BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Gaya bahasa merupakan sarana yang turut menyumbang nilai kepuitisan dan
estetika karya sastra. Gaya bahasa merupakan cara penggunaan bahasa secara
khusus oleh pengarang dalam karya sastra untuk mendapatkan efek tertentu. Gaya
bahasa itu susunan yang terjadi karena perasaan dalam hati pengarang yang
dengan sengaja atau tidak, menimbulkan suatu perasaan yang tertentu dalam hati
pembaca. Muljana (Pradopo, 1997: 264).
Dalam kehidupan kita akan berhadapan dengan karya sastra. Saat berhadapan
dengan karya sastra itu ada perasaan yang akan kita dapatkan khususnya, ketika
kita membaca puisi, meski sekilas, namun pasti ada kesan yang kita dapatkan,
paling tidak kita dapat merasakan pesan yang ada dalam puisi. Puisi merupakan
hasil jiwa pengarang yang terlahir dari jiwa pengarang. Dengan puisinya
tersebut seorang pengarang bisa dapat mencurahkan isi hatinya kepada masyarakat
yang membaca hasil karyanya. Sebagai hasil kreasi manusia, puisi mampu
memaparkan realitas di luar diri manusia persis apa adanya. Karya sastra,
seperti halnya puisi, adalah semacam cermin yang menjadi perepresentasi dari
realitas itu sendiri. Mimesis, Plato (Aminudin, 1987: 115). Sastra adalah suatu
bentuk dan hasil seni kreatif yang mana objeknya adalah manusia dan
kehidupannya. Dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Objek seni dalam
sastra itu adalah pengalaman hidup manusia terutama yang menyangkut sosial,
budaya, kesenian, dan sistem berfikir. (semi, 1988: 8). Sehingga seorang
pengarang dengan pengalamannya itu ia dapat melahirkan sebuah karya sastra.
Puisi sebagai salah satu sebuah karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam
aspeknya. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi
itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan.
Dapat pula puisi dikaji dari jenis-jenis atau dari ragam-ragamnya, mengingat
bahwa puisi ada beragam-ragam. Begitu juga, puisi dapat dikaji dari sudut
kesejarahannya, mengingat bahwa sepanjang sejarahnya, dari waktu ke waktu puisi
selalu ditulis dan selalu dibaca orang. Sepanjang zaman selalu mengalami
perubahan, perkembangan.
Menurut Ahmad (Pradopo, 1997:7) puisi atau sajak mengekspresikan
pemikiran yang membangkitkan perasaan yang merangsang imajinasi panca indra
dalam suasana yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang
direkam dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi
merupakan rekaman dan interpretasi manusia yang penting dalam wujud yang paling
berkesan.
Puisi sebagai karya seni itu puitis. Puitis merupakan sebuah kata yang
mengandung nilai keindahan yang khusus untuk puisi. Bagaimanakah sifat-sifat
yang disebut puitis itu? Sukar untuk mendefinisikan puitis itu. Hanya saja
sesuatu itu dikatakan puitis bila hal itu bisa membangkitkan perasaan menarik perhatian,
menimbulkan tanggapan/ respon yang jelas, secara umum bila hal itu menimbulkan
keharuan disebut puitis.
Kepuitisan itu dapat dicapai dengan bermacam-macam cara, misalnya dengan
bentuk visual, susunan bait, dengan bunyi, persajakan, rasa dan pemilihan kata
(diksi), bahasa kiasan, unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa dan sebagainya.
Altenberd, 1970: 4-5) (Pradopo, 1997:3) namun untuk mengetahui kepuitisan itu
lebih lanjut, perlulah lebih dahulu diketahui unsur-unsur pembentuk puisi,
supaya pengetahuan tentangnya dapat lebih mendalam. Dalam dunia sastra masalah gaya
bahasa merupakan sesuatu yang amat menentukan visi pengarang dalam membuat
sebuah karya sastra, terutama yang berupa puisi. Gaya merupakan cara pengarang
dalam memaparkan gagasan sesuai dengan tujuan dan efek yang ingin dicapainya.
Dalam kreasi penulisan sastra, efek tersebut terkait dengan upaya
pemerkayaan makna, penggambaran objek dan peristiwa secara imajinatif, maupun
pemberian efek emotif tertentu bagi pembacanya. Wahana yang digunakan untuk
memaparkan gagasan dengan berbagai efek yang diinginkan tersebut bukan hanya
mengacu pada lambang kebahasaan melainkan juga pada berbagai macam untuk sistem
tanda yang secara potensial dapat digunakan untuk menggambarkan gagasan dengan
berbagai kemungkinan efek estetis yang ditimbulkan. (Aminudin, 1987: 2). Setiap
pengarang mempunyai gaya bahasa tersendiri dalam membuat sebuah karya sastra.
Sebelum kita mengetahui tentang gaya bahasa tersebut, maka kita perlu
menyadari dengan benar bahwa, tujuan akhir dari pengajaran bahasa ialah agar
kita terampil dalam berbahasa dalam pengertian terampil menyimak, berbicara,
dan menulis (Tarigan, 1984: 5). Jadi kekayaan kosakata seseorang itu sangat
menentukan kualitas keterampilan berbahasa orang tersebut.
Kata puisi berasal dari bahasa Yunani
yaitu poiesis yang berarti penciptaan. Tetapi arti yang semula ini
lama-kelamaan semakin dipersempit ruang lingkupnya menjadi, hasil seni sastra,
seperti yang telah dijelaskan, seperti uraian di atas. Di dalam puisi, sang
penyair ingin mengemukakan sesuatu bagi para penikmatnya. Sang penyair ingin melihat
atau mengalami beberapa kejadian dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dia
ingin mengemukakan, mempersoalkan, mempermasalahkan hal-hal itu dengan gaya
sendiri. Atau dengan perkataan lain, sang penyair ingin mengemukakan
pengalaman-pengalamannya kepada para penikmat.
Di dalam setiap puisi mengandung suatu subject matter untuk dikemukakan
atau ditonjolkan ; dan hal ini tentu saja tergantung kepada beberapa faktor,
antara lain falsafah hidup, lingkungan, agama, pekerjaan, pendidikan sang
penyair. Kiranya sangatlah sulit dimengerti apabila dalam puisi tidak terdapat
subject matter hanya terkadang sang penyair sangat lihai untuk
menyelubung-nyelubungi sehingga para penikmatnya harus sekuat daya untuk
mengungkapkan.
Di samping itu setiap puisi juga harus mempunyai atau mengandung makna,
sekalipun dalam puisi tersebut makna yang terkandung hanya sesekali saja atau
samar-samar, terlebih pula kalau sang penyair sangat begitu mahir menggunakan
figurativ language dalam karyanya. Agaknya dapat dipahami bahwa sia-sialah
kalau sebuah puisi itu diciptakan, namun tidak mempunyai arti atau makna sama
sekali.
Berbeda dengan rasa, sikap sang penyair terhadap pokok permasalahan yang
terkandung dalam puisinya. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai dua
orang atau lebih menghadapi keadaan yang sama, tetapi justru dengan sikap yang
berbeda. Dapat kita ambil contoh dalam kehidupan sehari-hari sering kita jumpai
orang yang disebut tuna karya. Bagi si A mungkin menganggap dengan sikap acuh
tak acuh, tetapi berbeda dengan si B menanggapinya dengan sikap kemanusiaan
yang penuh kasih sayang dan belas kasihan.
Demikian halnya sang penyair. Dua orang penyair atau lebih, dapat
menyiarkan objek yang sama dengan sikap yang berbeda. Memahami puisi tidak
dapat dilepaskan dari suatu kebudayaan masyarakat dan kebudayaan manusia. Oleh
karena itu, untuk dapat memberi suatu makna terhadap puisi perlu dilakukan
suatu analisis struktural yang tentunya tidak terlepas dari kerangka sosial
budayanya. Karya sastra dapat mengungkapkan pengalaman manusia, pikiran,
perasaan ide, semangat, kekayaan yang dapat melaksanakan estetika dengan bahasa
sebagai sarananya. Kegiatan analisis ditekankan pada penguraian unsur-unsur
yang membangun karya sastra.
Karya sastra dibangun oleh
unsur-unsur yang dominan, yaitu bentuk dan isi. Bentuk adalah sesuatu yang
tampak secara lahir, sedangkan isi adalah sesuatu yang terdapat di dalam karya
sastra, keduanya saling mengisi. Hasil analisis terhadap karya sastra akan
selalu berakhir dengan munculnya kesan dan pengertian yang utuh terhadap karya
sastra yang dibaca (Firdaus, 1986: 2).
Karya sastra (puisi) mencerminkan masyarakat secara tidak terhindarkan
dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan pada periode zamannya. Puisi
juga mencerminkan daya imajinasi, yang sangat berperan dan menentukan baik
tidaknya sebuah cipta karya seni. Suatu ciptaan akan dapat dikatakan baik
apabila ciptaan itu dapat mewujudkan pengalaman jiwa ke dalam bentuk yang
konkrit. Dalam puisi pengalaman jiwa itu diwujudkan ke dalam bentuk kata-kata.
Makin dekat dan makin lengkap perwujudan angan itu maka semakin tinggi pula
mutu puisi itu. Daya imajinasi dalam puisi pada hakikatnya tidak kelihatan,
karena ia terpendam dalam kesadaran orang masing-masing.
Sebuah puisi dapat diumpamakan sebagai pernyataan yang menyenangkan, yang
muncul dari kemampuan penyiarnya melihat sesuatu secara antusias dengan jurus
yang tepat. Penyair mempertimbangkan secara masak apa yang dilihatnya, kemudian
mengungkapkan hasil penglihatannya tanpa terlalu berkecendrungan untuk mempermasalahkannya.
Karya sastra (puisi) mempunyai peran aktif dalam membudayakan manusia dan
masyarakat. Karya sastra dapat memberikan pikiran dalam bentuk norma baik pada
jaman sejaman maupun generasi berikutnya.
Karya sastra adalah pencerminan kebudayaan manusia di dalam masyarakat
pada umumnya. Oleh karena itu, sastra diciptakan tidak saja diciptakan
bersumber dari pikiran, gagasan, pandangan, dan perasaan imajinatif pengarang,
melainkan didasarkan pada masalah hidup dan kehidupan yang pernah dialami dan
dirasakan.
Oleh karena itu sastra tidak tercipta begitu saja, tetapi melalui proses.
Penciptaan sastra di dalam menulis karyanya tidak asal jadi, tapi benar-benar
dikerjakan dengan maksimal, mengingat karya sastra yang dibuatnya bukan untuk
dirinya tetapi untuk masyarakat pada umumnya.
Dalam menciptakan sebuah karya sastra, khususnya puisi harus diketahui
apakah wujud puisi itu. Dikemukakan oleh Wellek, (Pradopo, 1997: 14) bahwa
puisi adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman. Setiap pengalaman
individual itu hanya sebagian saja yang dapat melaksanakan puisi, karena itu
puisi sesungguhnya harus dimengerti sebagai struktur karya seni yang harus
ditarik dari setiap pengalaman individu karya sastra dan bersama-sama.
Sebuah karya sastra pada dasarnya merupakan sebuah struktur yang
unsur-unsurnya terkait secara terpadu. Oleh karena itu, analisis yang terhadap
unsur-unsur yang terdapat dalam karya puisi itu tidak mungkin dilakukan tanpa
mengaitnya dengan keseluruhan karya sastra itu sendiri. Analisis unsur-unsur
harus diletakkan dalam konteks karya sastra sebagai karya sastra yang padu,
yang tidak terbelah-belah.
Sebuah puisi perlu ditelaah terlebih dahulu sebagai sebuah struktur yang
bermakna dan bernilai estetis (Pradopo, 1997: 13). Hal ini berarti bahwa dalam
suatu telaah puisi, analisis struktural merupakan sesuatu yang utama.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa dalam suatu telaah
puisi, analisis struktur merupakan sesuatu yang utama. Lebih lanjut dalam
penganalisisan ini yang akan dibahas adalah sistem formalnya yaitu unsur gaya
bahasanya (personifikasi, metafora, repetisi, dan hiperbola).
1.2 Batasan
Masalah
Dalam penelitian Analisis Gaya Bahasa dalam kumpulan puisi Di Batas
Laut karya Eko Suryadi WS ini penulis membatasi masalah yang menjadi pokok
permasalahan dalam penelitian ini adalah unsur gaya bahasa personifikasi,
metafora, repetisi, dan hiperbola.
1. 3 Rumusan
Masalah
Dengan mengacu dan memperhatikan uraian yang diketengahkan pada latar
belakang di atas, terdapat ada dua permasalahan yang perlu dibahas dalam
penelitian ini, yaitu:
1.
Bagaimanakah struktur gaya bahasa
personifikasi, metafora, repetisi, dan hiperbola dalam kumpulan puisi Di
Batas Laut karya Eko Suryadi WS tersebut?
2.
Dari keempat gaya bahasa, gaya
bahasa apakah yang paling dominan dalam kumpulan puisi Di Batas Laut
karya Eko Suryadi WS tersebut?
1. 4 Tujuan
Penelitian
- Mendeskripsikan struktur gaya bahasa personifikasi, metafora, repetisi, dan hiperbola dalam kumpulan puisi Di Batas Laut karya Eko Suryadi WS.
- Mengemukakan gaya bahasa yang paling dominan dalam kumpulan puisi Di Batas Laut karya Eko Suryadi WS.
1. 5 Manfaat
Penelitian
beberapa manfaat yang dapat kita ambil atau kita peroleh adalah:
a)
Sebagai sumber pengetahuan tentang
puisi agar pembaca lebih mengetahui gaya bahasa yang terdapat dalam puisi,
b)
Sebagai sumber pengetahuan agar
pembaca lebih mengetahui makna yang tersirat dan tersurat dalam puisi, dan
c)
Sebagai bahan tambahan dalam mata
pelajaran puisi agar pembaca lebih menghayati dan mendalami gaya bahasa dalam
sebuah puisi maupun sebuah sajak.
BAB II
KERANGKA TEORI
2. 1
Hakikat Puisi
Kata puisi berasal dari kata Yunani poiesis yang berarti penciptaan.
Tetapi arti yang semula ini lama kelamaan semakin dipersempit ruang lingkupnya
menjadi hasil seni sastra, yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat yang
tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan kata-kata kiasan.
Dalam bahasa Inggris padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat
berhubungan dengan kata poet dan poen. Kata poet berasal dari kata Yunani yang
berarti membuat, mencipta. Dalam bahasa Inggris kata poet ini lama sekali
disebut maker. Dalam bahasa Yunani sendiri kata poet berarti orang yang
mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir menyerupai dewa atau
yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang mempunyai penglihatan
tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan seorang filsuf, negarawan, buruh,
orang yang dapat menembak kebenaran yang tersembunyi.
Kedua keterangan di atas lebih bersifat etimologis terhadap kata puisi.
Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas, kita masih membutuhkan keterangan
lain. Ralph Waldo Emerson memberi penjelasan bahwa puisi merupakan upaya abadi
untuk mengekspresikan jiwa sesuatu, untuk menggerakkan tubuh yang kasar dan
mencari kehidupan dan alas an yang menyebabkannya. Bukannya irama melainkan
argument yang membuat iramalah (ide atau gagasan) yang menjelmakan suatu puisi.
Sang penyair mempunyai suatu pikiran baru dia mempunyai suatu keseluruhan
pengalaman baru untuk disingkapkan, dia ingin mengutarakan kepada kita betapa
caranya pengalaman itu bersatu dengan dia dan semua orang yang akan mempunyai
pembenaran yang lebih kaya dengan pengalaman tersebut.
Ukuran satu-satunya untuk itu ialah rasa dengan intelek ataupun dengan
kesadaran, puisi itu hanyalah memiliki hubungan-imajinasi penulisannya. Kalau
tidaklah bersifat abstrak, maka puisi itu tidaklah mempunyai hubungan
apa-apapun baik dengan realita maupun dengan kebenaran.
Berdasarkan kedua sumber itu dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa
keduanya mempunyai pandangan yang berbeda terhadap puisi. Nyata bagi kita bahwa
bagi Emerson ide atau gagasan merupakan bagian vital dari puisi sedangkan bagi
Peo, yang merupakan unsur utama dari puisi adalah keselarasan atau
keharmonisan. Perbedaan pokok antara kedua sumber ini sebenarnya berakar pada
perbedaan konsepsi mereka mengenai puisi.
John Dryden mengatakan bahwa Poetry is articulate music dan Isaac Newton
mengatakan bahwa puisi adalah nada yang penuh keaslian dan keselarasan atau
poetry is ingenius fiddle- fiddle (Blair dan Chandler 1935 : 3). Bahwa hubungan
antara puisi dengan usik amat erat, kiranya tidak perlu diperdebatkan. Semua
orang tahu bahwa irama merupakan unsur utama puisi. Lagi pula salah satu maksud
utama puisi pada umumnya ‘bukan berbicara tetapi berdendang’ kepada para
penikmatnya.
Untuk memperoleh gambaran bagi kita betapa sulitnya memperoleh kata
sepakat untuk membatasi kata puisi itu disebabkan oleh perbedaan pandangan
serta konsepsi, maka ada baiknya kita terangkan tadi beberapa pendapat Samuel
Johnson berpendapat bahwa puisi adalah peluapan spontan dari perasaan-perasaan
yang penuh daya, dia bercikal-bakal dai emosi yang terpadu kembali dalam
perdamaian. Dan bagi Byron puisi merupakan larva imajinasi, yang letusannya
mencegah timbulnya gempa bumi, sedangkan bagi Percy Byssche Shelley puisi
adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling menyenangkan dari
pikiran-pikiran yang paling baik dan paling menyenangkan.
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa antara Samuel
Johnson dengan Percy B. Shelly terdapat kesejajaran, yaitu dalam hal bahwa
puisi itu adalah sesuatu yang menyenangkan, sekalipun cara atau kata-kata yang
mereka pergunakan untuk menyatakan hal itu agak berbeda. Di muka telah kita
utarakan sejumlah keterangan atau batasan, namun jelaslah bagi kita betapa sukarnya
memberi batasan yang tepat terhadap kata puisi tersebut. Namun demikian
bukanlah merupakan alasan bagi kita untuk mengatakan bahwa tidaklah mungkin
kita mendekati puisi itu dengan baik, sebab kita masih dapat melukiskan
sifat-sifat utamanya. Dengan mengetahui sifat-sifat utama tersebut maka lebih
terbukalah bagi kita jalan untuk mengerti bahkan juga menikmati serta menilai
sesuatu puisi.
I. A. Richards (1964: 617), seorang kritikus sastra yang terkenal telah
menunjukkan kepada kita bahwa suatu puisi mengandung makna keseluruhan yang
merupakan perpaduan dari tema penyair (yaitu mengenai inti pokok puisi itu), perasaan
(yaitu sikap sang penyair terhadap bahan atau obyeknya), nada (yaitu sikap sang
penyair terhadap pembaca atau penikmatnya), dan amanat (yaitu maksud atau
tujuan sang penyair).
Puisi merupakan bentuk karya sastra dan merupakan karya seni. Di dalam
kesusastraan haruslah memiliki seni. Tanpa fungsi seni suatu karya kebahasaan
tidak disebut karya sastra (seni).
Puisi sebagai karya sastra haruslah
memiliki unsur yang dominan, yaitu unsur estetiknya. Unsur-unsur keindahan ini,
merupakan unsur kepuitisan, misalnya persajakan, diksi, irama, dan gaya
bahasanya. Jenis-jenis gaya bahasa ini meliputi semua aspek bunyi, kata,
kalimat yang dipergunakan untuk mendapatkan efek tertentu.
Puisi merupakan sifat yang padat, maka
penyair memilih kata dengan kata akurat. Altenbernd (Pradopo, 1997: 316).
Dalam pemadatan, kata-kata hanya
diambil dari inti dasarnya. Imbuhan awalan, dan akhiran sering kali
dihilangkan. Hubungan antar kalimat tidak dinyatakan dengan jelas.
Puisi dari waktu ke waktu selalu
berubah. Hal ini disebabkan oleh selera dan perubahan konsep estetik. Akan
tetapi, yang tidak berubah adalah pengucapannya yang secara tidak langsung. Ketidaklangsungan
ekspresi disebabkan oleh penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan
arti. Rifaterre (Pradopo, 1997: 318).
2.2 Pengertian Gaya Bahasa
Gaya atau khususnya gaya bahasa
dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata
latin slilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan
alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak
pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka
style selalu berubah-ubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau
mempergunakan kata-kata secara indah.
Karena perkembangan itu, gaya bahasa atau style menjadi masalah atau
bagian dari fiksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian
kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Sebab itu, persoalan
gaya bahasa meliputi semua hierarki kebahasaan: pilihan kata secara individual,
frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara
keseluruhan. Malahan makna yang tersirat di balik sebuah wacana termasuk pola
persoalan gaya bahasa. Jadi jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak
hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak-corak tertentu,
seperti yang umum terdapat dalam karya sastra.
Walaupun kata style berasal dari bahasa Latin, orang Yunani sudah
mengembangkan sendiri teori-teori mengenai style itu. Ada dua aliran yang
terkenal, yaitu:
a)
Aliran Platonik: menganggap style
sebagai kualitas suatu ungkapan; menurut mereka ada ungkapan yang memiliki
style, ada juga yang tidak memiliki style.
b)
Aliran Aristoteles: menganggap
bahwa gaya adalah suatu kualitas berbahasa yang ada dalam tiap ungkapan.
Dengan demikian, aliran Plato mengatakan bahwa ada karya yang memiliki
gaya dan ada karya yang sama sekali tidak memiliki gaya. Sebaliknya, aliran
Aristoteles mengatakan bahwa semua karya memiliki gaya yang tinggi ada yang
rendah, ada karya yang memiliki gaya yang kuat ada yang lemah, ada yang
memiliki gaya yang baik ada yang memiliki gaya yang jelek.
Bila kita melihat gaya secara umum, kita dapat mengatakan bahwa gaya
adalah cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah laku,
berpakaian, dan sebagainya. Dengan menerima pengertian ini, maka kita dapat
mengatakan, cara berpakaiannya menarik perhatian orang banyak, cara menulisnya
lain daripada kebanyakan orang, cara jalannya lain dari yang lain, yang memang
sama artinya dengan gaya berpakaian, gaya menulis dan gaya berjalan. Dilihat
dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa
memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan
bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang
terhadapnya, semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian
diberikan kepadanya.
Akhirnya style atau gaya dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan
pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian
penulis (pemakai bahasa).
Gaya bahasa adalah bahasa indah yang dipergunakan untuk meningkatkan efek
dengan jalan memperkenalkan serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan
benda atau hal lain yang lebih umum. Dale (Tarigan, 1993: 112).
Bahasa yang menggunakan kata-kata yang bermakna konotasi yaitu yang
memiliki pengertian ganda. Oleh sebab itu, gaya bahasa dalam sebuah karya sastra
sangat penting untuk diselidiki.
Gaya bahasa merupakan suatu cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa
secara khas yang memperlihatkan kepribadian seseorang, baik penulis atau
pemakai bahasa.
2.3 Sendi Gaya Bahasa
Syarat-syarat manakah yang
diperlukan untuk membedakan suatu gaya bahasa yang buruk? Sebuah gaya bahasa
yang baik harus mengandung tiga unsur berikut: kejujuran, sopan-santun, dan
menarik.
a.
Kejujuran
Hidup manusia hanya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri
dan bagi sesamanya, kalau hidup itu
dilandasi pada sendi-sendi kejujuran. Kejujuran adalah suatu pengorbanan,
karena kadang-kadang ia meminta kita melaksanakan sesuatu yang tidak
menyenangkan diri kita sendiri. Namun tidak ada jalan lain bagi mereka yang
ingin jujur dan bertindak jujur. Bila orang hanya ingin mencari kesenangan
dengan mengabaikan segi kejujuran, maka akan timbullah hal-hal yang
menjijikkan.
Kejujuran dalam bahasa berarti: kita mengikuti aturan-aturan,
kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Pemakaian kata-kata yang
kabur dan tak terarah, serta penggunaan kalimat yang berbelit-belit, adalah
jalan yang mengundang ketidak jujuran. Pembicara atau penulis tidak
menyampaikan isi pikirannya secara terus terang, ia seolah-olah menyembunyikan
pikirannya itu di balik rangkaian kata-kata yang kabur dan jaringan kalimat
yang berbelit-belit tidak menentu. Ia hanya mengelabui pendengar atau pembaca
dengan menggunakan kata-kata yang kabur dan hebat agar bisa tampak lebih
intelek atau lebih dalam pengetahuannya. Di pihak lain, pemakaian bahasa yang
berbelit-belit menandakan bahwa pembicara atau penulis tidak tahu apa yang akan
dikatakannya. Ia mencoba menyembunyikan kekurangannya di balik berondongan
kata-kata hampa. Bahasa adalah alat untuk kita bertemu dan bergaul. Sebab itu,
ia harus digunakan pula secara tepat dengan memperhatikan sendi kejujuran.
b.
Sopan-santun
Yang dimaksud dengan sopan santun adalah memberi penghargaan atau
menghormati orang yang diajak bicara, khususnya pendengar atau pembaca. Rasa
hormat di sini tidak berarti memberikan penghargaan atau menciptakan kenikmatan
melalui kata-kata, atau menggunakan kata-kata yang manis sesuai dengan
basa-basi dalam pergaulan masyarakat beradab. Bukan itu! Rasa hormat dalam gaya
bahasa dimanifestasikan melalui kejelasan dan kesingkatan.
Menyampaikan sesuatu secara jelas berarti tidak membuat pembaca atau
pendengar memeras keringat untuk mencari tahu apa yang ditulis atau dikatakan.
Di samping itu, pembaca atau pendengar tidak perlu membuang-buang waktu untuk
mendengar atau membaca sesuatu secara panjang lebar, kalau hal itu bisa
diungkapkan dalam beberapa rangkaian kata.
Kalimat singkat sering jauh lebih efektif daripada jalinan yang
berliku-liku. Kesingkatan dapat dicapai melalui usaha untuk mempergunakan
kata-kata secara efisien, meniadakan penggunaan dua kata atau lebih yang
bersinonim secara longgar.
c.
Menarik
Kejujuran, kejelasan serta kesingkatan harus merupakan langkah dasar dan
langkah awal. Bila seluruh gaya bahasa hanya mengandalkan kedua atau ketiga kaidah
tersebut di atas, maka bahasa yang digunakan masih terasa tawar, tidak menarik.
Sebab itu, sebuah gaya bahasa harus pula menarik. Sebuah gaya bahasa yang
menarik dapat diukur melalui beberapa komponen, yaitu: variasi, humor yang
sehat pengertian yang baik tenaga hidup dan penuh daya khayal.
Penggunaan variasi akan menghindari monotoni dalam nada, struktur, dan
pilihan kata. Untuk itu, seorang penulis perlu memiliki kekayaan dalam
kosakata, memiliki kemauan untuk mengubah panjang pendeknya kalimat,
struktur-struktur bahasa. Humor yang sehat berarti gaya bahasa itu mengandung
tenaga untuk menciptakan rasa gembira dan nikmat. Imajinasi dan daya khayal
ialah pembawaan yang berangsur-angsur dikembangkan melalui pendidikan, latihan,
dan pengalaman.
2.4 Jenis-jenis Gaya Bahasa
2.4.1 Personifikasi
Personifikasi adalah gaya bahasa yang menjadikan benda-benda mati seolah-olah
bergerak dan hidup sebagaimana manusia. Tujuannya untuk menghidupkan suasana
dalam pembicaraan. Contoh : Gerimis belum berhenti berjalan.
2.4.2 Metafora
Metafora adalah gaya bahasa yang mempergunakan benda-benda tertentu
sebagai alat perbandingan dengan benda lain yang dimaksud. Benda yang digunakan
sebagai alat perbandingan itu mempunyai bentuk dan sifat yang sama dengan yang
dituju dalam pembahasan. Contoh : Dia bagaikan anjing.
2.4.3 Repetisi
Repetisi adalah pengulangan kata, pengulangan kata dimaksudkan untuk
mempertegas dan memperkuat apa yang dituju untuk mengidentifikasi sesuatu yang
dibahas. Contoh : Aku telah hadirkanmu di sini sobat.
2.4.2 Hiperbola
Hiperbola adalah gaya bahasa yang melebih-lebihkan pernyataan, biasanya
gaya bahasa ini menimbulkan kesan yang kurang simpatik pembaca. Di dalam hal
ini hiperbola yang menimbulkan kesan intensitas. Contoh : Ketika matahari
berlabuh di tanganku.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian Analisis Gaya Bahasa dalam Kumpulan Puisi Di Batas
Laut karya Eko Suryadi WS ini menggunakan pendekatan struktural
yakni sebuah pendekatan yang mengupas karya sastra berdasarkan struktur isi
yang ada dalam karya sastra. Dalam hal ini peneliti mengupas sebuah antologi
puisi yang membuat beragam tema yang ditulis Eko Suryadi WS, kemudian
memilah-milah struktur isi puisi, kemudian mengelompokkannya ke dalam empat
ragam gaya bahasa.
3.2 Metode Penelitian
Metode Deskriptif Analisis, yakni dengan cara mendeskripsikan
fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis.
3.3 Data dan Sumber Data
3.3.1 Data Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, data
yang dikumpulkan dalam penelitian tentang ragam gaya bahasa personifikasi,
metafora, repetisi, dan hiperbola yang terdapat dalam kumpulan puisi Di
Batas Laut karya Eko Suryadi WS.
3.3.2 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah
45 puisi dari kumpulan Di Batas Laut karya Eko Suryadi WS. Puisi-puisi
yang dijadikan data tersebut adalah:
1.
Gerimis Kecil
2.
Senja Putih
3.
Pembakaran
4.
Lewat Tengah Malam
5.
Sebelum Tidur Berangkat
6.
Keranda Sepi
7.
Sebelum Mimpi Berangkat
8.
Sajak Nomor 98
9.
Ada Yang Mengiris Luka
10. Nyanyian Purba Dari Tanah Kelahiran
11. Mash ingin Kutanyakan
12. Lagu Musim Semi
13. Luka Menganak Sungai Di Dada Seorang Lelaki
14. Bayang-Bayang Malam
15. Akan Turun Hujan
16. Kabar Dari Tumpah Darah
17. Catatan 28 Juni 1993
18. Pesta Sebuah Jalan Bebas Waktu Sepanjang 46 Kilometer
19. Mengenang Perjalanan Jingga Di Pantai Pasir Pagatan
20. Tanah Bunda
21. Adakah Engkau Utusan Itu
22. Tergambarlah
23. Dalam Do’a
24. Ulang Tahun
25. Dan Sepi Adalah
26. Ombak Yang Turun Malam Ini
27. Sajak Putih
28. Pelayaran Kembali
29. Di Jalan-jalan Sepi Berkeliaran
30. Pada Sebuah Mesjid
31. Tentang Sebuah Warna
32. 1981
33. Hari pun Berjalan Seperti Jarum Jam
34. Dialog
35. Wajah-Wajah Di Balik Kefanaan
36. Sajak Samar
37. Waktu Ke Waktu
38. Tergambarlah
39. Laut
40. Ulang Tahun
41. Tamu
42. Catatan Sebelum Tidur
43. Ombak Yang Turun Malam Ini
44. Biarkan Do’aku Mengalir
45. Sajak Putih
3.4 Teknik Penelitian
3.4.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian adalah teknik observasi teks, yaitu mengumpulkan data
yang diambil dalam antologi puisi Di Batas Laut karya Eko Suryadi WS.
Data tersebut berupa gaya bahasa personifikasi, metafora, repetisi dan
hiperbola yang ada dalam puisi tersebut.
3.4.2 Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, kegiatan
selanjutnya adalah melakukan analisis data, maka teknik yang digunakan dalam
analisis data yaitu deskriptif interpretatif, yaitu penelitian yang
memaparkan data secara keseluruhan terlebih dahulu, kemudian
menginterpretasikannya dengan baik.
2 komentar:
who wrote this article. the ori one?
sorry..i'am not write this article...just type it...hehehe
Posting Komentar