BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara kodrati manusia memiliki kecenderungan untuk
berhubungan dengan lawan jenisnya. Kecenderungan itu sangat kuat dalam diri manusia. Seperti yang
diungkapkan oleh Abu Ahmadi,
bahwa :
Bagaimanapun juga kecenderungan tersebut tidak bisa dihilangkan karena merupakan suatu kebutuhan yang fundamental dari sejumlah keinginan dalam diri manusia, seperti halnya kebutuhan akan makan, minum dan sebagainya.[1]
Dalam Al Qur'an
surah Ar-Rum ayat 21 dijelaskan:[2]
Penyaluran keinginan tersebut di dalam Islam diatur lewat perkawinan.
Di
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan ditegaskan :
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[3]
Dalam Undang-undang, di mana orang yang akan melangsungkan pernikahan harus menurut prosedur, baik yang telah digariskan oleh ajaran agama dalam hal
ini ajaran Islam maupun menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku, agar perkawinan tersebut
menjadi sah, seperti yang tercantum pada pasal 2
ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 : "Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan
yang berlaku". [4]
Selanjutnya dalam Kompilasi Hukum Islam ditegaskan sebagai berikut:
pasal 5
1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam perkawinan harus dicatat.
2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-undang
No. 32 Tahun 1954.
pasal 6
1)
Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.
2)
Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.[5]
Demikianlah setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pejabat yang berwenang (PPN dari KUA), agar perkawinan itu
resmi dan tidak bertentangan dengan Undang-undang
perkawinan itu sendiri.
Kenyataan yang ada di masyarakat ditemukan adanya praktik nikah di bawah tangan. Praktik semacam
ini dilatarbelakangi oleh adanya anggapan
bahwa bila berurusan dengan Kantor Urusan Agama
(KUA) rumit dan berbelit-belit, sehingga mereka enggan
berurusan dengan lembaga tersebut. Mereka lebih senang mengambil jalan pintas, dalam hal ini mereka nikah tanpa melalui prosedur yang diatur oleh pemerintah, dan mereka beranggapan
bahwa pernikahan itu sah karma sesuai dengan ketentuan hukum Islam.
Setelah melaksanakan pernikahan yang tanpa prosedur tersebut dengan tenggang waktu yang
terkadang cukup lama, dan apabila suatu saat
mereka terbentur kepada suatu
keadaan yang mengharuskan mereka
“meresmikan” (melegalkan) pernikahan
mereka yang dahulu tidak
dilaksanakan di hadapan pejabat yang berwenang, mereka baru sadar dan datang ke KUA minta diselesaikan di antaranya minta dicatat. Oleh KUA mereka
dinikahkan lagi, untuk memenuhi ketentuan
Undang-undang. Dilaksanakannya nikah yang kedua ini
demi menjaga agar tidak menimbulkan masalah bagi pasangan
itu di kemudian hari.
Kenyataan yang terjadi di masyarakat, praktik nikah dua kali semacam itu ternyata bisa dilakukan oleh semua lapisan, baik dari kalangan ekonomi bawah, menengah sampai kalangan atas, baik oleh
masyarakat biasa sampai pegawai negeri/ABRI dengan
berbagai alasan yang melatarbelakangi mereka melakukannya.
Praktik nikah semacam itu cenderung sering
berakibat negatif, antara lain di saat tenggang waktu antara nikah pertama dan kedua, karena si suami merasa tidak ada yang mengikat, baginya mudah saja bila ingin menceraikan dengan
meninggalkan begitu saja isteri dan anak-anaknya.
Dan mungkin masih ada lagi berbagai dampak lainnya dengan adanya praktik nikah semacam itu.
Beranjak dari
permasalahan tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian lebih
jauh dan mendalam, yang nantinya dituangkan dalam
bentuk skripsi dengan judul “PRAKTIK NIKAH
DUA KALI DI KALANGAN MASYARAKAT KECAMATAN DAHA SELATAN KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN.”
Untuk menghindari
kesimpangsiuran dalam penafsiran, maka penulis merasa perlu memberikan penegasan
judul sebagai berikut :
Praktik "Nikah Dua Kali"
adalah pelaksanaan akad nikah dua kali, karena akad nikah pertama dilaksanakan tidak melalui prosedur sebagaimana yang ditentukan
oleh pemerintah,
tetapi memenuhi ketentuan hukum Islam, dan yang kedua dilakukan di samping
berdasarkan ketentuan hukum Islam juga berdasarkan ketentuan hukum
positif atau nikah secara resmi melalui Kantor Urusan Agama (KUA).
B. Rumusan Masalah
Agar penelitian ini lebih terarah, maka penulis menyusun kerangka
permasalahan dalam suatu rumusan sebagai
berikut:
- Bagaimana praktik nikah dua kali di kalangan masyarakat Kecamatan Daha Selatan Kabupaten Hulu Sungai Selatan?
- Faktor apa saja yang menyebabkan praktik nikah dua kali?
- Dampak apa saja yang timbul akibat praktik nikah dua kali?
- Bagaimana tinjauan hukum Islam dan hukum positif terhadap praktik nikah dua kali tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok masalah
yang digambarkan pada latar belakang di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui gambaran
yang jelas tentang praktik nikah dua kali di kalangan masyarakat Kecamatan Daha Selatan
Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
2. Mengetahui faktor-faktor
yang menyebabkan praktik nikah
dua kali.
3. Mengetahui dampak yang timbul akibat praktik
nikah dua kali.
4. Mengetahui tinjauan hukum Islam dan hukum positif terhadap praktik nikah dua kali.
D. Signifikansi Penelitian
Hasil penelitian ini
diharapkan berguna untuk menjadi :
- Bahan masukan bagi para pihak yang melaksanakan praktik nikah dua kali.
- Bahan informasi bagi masyarakat tentang adanya praktik nikah dua kali di Kecamatan Daha Selatan Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
- Bahan referensi awal bagi yang berminat memperdalam atau meneliti lebih lanjut masalah ini.
E.
Sistematika Penulisan
Skripsi ini penulis susun dalam enam
bab dengan sistematika sebagai
berikut:
Bab I. Pendahuluan, yang memuat latar belakang masalah, tujuan penelitian, batasan istilah, dan sistematika penulisan.
Bab II. Tinjauan umum tentang
perkawinan, yang memuat
tentang pengertian dan dasar hukum, syarat dan rukun, hukum perkawinan, dan tata care perkawinan.
Bab III. Metodologi penelitian, memuat jenis dan bentuk penelitian, lokasi penelitian, subjek dan
objek penelitian, data dan sumber data,
teknik pengumpulan data, teknik pengolahan dan analisis
data, prosedur penelitian.
Bab IV. Laporan hasil penelitian, memuat gambaran umum lokasi penelitian, deskripsi kasus,
identifikasi kasus.
Bab V. Pembahasan, berisikan praktik nikah dua kali, faktor-faktor yang menyebabkan praktik nikah
dua kali, akibat yang timbal dari praktik nikah dua kali.
Bab VI. Penutup,
berisikan kesimpulan dan saran‑saran
[2]
Departemen Agama Republik Indonesia, A1 Qur'an dan
Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al Qur'an, Jakarta, 1971, ha. 644.
[3]
Ny. Soemiyati S.H., Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Liberty,
Yogyakarta, 1986, ha. 9.
[5]
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Dirjen
Binbaga Islam Departemen Agama, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, Humaniora
Utama Press, cet. I, Bandung, 1991, ha. 18
Tidak ada komentar:
Posting Komentar