• Breaking News

    DASAR-DASAR TEORI WUJUD IBNU ‘ARABI


    DASAR-DASAR TEORI WUJUD IBNU ‘ARABI

    BAB I
    PENDAHULUAN
    A.    Latar Belakang Masalah
    Di dalam Islam, sufisme memberi makna isoteris yang melandasi formalisme. Mengkaji tasawuf berarti mempelajari dimensi-dimensi isoterik dari sebuah bangunan kepercayaan, sehingga sebuah agama (Islam) dapat dipandang secara utuh dan universal, bukan sekedar dogma-dogma yang mengukung tanpa makna. Apabila Islam dipisahkan dari aspek ini, maka hanya menjadi kerangka formal. Ibaratnya apabila kerangka tersebut tidak dibalut dengan daging dan kemudian dihidupkan sesungguhnya keindahan Islam tidak akan pernah ditemukan.
    Jika dulu Aristoteles mengklasifikasikan hal-hal dalam 10 kategori yaitu substansi, ruang, waktu, kualitas, kuantitas dan lain-lain kini manusia modern mereduksi dirinya menjadi satu kategori saja yaitu kuantitas. Nilai-nilai yang dianut manusia dalam menentukan keberhasilannya diukur dari hal-hal yang empirik, material dan bersifat biologis. Lalu bagaimana peran agama dalam menghadapi krisis spiritual dunia modern? Kenyataannya adalah meskipun agama tetap dipegang akan tetapi hanya menjadi kerangka formalitas yang tidak mempunyai makna dan kekuatan untuk mengatur roda kehidupan.  
    Adalah penting untuk menyadari bahwa spiritualitas tidak hanya sekedar bagian dari relitas manusia, tetapi spiritualitas adalah keseluruhan makna manusia. Keseluruhan integral ini adalah batu fondasi dari kesadaran diri, dan mencakup semua aspek khusus (manusia). Ia menjadi terlihat di dalam apa-apa yang kita ketahui dan pahami, di dalam bagaimana kita bertindak, berpikir, dan merasakan. Singkatnya kita adalah makhluk spiritual dan keseluruhan dari apa yang disebut dengan dunia material diruhanikan. Kita harus hati-hati terhadap pemikiran yang menganggap spiritualitas hanya berhubungan dengan salah satu fakultas dalam diri kita, atau sebagai sesuatu yang sepenuhnya berada di luar dunia ini, yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Kita juga harus berhati-hati agar tidak terjatuh ke dalam perangkap intelektual yang terlalu mudah memisahkan akal dari intuisi, kepala dari hati. Ini jauh dari realitas yang dijelaskan oleh Ibnu ‘Arabi. Bagi dia, setiap realitas dunia, atau setiap aspek dari dunia, hanya dapat dipahami dengan tepat melalui asal-usul spiritualnya. Ia  menghubungkan setiap realitas keduniawian dengan prinsip ilahiahnya, dan karena itu menempatkan segala sesuatu di tempat yang sebenarnya.[1]
    Dengan demikian pengkajian terhadap nilai-nilai spiritual sekaligus filosofis diharapkan mampu menghidupkan kembali eksistensi kemanusiaan kita yang nyaris terlupakan. Sebagai salah satu upaya memenuhi kebutuhan rohani di tengah peradaban moderen yang gersang. Selain itu dimaksudkan untuk melestarikan pemikiran-pemikiran paratokoh islam dengan mencari sisi-sisi positif yang mungkin untuk dipertimbangkan dalam menghadapi zaman global.
    Di dunia tasawuf dikenal banyak memiliki konsep tentang Al-Wahdah, seperti Al-Wahdat Al-Ummah, Al-Wahdat Al-Wujud, Al-Wahdat Al-Adyan, dan sebagainya. Ibnu Arabi sangat sering dikenali sebagai penerus pertama doktrin wahdat al-wujud “Kesatuan Tuhan” atau “Kesatuan Eksistensi”. Sesungguhnya karya yang khusus menampilkan sudut pandangnya kebanyakan bukan isi dari tuilisan-tulisanya, namun karena perhatian para pengikutnya dan arah pemikiran Islam yang berkembang setelah dirinya.
    Istilah wujud secara tipikal diterjemahkan dalam bahasa inggris dengan Being atau Existence, dan ini lazim seperti keadilan yang sering digunakan dalam Filsafat Islam maupun Kalam (Teologi Dogmatis). Namun, pengertian dasar dari istilah tersebut adalah “menemukan” (finding) atau “ditemukan” (to be Found), kata wujud merupakan bentuk masdar dari kata wajada (menemukan) atau wujida (ditemukan) yang berasal dari kata wajada.

    B.Rumusan Masalah
    Dari latar belakang di atas penulis merumuskan beberapa rumusan masalah :
    1.      Biografi Ibn ‘Arabi
    2.      Makna Wahdah al-Wujud
    3.      Dasar-dasar teori Ibnu ‘Arabi tentang Wahdah al-Wujud




    BAB II
    PEMBAHASAN
    DASAR-DASAR TEORI WUJUD IBNU ‘ARABI
    A.    Biografi Ibnu ‘Arabi
    Nama lengkap Ibnu ‘Arabi adalah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah al-Hatimi. Ia keturunan dari Abdulah bin Hatim saudara Adiy bin Hatim dari kabilah Thai. Kuniahnya adalah Abu Bakar dan laqab (julukannya) adalah Muhyiddin. Ia juga populer dengan sebutan Al-Hatimi dan dengan sebutan Ibnu Arabi (tanpa “al”) untuk membedakannya dengan Qadhi Abu Bakar ibn al-Arabi. Mendapat gelar Syaikh al Akbar (Doktor Maximus). Lalu banyak penulis yang menggabungkan dua gelar itu menjadi : Syaikh al Akbar Muhyidin Ibnu Arabi. Ibnu Arabi lahir pada hari Senin tanggal 17 Ramadhan 560 H bertepatan dengan 28 Juli 1165 M di Murcia, Spanyol bagian tenggara, Andalusia[2].
    Ibnu ‘Arabi berasal dari keluarga kaya, terpandang dan keluarga yang penuh dengan ketaqwaan.  Ibnu ‘Arabi memiliki dua paman yang sangat zuhud, yaitu Yahya, seorang paman yang rela meninggalkan jabatannya sebagai pejabat kemudian berusaha mencari kayu ke hutan dan menjualnya untuk keperluan sehari-hari. Dan Abu Muslim al-Khaulani seorang yang selalu beribadah di malam hari.[3]Ayahnya -Ali bin Muhammad- termasuk salah seorang ahli fiqh dan hadits, juga seorang sufi yang zuhud dan bertaqwaAyahnya adalah orang shalih yang senantiasa tekun membaca Al-Qur’an dan memiliki beberapa karamah, di antara karamahnya adalah bahwa ia tahu hari meninggalnya sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Arabi dalam kitabnya Al-Futuhat Al-Makiyah.
    Semasa remajanya, seperti remaja-remaja lain, ia juga punya waktu untuk bersenang-senang selain dari waktu belajarnya.[4] Pada satu masa ketika ia lagi bersenang-senang di Sevilla, dia telah mendengar suara yang memanggilnya beliau, “Hai Muhamad, bukan untuk ini kamu diciptakan.” Ia menjadi gelisah dan penasaran dengan pengalaman ini. Dalam kegelisahan itu, ia melarikan diri dan menyendiri untuk beberapa hari di sebuah tempat pekuburan. Di situlah Ibn ‘Arabi mengalami tiga musyahadah yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan spiritual masa depannya. Dia telah bertemu Nabi Isa, Musa, dan Muhammad—yang telah memberi instruksi spiritual untuknya.[5]
    Pada umur delapan tahun, Ibn ‘Arabi meninggalkan kota kelahirannya dan berangkat ke Lisbon, untuk menerima pendidikan agama Islam pertamanya, yaitu membaca al-Qur’an dan mempelajari hukum-hukum Islam dari Syekh Abu Bakar bin Khalaf, kemudian ia pindah ke Seville yang saat itu merupakan pusat sufi Spanyol dan menetap di sana selama tiga puluh tahun untuk mempelajari hukum, hadits, teologi Islam, serta banyak belajar dari ulama-ulama dalam mempelajari tasawuf. Ia belajar tasawuf kepada sejumlah sufi terkenal seperti Abu Madyan al-Gauts at-Talimsari, dan melanglang buana ke berbagai negeri seperti Yaman, Syiria, Irak, Mesir, dan akhirnya pada tahun 620 H, ia menetap di Hijaz hingga akhir hayatnya.
    Ketika ia berusia 30 tahun ia mulai berkelana ke berbagai kawasan Andalusia dan kawasan islam bagian barat. Diantara guru-gurunya adalah Abu Madyan al-Ghoust al-Talimsari seorang pendiri aliran tasauf dan Yasmin musaniyah. Keduanya banyak dipengaruhi ajaran-ajaan Ibn ‘Arabi. Dikabarkan juga bahwa dia pernah ketemu dengan ibn Rusyd. Filosof murni dan tabib istana dynasty barbar dari Alomohad di kordova.[6] Dan pertemuan Ibn ‘Arabi dengan Ibn Rusyd termasuk pertemuan yang luar biasa bagi ibn Arabi. Setelah pertemuannya dengan Ibnu Rusyd dan mengalami pencerahan spiritual, pada tahun 580 H (1184), Ibn’ ‘Arabi mengundurkan diri dari ketentaraan dan segala urusan duniawi yang dimilikinya. Ia juga telah dikabarkan mengunjungi Al-mariyyah yang menjadi pusat madrasah ibn Masarrah seorang sufi falsafi yang cukup berpengaruh dan mempunyai banyak masalah di Andalusia, di antara karya monumenalnya yaitu al-futuhat al-makkiyah yg ditulis pada tahun 1201 H. Tatkala ia sedang menunaikan ibadah haji. Karya lainnya yaitu Turjumân al-Asyuwaq yang ditulisnya untuk mengenang kecantikan, ketakwaan, dan kepintaran seorang gadis cantik dari keluarga seorang sufi dari Persia.[7] tapi sebenarnya karya itu merupakan ungkapan cintanya kepada Sang Pencipta.[8] 

    B.     Dasar-dasar Teori Wujud Ibnu ‘Arabi
    1.       Makna Wahdah al-Wujud
    Sebelum melangkah pada pembahasan mengenai konsep waĥdatul wujūd, sebaiknya yang pertama kali kita uraikan adalah istilah kuncinya, yakni wujūd. Banyak penulis merasa kesulitan dalam menemukan suatu terjemah yang tepat bagi kata wujūd.[9] Kebanyakan dari mereka lebih memilih tidak menerjemahkan istilah ini ke dalam kata yang pendek atau singkat. Mereka tetap menggunakannya dengan terlebih dahulu diberi penjelasan panjang lebar, sebagai konsep yang independent maupun digunakan sebagai bahasa teknis yang disesuaikan dengan konteksnya.
    Kata wujūd mempunyai pengertian obyektif sekaligus subyektif.[10] Dalam pengertian obyektif, kata wujūd adalah masdar dari wujida yang artinya “ditemukan”. Dalam pengertian ini biasanya wujūd diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi being atau existence atau “ada” dan di dalamnya terdapat aspek ontologis[11],sedangkan dalam pengertian subyektif wujūd adalah masdar dari wajada yang berarti “menemukan”. Biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi finding dan di dalamnya terdapat aspek epistemologis[12] dalam sistem Ibnu ‘Arabi, kedua aspek ini menyatu secara harmonis.[13] Pada satu fihak, wujūd atau satu-satunya wujūd adalah “menemukan” Tuhan yang dialami oleh Tuhan sendiri dan para pencari rohani. Orang-orang yang “menemukan” Tuhan oleh Ibnu ‘Arabi disebut sebagai ahlu kasyf wal wujūd(orang-orang yang menyingkap dan menemukan).[14]
    Ketika Ibnu ‘Arabi berbicara tentang sesuatu yang spesifik atau suatu ide yang dapat didiskusikan, dia menggunakan term eksistensi yang artinya sesuatu itu ada dan dapat ditemukan. Dalam pengertian ini kita dapat mengatakan bahwa Tuhan mewujud atau “Tuhan ada dan ditemukan”[15]
    Seperti hubungan antara timur dan barat, depan dan belakang, jika wujūd diartikan sebagai “yang ada” atau eksistensi, kita akan dihadapkan pada konsekwensi logisnya yakni ‘adam, “ketiadaan” atau non eksistensi. Hubungan wujūd dengan ‘adam dinisbatkan secara mutlak oleh Ibnu ‘Arabi sebagai hubungan antara cahaya dan kegelapan. Wujūd adalah cahaya dan ‘adam adalah kegelapan, karena itu wujūd atau cahaya adalah milik Tuhan sedangkan ‘adam atau kegelapan adalah milik alam atau kosmos.[16]
    Pengertian wujūd yang senada juga telah dikemukakan oleh A E. Affifi yakni (a) wujūd sebagai suatu konsep : ide tentang wujūdeksistensi atau wujūd bil ma’na al masdari, (b) wujūd berarti yang mempunyai wujud, yakni yang ada atau yang hidup atau wujūd bil ma’na maujūd.[17]
    Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan sedang al-wujud artinya ada.[18] Dengan demikian wahdat al-wujud berarti kesatuan wujud.
    Harun nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan mengatakan bahwa paham wahdat al-wujud nasut yang sudah ada dalam hulul diubah menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (tuhan).Aspek yang sebelah luar disebut khalq dan aspek yang di sebelah dalam disebut haqq.[19]
    Persepsi tentang waĥdatul wujūd dapat dianalogikan dengan apa yang kita pahami ketika ada sorot cahaya menembus sebuah prisma : sekalipun terdapat banyak warna cahaya yang berbeda, namun kita memahaminya hanya berupa cahaya, karena hanya cahayalah yang eksis. Ibnu ‘Arabi mengatakan bahwa wadah manifestasi Tuhan bersifat jamak karena keanekaragaman sifat-sifat dan efek yang ditampilkan. Namun mereka satu, karena kesatuan wujud yang menjelmakan di dalamnya. Kesatuan muncul dalam manifestasi wujud (segala sesuatu), sementara keragaman bersemayam dalam entitas-entitas yang tidak memiliki eksistensi sendiri. Oleh karena itu, Tuhan dalam keesaan-Nya adalah identik dengan wujud dari segala sesuatu, tetapi Dia juga tidak identik dengan segala sesuatu itu.[20]

    2.      Dasar-dasar Teori Wujud Ibnu ‘Arabi
    Dalam membangun doktrin waĥdatul wujūdnya, Ibnu ‘Arabi mendapat pengaruh dari prinsip-prinsip emanasi dan hirarki Neoplatonisme. Meskipun keduanya tidak dapat dikatakan identik –karena Ibnu ‘Arabi sangat ekletik terhadap sumber lain– tetapi pengaruh itu diakui tetap ada.
    Ada kesamaan yang mendasar antara pemikiran Plotinus tentang The One dengan pemikiran Ibnu ‘Arabi tentang waĥdatul wujūd. Seperti filsafat pada umumnya, keduanya membicarakan seputar tema yang mencakup Tuhan, alam, manusia dan bagaimana bentuk hubungan antara ketiganya. Kesamaan yang mendasar dari keduanya adalah bahwa antara Tuhan, alam dan manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, hal ini terlepas dari perdebatan mengenai istilah panteisme dan monisme. Namun yang membedakan keduanya adalah bagaimana bentuk hubungan tersebut sehingga ketiganya disebut sebagai satu kesatuan.
    Intisari dari seluruh sistem Ibnu ‘Arabi adalah satu realitas yang mengungkapkan atau memanifestasikan dirinya dalam bentuk-bentuk yang tidak terbatas, bukan realitas yang memunculkan atau melahirkan atau mengemanasikan sesuatu seperti halnya dalam pemikiran Plotinus[21] dalam Waĥdatul wujūd, segala sesuatu yang maujud adalah pantulan dari wujūd mutlak, oleh karena itu sifat kesempurnaan dalam setiap pantulan sesuai dengan urutan-urutan kejadiannya atau sesuai dengan jauh dekatnya jarak dari wujūd mutlak, Ibnu ‘Arabi menamakan ini sebagai Tajalliyat. Jadi, adanya keanekaragaman termasuk alam dan manusia, merupakan hasil dari pengejawantahan atau tajalli Tuhan dan bukan dari proses emanasi.[22]
    Meskipun dalam hal penggunaan terminologi, Ibnu ‘Arabi sering mengikuti Plotinus[23],tetapi doktrin emanasi Neoplatonisme diartikan oleh Ibnu ‘Arabi dengan caranya sendiri yang sama sekali lain dari yang dimaksudkan oleh Plotinus. Pada doktrin emanasi Neoplatonik, pergerakan terjadi secara progresif menurut garis lurus atas ke bawah. Pergerakan itu merupakan rangkaian emanasi-emanasi yang tiap anggota secara misterius menciptakan anggota baru. Hasil dari ciptaan itu bersifat lebih rendah dan mencerminkan kesempuranaan dari yang lebih tinggi[24]. Berbeda  dengan pandangan Ibnu ‘Arabi yang menganggap adanya intelek pertama, jiwa universal dan tubuh universal sebagai hasil dari cara yang berbeda-beda dalam pengungkapan diri dari yang satu, bukan berada dalam satu garis lurus yang hirarkis. Tajalli adalah manifestasi diri yang abadi tanpa akhir, kadang sebagai esensi dan kadang sebagai suatu bentuk atau form.[25]
    Bedanya hirarki martabat wujud ini dari tiga hipotesis Plotinus terletak pada alam empiris. Jika dalam sistem Ibnu ‘Arabi alam empiris atau materi merupakan anggota penuh dari hirarki tajalli, sedangkan menurut Plotinus alam empiris atau materi tidak termasuk tritunggalnya, karena baginya materi merupakan prinsip kegelapan dan sumber kejahatan.[26]
    Ada hal lain yang membedakan antara emanasi Plotinus dengan tajalliyat Ibnu ‘Arabi. Dalam emanasi Plotinus, lahirnya hipostatis kedua dan ketiga sampai akhirnya melahirkan materi adalah suatu keniscayaan yang begitu saja terjadi, tanpa terencana dan kehendak.[27] Sedangkan menurut Ibnu ‘Arabi terjadinya tajalli atau pengejawantahan Tuhan melalui kosmos disebabkan oleh kehendak-Nya.
    Dalam sistem Ibnu ‘Arabi, wujud pada hakikatnya adalah satu, yakni wujud mutlak (Allah) dan wujud mutlak ini bertajalli dalam tiga martabat. Dalam tiga martabaat inilah Ibnu ‘Arabi sedikit meniru gaya Plotinus yaitu menyusun tiga hipotesis secara hirarkis. Tiga martabat tersebut adalah :
    1.        Martabat Aĥadiyyah atau Dzatiyyah, yakni bahwa wujud Allah merupakan Dzat yang mutlak lagi mujarrad, atau tidak terbayangkan. Merupakan The One dalam filsafat Neoplatonisme.
    2.        Martabat Waĥidiyyah, disebut juga martabat tajalli dzat atau fayd al aqdas (limpahan paling kudus). Dzat yang mujarrad bertajalli melalui sifat dan asma. Dengan tajalli ini Dzat tersebut menjadi pengikat sifat-sifat dan nama-nama yang maha sempurna (asma’ul husna). Tetapi sifat dan nama  tersebut berada dalam satu sisi yang tidak berlainan atau identik dengan Dzat Allah. Inilah a’yan tsabitah atau mafātiĥ al ghaib.
    3.        Martabat tajalli Syuhudi. Disebut juga Fayd muqaddas (limpahan kudus/ kedua) atau kenyataan kedua. Allah bertajalli melalui asma dan sifat-Nya dalam keadaan kongkrit. Dengan perkataan lain melalui firman-Nya, maka a’yan tshabitah yang dulunya merupakan wujud potensial dalam Dzat ilahi, kini menjadi kenyataan aktual dalam berbagi citra alam empiris. Alam empiris ini merupakan wadah atau mazhar tajalliillahi dalam berbagai wujud atau bentuk yang tiada akhir.[28]
    Ibnu Arabi memandang bahwa hakikat wahdatul wujud merupakan sebuah perkara yang sangat agung dan "thuri warai thur akal"[29] yang membuat orang-orang berakal takjub dan mereka membutuhkan (media) pengenalan yang lebih tinggi untuk memahami hal ini. Ia meyakini bahwa akal tidak dapat diandalkan untuk menyerap hakikat wahdatul wujud. Lantaran Allah Swt pada tingkatan penampakan (zhuhur) adalah identik dengan segala sesuatu. Namun Dia tidak identik dengan segala sesuatu pada tataran esensi (zat). Perkara agung ini bukan sekedar sepintas kontradiksi, melainkan benar-benar kontradiksi; lantaran apabila kontrakdiksi hanya tampak secara lahir maka setelah kontradiksi ini dapat diatasi maka ia tidak lagi agung dan tidak lagi membuat orang-orang takjub.
    Ibnu Arabi mengatakan, "Mengungkapkan hal ini benar-benar pelik. Lantaran kata-kata tidak mampu mengekspresikannya. Dan karena perubahan dan kontrakdiksi pada hukum-hukumnya maka benak tidak dapat merekamnya. Masalah ini seperti pada firman Allah Swt yang menyatakan: "Wama ramaita idz ramaita." (Kalian tidak melempar (pengingkaran) tatkala kalian melempar (penetapan)."[30]
    Apa yang telah diuraikan di atas adalah beberapa penjelasan dan ungkapan Ibnu Arabi terkait pembahasan wahdatul wujud yang menjadi fokus utama kajian irfan teoritis.


    BAB III
    PENUTUP
    A.    Simpulan
    Ibnu ‘Arabi adalah tokoh pemikir yang mengangkat problem metafisika dengan menggunakan kerangka sufistik, memandangnya melalui dzauq dan menguraikannya dengan akal murni, sehingga apa yang diungkapkannya bersifat hakikat. Baginya hakikat adalah wujūd dan wujūd adalah satu. Kalaupun nampak keanekaragaman, itu hanyalah akibat dari keterbatasan indera dan rasio manusia dalam menangkap hakikat yang satu. Disamping banyak yang mengecamnya banyak pula para penulis tidak keberatan untuk mengatakan bahwa rumusan pemikiran dari Kesatuan Wujud mengandung kedalaman, kejernihan dan kehalusan yang tidak tertandingi. Prinsip ini bukan sekedar apresiasi dari ide intelektual seorang tokoh genius, melainkan usaha pencarian makna hidup yang harus diungkapkan dan diaktualisasikan. Waĥdatul wujūd tidak dapat disejajarkan dengan kepercayaan kepada Yang Esa dalam konteks agama Ibrahim tertentu. Prinsip ini bersifat absolut di luar pertentangan, meliputi semua kepercayaan dan doktrin. Prinsip tersebut muncul dalam segala sesuatu namun tidak terkandung di dalam segala sesuatu.
    B.     Kritik dan Saran
    Penulis mengetahui dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan ketidak sempurnaan,untuk itu penulis memohon kepada pembaca memberikan kritik dan saran yang membangun, agar dalam penulisan selanjutnya bisa lebih baik lagi.


    DAFTAR PUSTAKA
    ‘Arabi, Ibnu al. Futtuhat al Makiyyah. ed : Usman Yahya. Kairo, 1979.
    Abdurrahman Badawi, Ibnu ‘Arabi Hayatuhu wa Mazdhabuhu (Mesir, Maktabah al-Anjalu al-Mhisriyyah, 1965
    Affifi, A.E. Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi. terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman. Jakarta : Gaya Media Pratama, 1995.
    Austin, R.W.J. Sufi-sufi Andalusia. terj. M.S. Nasrullah. Bandung : Mizan : 1994.
    Daudy, Ahmad. Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nuruddin Ar Raniri. Jakarta : Rajawali Perss, 1983.
    Hirtenstein, Stephen. Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaik al Akbar Ibn ‘Arabi. terj. Tri Wibowo B.S. Jakarta : Murai Kencana, 1999.
    Kautsar Azhari Noer, Ibn Al’Arabi, Waĥdatul wujūd dalam Perdebatan (Jakarta : Paramadina,1995 )
    Mahmud Yunus, kamus arab indo (Jakarta: Hidakarya agung, 1990),           
    Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1995
    smani, Rofi’. Tokoh-tokoh Muslim Pengukir Zaman. Bandung : Penerbit Pustaka, 1998.
    Supandi Djoko Damono, (Pustaka Firdaus, 1975),




    [1] Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, Ajaran dan Kehidupan Spiritual Syaikh Al Akbar Ibnu ‘Arabi, terj. Tri Wibowo (Jakarta : Murai Kencana 2001) h. 9.
    [2] Abdurrahman Badawi, Ibnu ‘Arabi Hayatuhu wa Mazdhabuhu (Mesir, Maktabah al-Anjalu al-Mhisriyyah, 1965), h. 5.
    [3] Ibid. h. 7.
    [4] Hal ini sangat mungkin baginya karena Muhyiddin berasal dari keluarga ningrat dan kaya. Pada usia delapan tahun, ia dan keluarganya pindah dari Murcia ke Sevilla, ibukota Andalusia saat itu. Di Sevilla, ayahnya bekerja pada Sultan Abu Ya’qub (Addas, 2004) h. 50.

    [5] Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, h. 67-8.
    [6] Supandi Djoko Damono, (Pustaka Firdaus, 1975), h. 23.
    [7] Ibid, h. 23.
    [8] A. Rofi’ Usmani, Tokoh-tokoh Muslim Pengukir Zaman (Bandung : Penerbit Pustaka, 1998),h. 30
    [9] Kautsar Azhari Noer, Ibn Al’Arabi, Waĥdatul wujūd dalam Perdebatan (Jakarta : Paramadina,1995 ) h. 17.
    [10] Stephen Hirtenstein, Dari Keragaman ke Kesatuan Wujud, h. 67.
    [11] Ibid, h. 52.
    [12] Stephen Hirtenstein, Ibid., h. 52. Dikutip dari G. Elmore, On the Road. Seperti diceritakan Ibnu ‘Arabi kepada Ibnu al Sha’ar (1197-1256).
    [13] A. Rofi’ Usmani, Tokoh-tokoh Muslim Pengukir Zaman (Bandung : Penerbit Pustaka, 1998) h. 30.
    [14] Karya Ibnu’Arabi mengenai kehidupan dan ajaran para sufi sezamannya adalah Ruh al Quds dan Al Durrah al Fakhirah. Nama Madyan disebut berkali-kali dalam Ruh al Quds.
    [15] Lihat RWJ Austin, Sufi-sufi Andalusia. Diterjemahkan dari Ruh al Quds dan Al Durrah al Fakhirah, terj. MS. Nasrulloh (Bandung : Mizan, 1994) hlm. 148 –149.
    [16] A. Rofi’Usmani, Tokoh-tokoh Muslim Pengukir Zaman (Bandung : Penerbit Pustaka, 1998) h. 30.
    [17] A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman (Jakarta : GMP, 1995) h. 14.
    [18] Mahmud Yunus, kamus arab indo (Jakarta: Hidakarya agung, 1990), h. 492 dan 494.
    [19] Harun Nasution, Filsafat  dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet III, h. 92.
    [20] William C. Chittick, Dunia Imajinal, h. 32.
    [21] A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman (Jakarta: GMP, 1995) h. 93
    [22] Ibid, h. 93
    [23] Selain menggunakan sinonim zuhur, tanazzul dan fath untuk tajjali, Ibnu ‘Arabi juga menggunakan terminologi Plotinus emanasi (fayd) dengan maksud berbeda. Lihat Kautsar Azhari Noer, Ibn al ‘Arabi, Waĥdatul Wujūd dalam Perdebatan (Jakarta : Paramadina, 1995) hlm. 57.
    [24] A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman (Jakarta: GMP, 1995) h. 91.
    [25] Ibid h. 92.
    [26] Enneads I, 8, 14 dikutip oleh Ian Richard Netton, h. 41.
    [27] Enneads II, 2, 2 dikutip oleh Ian Richard Netton, ibid.
    [28] Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam Konsepsi Syekh Nurudding Ar Rini(Jakarta : Rajawali Perss, 1983) h. 203. Menurut Kautsar, martabat ke 2 dan ke 3 disebut dua tipe utama emanasi, yaitu emanasi paling suci dan emanasi suci. Lihat Kautsar,  hlm. 62.
    [29]Ibn Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyah, jil. 2, h. 484.
    [30] Ibn Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyah, jil. 1, h. 289.

    Tidak ada komentar:

    Makalah

    Skripsi

    Tesis