa
pendidikan bisa menyempurnakan kekurangan manusia dalam proses pembentukan nya.
Ia mengatakan ada beberapa makhluk yang sejak adanya telah memiiliki bentuk
yang sempurna tidak bisa ditambah dan dirubah, seperti bumi dan
bintang-bintang. Sementara makhluk lain memiliki bentuk yang belum sempurna
waktu lahir, seperti manusia. Pendidikan yang baik merupakan sarana untuk
menyempurnakan kekurangan tersebut. (Fathiyah Hasan Sulaiman :1986:95)
Rousseau
mengatakan dalam buku pertama Emile,” :
“…
Kita terlahir dalam keadaan lunglai dan
memerlukan penguat. Kita membutuhkan pertolongan. Kita pun memerlukan kekuatan
untuk memahami sesuatu. Segala kebutuhan
untuk melengkapi kekurangan ketika lahir hanya kita peroleh melalui pendidikan.”
Dengan
demikian jelas ketegaran pendirian al-Ghazali dan Rosseau tentang kemungkinan
mendidik manusia untuk menyempurnakan kekurangan serta melengkapi apa yang
tidak terdapat dalam proses penciptaan. (Fathiyah Hasan Sulaiman :1986:96)
Al-Ghazali
sama sekali tidak bicara mengenai pendidikan wanita. Dia mencurahkan seluruh
perhatiannya pada pendidikan anak laki-laki. Ini tidak mengherankan, sebab
menurut mayoritas umat Islam, pendidikan itu hanya untuk anak laki-laki saja.
Misalnya al-Ghazali mengtakan, menuntut ilmu itu wajib bagi tiap-tiap muslim.
Dia tidak mengatakan bahwa menuntut ilmu -ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan
muslimat. Begitu juga al-Ghazali lupa dan kurang memperhatikan pendidikan
kesenian dan estetika. Hal ini memang sesuai dengan pandangan tasawufnya, sebab
mengajarkan kesenian dan estetika pada anak tidak sesuai dengan pendidikan hidup
sederhana yang jauh di-ri keindahan dan kemewahan seperti yang ia sarankan.
Tidak
jelas pandangan Al-Ghazali tentang pendidikan profesi. Ia sering berbicara
tentang perlunya pengajaran pengetahuan-pengetahuan yang mengarah ke profesionalisme,
seperti kedokteran, astronomi, ilmu hitung dan teknologi, tapi dalam waktu yang
sama tidak nampak kesungguhannya pada pendidikan jenis ini. Bahkan sebaliknya,
ia termasuk oaring-orang yang menyerukan agar oaring tidak mencari upah ketika
melakukan pengabdian sosial. Terutama di bidang pendidikan ia banyak mengutip
pendapat yang tidak membenarkan profesionalisme atau bayaran mengajar. Sebab
ilmu harus dicari demi ilmu itu sendiri dan demi tolong menolong untuk
mendekatkan kepada Allah, bukan untuk mencari rizki dan harta. (Fathiyah Hasan
Sulaiman : 1986:96).
Meskipun
ia memuji profesi mengajar dengan mengatakan sebagai profesi dan tugas paling
penting dan mulia , tetapi dalam waktu yang sama ia mengecam guru yang meminta
bayaran dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai tidak tepuji dan tidak layak
dihormati.(Fathiyah Hasan Sulaiman :1986:97)
Secara
umum Al-Ghazali adalah termasuk filosof yang meletakkan sistim pendidikan yang
universal, mempunyai tujuan yang jelas dan tepat sasaran. Ia termasuk orang
yang berbicara mengenai berbagai bidang yang berhubungan dengan pendidikan anak.
Sistim pendidikannya mengikuti suatu ilmu pemikiran tertentu yang tidak sulit
difahami dan mudah didefinisikan. Jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh
pendidikan Barat, ia sebanding denagan tokoh-tokoh yang paling masyhur dan
paling besar, seperti Plato dan Rousseau. Bahkan al-Ghazali punya kelebihan
dari mereka, karena ia mendasarkan pandangan dan pikirannya pada kenyataan
hidup yang dialaminya. Sedang mereka menulis masalah pendidikan secara teoritis,
tidak bersandar pada realitas. (Fathiyah Hasan Sulaiman :1986:97)
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Kesimpulan dari uraian diatas adalah bahwa sikap religius,
sufistik dan usaha al-Ghazali untuk membersihkan hati individu-individu untuk
mewujudkan keutamaan dalam masyarakat merupakan sebab pokok perhatiannya
terhadap pendidikan agama dan pendidikan akhlak. Kesimpulan lain, bahwa Al-Ghazali
sangat yakin bahwa pendidikan yang benar bisa berperan banyak dalam memperbaiki
budi pekerti dan membina perilaku seseorang. Ia mengatakan bahwa tingkah laku
seseorang, secara umum, adalah hasil simbolis antara tabiat fitrahnya dengan
faktor-faktor lingkungan yang mengitarinya. Dalam hal ini al-Ghazali sama
dengan ahli-ahli pendidik modern yang mengatakan, bahwa kepribadian merupakan
hasil interaksi antara kecendrungan fitrah dengan pengaruh lingkungannya.
Dengan cara ini al-Ghazali telah menemukan betapa
pentingnya perhatian terhadap kecendrungan fitrah manusia yag perlu diatur
semampu mungkin dengan seimbang diantara dua sisi ekstrim. Al-Gazali
mengemukakan, bahwa sebaik-baik sesuatu adalah yang ditengah-tengah. Ini
mengingatkan kita pada seorang filosof Yunani kuno. Aristoteles yang
berpendapat bahwa sebaik-baik segala sesuatu adalah yang ditengah-tengah. Seperti
telah dijelaskan bahwa filsafat kuno yang dipelajari al-Ghazali adalah filsafat
Aristoteles. Ia membaca dan mengkritik karya-karyanya.
Al- Ghazali sebagai seorang yang mempelajari tabi’at
manusia secara cermat dan parpurina banyak berbicara mengenai kecendrungan
fitrah manusia, atau yang menurutnya disebut ghazirah. Ia menjelaskan bahwa watak manusia itu diciptakan untuk
mengabdi kepada tujuan-tujuan hidup. Hilangnya watak ini akan merugikan manusia
dan menjerumuskan dia dan keturunannya dalam bahaya, bahkan dalam kehancuran.
Ia juga menerangkan bahwa ada beberapa watak yang lebih kuat dari yang lain dan
ada yang lebih mudah diatur. Dalam hal ini al-Ghazali sama dengan ahli jiwa
modern yang membedakan kecendrungan fitrah manusia dari segi kekuatan dan penerimannya
pada perubahan. Ia juga menekankan arti penting kecendrungan fitrah manusia
untuk kehidupan dan kelangsungannya.
Dalam membicarakan watak manusia Al-Gazali lebih jauh
menerangkan bahwa ada beberapa watak manusia yang telah ada sejak lahir, ada juga
yang tercipta dalam dirinya mengikuti perkembangan usia. Pendapat ini juga ada
unsur kesamaan dengan teori-teori kejiwaan modern yang akan mencapai tahap kuat
dan matang dalam periode terutama dari perkembangan pertumbuhan individu.
Ketika al-Ghazali berbicara tentang upaya membentuk dan
membuat keseimbangan watak anak dalam pendidikan, seakan-akan ia termasuk ahli
pendidikan modern. Dalam hal ini, usaha pendidikan haruslah meliputi usaha
merubah watak dengan mengangkat atau menariknya, agar kemarahan menjadi
keperwiraan, kepatuhan kepada penguasa dan kesungguhan dalam mengabdi kepada
Negara dan sebagainya. Ia mengatakan juga, bahwa pendidikan yang baik bukan
dengan cara mencabut kecendrungan fitrah manusia dari akalnya, atau
menghapusnya secara total. Sebab yang demikian itu tidak mungkin, bahkan bertentangan dengan
tabi’at manusia.
Al-Ghazali juga telah menerangkan pentingnya seorang
guru mengetahui watak murid dalam segi kejiwaan. Ia mengatakan pengetahuan
terhadap kejiwaan murid adalah sangat perlu dan tidak bisa diabaikan.
Pengamatan guru pada kejiwaan anak sangat membantu dirinya dalam memilih metode
yang sepatutnya dipraktekkan pada murid, dalam mengajar, mendidik, atau
membimbing, baik ketika masih kecil atau ketika sudah beranjak dewasa. Bila guru
tidak mempelajari kejiwaan, bisa menyebabkan bahaya besar. Pendapat al-Ghazali
ini sejalan betul dengan pendapat yang kini berlaku yang mengatakan bahwa
pelajaran ilmu jiwa merupakan salah satu tuntutan utama bagi calon guru yang
baik. Tidak mungkin seorang guru memenuhi tugasnya dengan baik, bila ia tidak
benar-benar memahami teori-teori ilmu jiwa yang menjelaskan perilaku, kecendrungan-kecendrungan
warisan, kecendrungan fitrah dan perkembangan berfikir anak selama masa
pertumbuhannya serta pengetahuan-pengetahuan lain yang membantu guru dalam
mengajar.
Ketika al-Ghazali berbicara tentang nilai permaian bagi
anak, ia telah mengmukakan pendapat yang sangat matang, baik untuk saat itu maupun
masa-masa sesudahnya. Al-Gazali tidak menganggap permainan semata-mata sebagai
kegiatan bersama yang dilakukan oleh anak. Permainan mempunyai tiga tugas
pokok, yang sangat dibituhkan baik untuk pertumbuhan jasmani maupun
intelektual. Pertama-tama permainan membantu untuk menggerakkan tubuh anak
serta menguatan otot-ototnya yang akan membawa pertumbuhan jasmaninya tumbuh
dengan sehat. Selain itu permainan juga membuat hati anak senang dan segar yang
merupakan pendorong kebahagiaan yang sangat dibutuhkan. Dan terakhir, permainan
sebagai usaha menghilangkan keletihan belajar yang dilakukan anak dengan riang
merupakan salah satu hal yang mempermudah pendidikan. Selanjutnya ia
menerangkan, bahwa anak yang dilarang bermain bisa membuat ia jenuh dan tidak
suka belajar. Tidak ragu lagi, ahli pendidikan modern mengemukakan pendapat
yang sama dengan al-Ghazali tentang manfaat bermain dan tugas-tugas yang harus
dipenuhi untuk pendidikan secara umum. Mereka mengatakan, kebanyakan penelitian
dan seminar pendidikan berkesimpulan bahwa beberapa anak tidak mau lagi belajar
akibat mereka tidak mempunyai kesempatan yang cukup untuk bermain dan
bergembira.
Tidak ketinggalan al-Ghazali berbicara tentang
penghargaan dan hukuman dan bagaimana menggunakannya untuk tujuan
pendidikan.Pendapat al-Ghazali mengenai hal ini sangat seimbang, terutama hukum
anak, dan jangan sering mencela atau mengungkapkan kejelekan sebagai hukuman
atas perbuatan jeleknya. pikiran-pikiran ini dibenarkan oleh ahli-ahli ilmu
jiwa pada masa kini. Banyak penelitian menunjukkan bahwa mayoritas kesulitan
dan problema kejiwaan serta kegagalan hidup yang diderita manusia merupakan
akibat sikap para pendidik yang banyak memarahi mereka dan sering
menghalang-halangi kemauan anak yang terbelakang dalam pelajaran. Umumnya,
mereka menyerah dengan akhlak anak yang tidak baik atau tidak terpuji itu
B. SARAN
Yang perlu diperhatikan dalam mempelajari karya-karya
al-Ghazali ialah kecenderungan pragmatis yang menguasai pikirannya, bagaimana
mencapai kebahagiaan akhirat, tetapi tidak membuat kita lupa akan kebahagiaan
dunia.
Kebahagiaan dunia bisa diraih dengan hidup mulia,
dengan cara membersihkan jiwa kita dari sifat-sifat tercela dan interaksi
positif dengan sesama manusia.
Keterkaitannya dengan itu semua, penulis mempunyai
saran-saran sebagai berikut:
1.
Bagi sekolah-sekolah atau
madrasah-madrasah dalam melaksanakan kegiatan pendidikan, hendaknya memasukkan paham-paham
pikiran pendidikan al-Ghazali dalam kurikulum madrasah atau sekolahnya karena pola pikir al-Ghazali mengajarkan
keseimbangan dunia dan akherat yang sesuai dengan budi pekerti dalam pelajaran
PPKn.
2.
Bagi praktisi pendidikan hendaknya
berpikiran dan berprilaku seperti kerangka konsep Al-Ghazali dalam mendidik
anak didiknya karena pola pikir al-Ghazali sejalan dengan perkembangan dunia
pendidikan.
3.
Bagi penulis berikutnya, supaya menyempurnakan
kembali hasil penelitian yang penulis lakukan, karena masih banyak nilai-nilai
pendidikan yang belum terungkap dalam tulisan ini, oleh karenanya, bagi penulis
supaya melengkapi berikut aplikasinya dalam dunia pendidikan secara nyata.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,
Raja Grafindo Persadsa, Jakarta,
2005.
Abdurrahman Saleh, Drs. Didaktik Pendidikan Agama di Sekolah Dasar, Penerbit
“Pelajar”, Bandung,
1969.
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Garya
Media Pratama, Jakarta,
2005.
A. Djzali, Ilmu Fiqih, Orba Shakti, 1993.
Ali Issa Otham, Manusia Menurut Al-Gazali, Pustaka
Bandung, 1981.
Ahmad Tafsir, Metodologi Pengajaran Agama Islam
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Logos Jakarta, 2000.
Depag RI, Al-Qur’an Dan Terjemahan, Jakarta, 1995.
Dra. H. Zuhairini, Drs. Abdul Ghofir, Drs. Slamet As. Yusuf, Metodik
Khusus Pendidikan Agama, Usaha Nasional, Surabaya 1981.
Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, Pustaka
Al-Husna, Jakarta,
1987.
Hasbulah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Islam,
Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005
Hery Noer Aly, Munzier S, Watak Pendidikan Islam,
Bina Ilmu Surabaya,
1997.
Masan
AF, Aqidah
Akhlaq Madrasah Tsanawiyah, Karya Toha Putra, Semarang, 2005.
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1991.
M. Suparta, Herry Noer Aly, Metodologi Pengajaran Agama Islam
Amisco, Jakarta,
2002.
Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafat Pendidikan Islam,
Bulan Bintang, 1979.
S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan,
Rineka Cipta, Semarang,
1996.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek,
Rineka Cipta, Semarang,
1997
Suwendi, Sejarah
Dan Pemikiran Pendidikan Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar