PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Allah
menurunkan al-qur’an kepada hamba-Nya agar ia menjadi pemberi peringatan bagi
semesta alam. Ia menggariskan bagi makhluk-Nya akidah yang benar dan
prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayat yang tegas keterangannya dan jelas
ciri-cirinya. Itu semua merupakan karunia-Nya kepada ummat manusia, dimana
ditetapkan bagi mereka pokok-pokok agama untuk menyelamatkan akidah mereka dan
menerangkan jalan lurus yang harus mereka tempuh. Ayat-ayat tersebut adalah
ummul kitab yang tidak diperselisihkan lagi pembahasannya demi menyelamatkan
ummat islam dan menjaga eksistensi-Nya.
Allah
swt.berfirman:
كِتَابٌ فُصِّلَتْ آَيَاتُهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ
يَعْلَمُونَ (3)
Artinya: kitab
yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa arab, untuk kaum yang
mengetahui. (Fushshilat: 3)
Allah menurunkan
al-qur’an sebagai pegangan hidup ummat manusia. Didalamnya terdapat banyak ayat
terkait keyakinan, batasan halal-haram, tata cara pergaulan, dan lain-lain. Ayat-ayat Al
Qur’an yang terkandung dalam Al Qur’an adakalanya berbentuk lafaz, ungkapan,
dan uslub yang berbeda tetapi artinya tetap satu, sudah jelas maksudnya ayat
yang sudah jelas tersebut, ada lagi ayat-ayat Al Qur’an yang bersifat umum dan
samar-samar yang menimbulkan keraguan bagi yang membacanya sehingga ayat yang
seperti ini menimbulkan ijtihad bagi para mujtahid untuk dapat mengembalikan
kepada makna yang jelas dan tegas.Kelompok ayat yang pertama, yang jelas
maksudnya itu disebut dengan Muhkam, sedangkan kelompok ayat yang kedua yang
masih samar-samar disebut dengan Mutasyabih.
Salah satu
persoalan ‘ulumul al-qur’an yang masih diperdebatkan sampai sekarang adalah
kategorisasi muhkam-mutsyabih tersebut. Telaah dan perdebatan seputar masalah
ini telah banyak mengisi lembaran khazanah keilmuan islam, terutama menyangkut
penafsiran al-qur’an. Perdebatan itu tidak saja melibatkan sarjana-sarjana
muslim karena sarjana-sarjana barat pun ikut mewarnainya.
Perbedaan pandangan
terhadap ayat mutasyabih akan memberikan dampak yang sangat berarti bagi
keimanan sesorang. Itulah pentingnya memiliki pengetahuan mengenai apa dan
bagaimana ayat yang muhman dan yang mutasyabih, agar kita terlepas dari
berbagai pemahaman yang salah, yang melenceng dari ahlussunnah wal jama’ah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian muhkam dan mutasyabih?
2.
Apa saja pendapat ulama tentang pengertian muhkam dan mutasyabih?
3.
Apakah sumber mutasyabih dalam al-Quran?
4.
Bagaimanakah sikap ulama terhadap ayat-ayat muhkam dan mutasyabih?
5.
Apa hikmah keberadaan ayat mutasyabih dalam al-qur’an?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Muhkam Dan Mutasyabih
Menurut
etimologi (bahasa) muhkam berasal dari kata-kata حكمت الدابة و أحكمته yang
artinya saya menahan binatang itu.al-hukmu berarti memutuskan antara dua
perkara.[1]
Muhkam berasal dari kata ihkam yang secara
bahasa berarti kekukuhan, kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan.Namun semua
pengertian ini pada dasarnya kembali kepada makna pencegahan. Ahkam Al Amr
berarti ia menyempurnakan suatu hal dan mencegahnya dari kerusakan. Ahkam Al
Faras berarti ia membuat kekang pada mulut kuda untuk mencegahnya dari
goncangan. Dalam Al Qur’an terdapat ayat yang menggunakan kata muhkam atau kata
jadiannya.
Allah SWT berfirman:
تِلْكَ آَيَاتُ
الْكِتَابِ الْحَكِيمِ
Artinya:Inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang
mengandung hikmah.(QS. Yunus: 1)
“Qur’an itu seluruhnya muhkam”, maksudnya
qur’an itu kata-katanya kokoh,
fasih (indah dan jelas) dan membedakan antara yang hak dengan yang batil dan
antara yang benar dengan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan al-ihkam
al-amm atau muhkam dalam arti umum.[2]
Mutasyabih
adalah ungkapan yang maksud makna lahirnya samar.[3]
Allah swt
berfirman:
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُتَشَابِهًا مَثَانِي….
Artinya:
Allah telah
menurunkan Perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya)
lagi berulang-ulang (az-zumar: 23)
Dengan
demikian, al-qur’an seluruhnya mutasyabih, maksudnya al-Qur’an itu sebagian
kandungannya serupa dengan sebagaian yang lain dalam kesempurnaan dan
keindahannya, dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula
maknanya. Inilah yang dimaksud dengan at-tasyabuh al-‘amm atau mutasyabih dalam
arti umum.[4]
B.
Pendapat Para
Ulama Tentang Muhkam dan Mutasyabih
Ada beberapa pengertian
yang dikemukakan oleh ulama tafsir mengenai Muhkam dan Mutasyabih.
1.
Menurut As
Suyuthi
Muhkam adalah sesuatu yang jelas artinya,
sedangkan Mutasyabih adalah sebaliknya, sesuatu yang belum jelas artinya.
2.
Menurut Imam Ar
Razi
Muhkam adalah ayat-ayat yang dalalahnya kuat
baik maksud maupun lafadnya, sedangkan Mutasyabih adalah ayat-ayat yang
dalalahnya lemah, masih bersifat mujmal, memerlukan takwil, dan sulit dipahami.
3.
Menurut Manna
Al Qaththan
Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat
diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan
Mutasyabih tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada
ayat lain.[5]
Dari pendapat-pendapat tentang ayat-ayat Al
Qur’an yang muhkamat dan mutasyabihat diatas dapat disimpulkan bahwa ayat
muhkamat adalah ayat yang sudah jelas baik kata-kata maupun maksudnya sehingga
tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi yang memahaminya.Ayat yang
muhkamat ini tidak memerlukan takwil karena telah jelas, lain halnya dengan
ayat-ayat mutasyabihat.
Ayat-ayat mutasyabihat ini merupakan kumpulan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an yang masih belum jelas maksudnya. Hal itu dikarenakan karena ayat mutasyabihat bersifat mujmal (global), ia memerlukan perincian yang lebih dalam. Selain bersifat mujmal (global), ayat-ayat tersebut juga bersifat muawwal sehingga karena sifatnya ini seseorang dapat mengetahui maknanya setelah melakukan pentakwilan.
Ayat-ayat mutasyabihat ini merupakan kumpulan ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an yang masih belum jelas maksudnya. Hal itu dikarenakan karena ayat mutasyabihat bersifat mujmal (global), ia memerlukan perincian yang lebih dalam. Selain bersifat mujmal (global), ayat-ayat tersebut juga bersifat muawwal sehingga karena sifatnya ini seseorang dapat mengetahui maknanya setelah melakukan pentakwilan.
Dalam salah
satu karyanya Syed Muhammad bin alwy al-maliki al-hasani, menyebutkan, bahwa
pendapat yang paling masyhur dan dianggap paling benar adalah pendapat ibnu
abbas, yang mengatakan bahwa ayat-ayat muhkam adalah menghapus (nasikh),
berbicara tentang halal-haram, ketentuan-ketentuan (hudud) kefarduan, serta
yang harus diimani dan diamalkan. Adapun ayat mutasyabih adalah ayat yang
dihapus (mansukh), yang berbicara tentang perumpamaan-perumpamaan (amtsilah),
sumpah (aqsam), dan yang harus diimani, tetapi
tidak harus diamalkan[6]
As Suyuthi dalam Kitab Al Itqan telah menyebutkan pendapat para
ulama tentang definisi muhkam dan mutasyabih[7]
antara lain sebagai berikut:
1.
Pertama, muhkam
adalah sesuatu/ayat yang yang jelas maknanya, sedang mutasyabih adalah
sebaliknya.
2.
Kedua, muhkam
adalah ayat yang mengandung satu wajah/segi, sedang mutasyabih adalah ayat yang
mengandung beberapa segi.
3.
Ketiga, muhkam
adalah ayat yang pengertiannya mudah diterima akal, sedang mutasyabih adalah
sebaliknya.
4.
Keempat, muhkam
adalah ayat yang jelas tanpa memerlukan takwil, sedang mutasyabih adalah ayat
yang tidak dapat diketahui kecuali dengan takwil.
5.
Kelima, muhkam
adalah ayat yang jelas dengan sendirinya, sedang mutasyabih adalah ayat yang
penjelasannya membutuhkan kembali kepada ayat yang lain.
Dari beberapa pendapat tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa ayat muhkamat ialah ayat yang sudah jelas pengertiannya,
mengandung satu arti, dan mudah diterima oleh akal dan tidak menerima takwil
dan takhsis (pengkhususan).Sedangkan ayat mutasyabihat ialah ayat yang tidak
jelas pengertiannya, menerima beberapa arti, dan ditakwilkan dengan
mengembalikan kepada ayat muhkam.
Al Zarqani mengemukakan beberapa definisi tentang ayat muhkamat dan
ayat mutasyabihat, sebagai berikut:
1.
Muhkam adalah
ayat yang jelas maksudnya lagi nyata, tidak mengandung kemungkinan nasakh.
Mutasyabih adalah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui maknanya
baik secara aqli maupun naqli, dan inilah yang ayat-ayat yang hanya Allah SWT
yang mengetahuinya, sepert datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang
terputus-putus di awal surat. Pendapat ini dibangsakan Al Alusi kepada
pemimpin-pemimpin madzhab Imam Hanafi.
2.
Muhkam adalah
ayat yang diketahui maksudnya, baik secara nyata maupun melalui takwil.
Mutasyabih adalah ayat yang hanya Allah SWT yang mengetahui maksudnnya.
Pendapat ini dibangsakan kepada ahli sunnah sebagai pendapat yang terpilih
dikalangan mereka.
3.
Muhkam adalah ayat
yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan makna takwil. Mutasyabih adalah
ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna takwil. Pendapat ini dibangsakan
kepada Ibn Abbas dan kebanyakan ahli Ushul fiqih yang mengikutinya.
4.
Muhkam adalah
ayat yang berdiri sendiri dan tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih adalah
ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan. Kadang-kadang
diterangkan dengan ayat atau keterangna tertentu dan kali lain diterangkan
dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena terjadi perbedaan dalam
pentakwilannya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad RA.
5.
Muhkam ialah
ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna
yang tetap tanpa pertentangan. Mutasyabih ialah ayat yang maknanya seharusnya
tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau
melalui konteksnya. Pendapat ini dibangsakan oleh Imam Haramain.
6.
Muhkam ialah
ayat yang jelas maknanya dan tidak masuk kepadanya isykal (kepelikan).
Mutasyabih ialah lawannya. Muhkam terdiri atas lafal nash dan lafal zahir.
Mutasyabih terdiri atas isim-isim musytarak (kata benda) dan lafal-lafal
mubhamah (samar-samar). Ini adalah pendapat Al Thibi.
7.
Muhkam adalah
lafal yang tunjukan maknanya kuat yaitu lafal nash dan lafal zahir. Mutasyabih
adalah ayat yang tunjukan maknanya tidak kuat yaitu lafal mujmal (bersifat
global dan memerlukan perincian), muawwal (lafal yang perlu ditakwil agar dapat
dipahami), dan musykil (maknanya pelik dan sulit diketahui). Pendapat ini
dibangsakan kepada Imam Al Razi.
C.
Sumber
Mutasyabihat Ayat-Ayat Al-Qur’an
Sumber tasyabuh atau mutasyabih adalah
ketersembunyian maksud Allah SWT dari kalam-Nya. Ketersembunyian sebagai sebab
mutasyabih itu dibagi menjadi tiga diantaranya adalah:
1.
Mutasyabih pada
lafal
Contoh pada lafal وفاكهة وأبا lafal أبّdisini
mutasyabih karena ganjilnya dan jarangnya digunakan.Kata أبّdiartikan
rumput-rumputan berdasarkan pemahaman dari ayat selanjutnya:
مَتَاعًا لَكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ
(“Untuk kesenanganmu dan untuk binatang
ternakmu”)
QS. ‘Abasa 80 : 32
2.
Mutasyabih pada
makna
Adalah ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Alah SWT seperti:
Adalah ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat-sifat Alah SWT seperti:
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
Artinya:
“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar Rahman 27)
“Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (QS. Ar Rahman 27)
يَدُ اللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ
Artinya:
“… tangan Allah di atas tangan mereka…” (QS. Al Fath 10)
dan lain-lain.
“… tangan Allah di atas tangan mereka…” (QS. Al Fath 10)
dan lain-lain.
3.
Mutasyabih pada
lafal dan makna
Contoh mutasyabih dari segi makna dan lafal adalah :
Contoh mutasyabih dari segi makna dan lafal adalah :
وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا
وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:
“… Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya.Akan tetapi kebaktian itu adalah kebaktian orang yang bertakwa.Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan betakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (QS. Al Baqarah 189)
“… Dan bukanlah kebaktian memasuki rumah-rumah dari belakangnya.Akan tetapi kebaktian itu adalah kebaktian orang yang bertakwa.Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan betakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (QS. Al Baqarah 189)
Ayat ini tidak dapat dipahami oleh orang yang
tidak mengetahui adat bangsa Arab di jaman jahiliyah.Diriwayatkan bahwa
beberapa orang Anshar jika berihram tak seorangpun dari mereka mau memasuki
pagar atau rumah dari pintunya. Jika ia seorang penduduk kota, ia menggali
lubang dibelakang rumahnya dan ia keluar masuk dari sana. Jika ia sorang badwi
ia keluar dari gubuknya. Jadi mutasyabih ayat tersebut juga kembali kepada
maknanya karena disamping membentangkan lafalnya harus pula mengetahui adat
bangsa Arab di jaman jahiliyah.
Menurut Al Zarqani, ayat mutasyabihat dapat dibagi menjadi tiga macam,
yaitu:
1.
Ayat-ayat yang
seluruh manusia tidak dapat sampai kepada maksudnya, seperti pengetahuan
tentang Dzat Allah dan hakikat sifat-sifatNya, tentang waktu kiamat dan hal-hal
ghaib lainnya.
2.
Ayat-ayat yang
setiap orang bisa mengetahui maksudnya melalui penelitian dan seperti ayat-ayat
mutasyabihat yang kesamarannya timbul akibat ringkas, panjang, urutan, dan
seumpamanya.
Allah SWT berfirman:
Allah SWT berfirman:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا
طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
Artinya:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita (lain)…”
(QS. An Nisa 3)
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita (lain)…”
(QS. An Nisa 3)
3.
Ayat-ayat
mutasyabihat yang maksudnya dapat diketahui oleh para ulama tertentu dan bukan
semua ulama. Maksud yang demikian adalah makna-makna yang tinggi yang memenuhi
hati orang-orang yang jernih jiwanya dan mujtahid
Al Raghib Al Ashfahani memberikan penjelasan yang mirip. Menurutnya
mutasyabih terbagi menjadi tiga jenis[8],
yaitu:
1.
Jenis yang
tidak ada jala untuk mengetahuinya seperti waktu kiamat, keluarnya dabbah
(binatang), dan sebagainya.
2.
Jenis yang
dapat diketahui oleh manusia seperti lafal-lafal yang ganjil (gharib) dan hukum
yang tertutup.
3.
Jenis yang
hanya diketahui oleh para ulama tertentu yang sudah mendapat ilmu.
Seperti yang diisyaratkan Nabi dengan do’anya bagi Ibnu Abbas:
Seperti yang diisyaratkan Nabi dengan do’anya bagi Ibnu Abbas:
Artinya:
“Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil”
“Ya Tuhanku, jadikanlah dia seorang yang paham dalam Agama, dan ajarkanlah kepadanya takwil”
KH.SiradjuddinAbbasmembagi ayt-ayat yang mutasyabih menjadi dua bagian
1.
Ayat-ayat yang bertalian dengan sifat tuhan. Umpamanya ayat-ayat
yang mengatakan secara harfiyah, bahwa tuhan itu mempunyai muka, mempunyai
mata, mempunyai tangan, mempunyai kaki, mempunyai anak jari, duduk bersila,
turun naik, datang dan pergi dan lain-lain sifat yang menyerupai makhluk.
2.
Ayat-ayat dan hadits-hadits yang mutasyabih yang tidak bertalian
dengan sifat tuhan, umpamanya huruf-huruf dipermulaan sebagai surah al-Qur’an.[9]
D.
Sikap ulama
terhadap ayat-ayat muhkam dan mutasyabih
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah arti ayat-ayat
mutasyabih dapat diketahui pula oleh manusia, atau hanya Allah saja yang
mengetahuinya.Pangkal perbedaan pendapat itu bermuara pada cara menjelaskan
struktur kalimat ayat berikut
وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي
الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ
Padahal tidak
ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah.dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, …. “
(QS Ali-Imran: 7)
Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat tentang pengertian muhkam
dan mutasyabih dalam artian khusus, perbedaan pendapat mengenai kemungkinan
maksud ayat yang mutasyabih pun tidak dapat dihindarkan. Sumber perbedaan
pendapat ini berpangkalan pada masalah waqaf dalam ayat وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ.Apakah kedudukan lafadz ini sebagai mubtada yang khabarnya adalah يقولون dengan wau dianggap sebagai huruf isti’naf
dan waqaf dilakukan pada lafadz ومايعلم
تأويله إلا الله. Ataukah ia ma’tuf sedangkan lafadzويقولون
menjadi hal dan waqafnya pada lafadz والراسخون
في العلم.
Pendapat
pertama diikuti oleh kebanyakan ulama baik dari golongan sahabat,tabi’in dan
tabiut tabiin dan orang-orang dari kelompok ahlussunnah[10].Pendapat ini berdasar kepada riwayat Ibnu Abbas r.a
yang dapat dilihat pada mustadrak Imam Hakim.
عن عائشة قالت: تلا رسول الله صلى الله عليه وسلم هذه الآية: (هو
الذيي أنزل عليك الكتاب – إلى قوله- أولو الألباب) قال رسول الله صلى الله عليه
وسلم: فإذا رأيت الذين يتبعون ماتشتبه منه فأولئك الذين سمى الله فاحذرهم.
“Dari Sayyidah Aisyah r.a. beliau berkata Rasulullah membaca ayat: هو الذيي أنزل عليك الكتاب sampai dengan أولو
الألباب. Kemudian
berkata: “apabila kamu melihat orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat
mereka itulah yang disinyalir Allah. Maka waspadalah terhadap mereka.
Pendapat kedua
dipilih oleh sebagian kecil ulama yang dipelopori oleh mujahid.
Diriwayatkan
dari mujahid, ia berkata: saya telah membacakan mushaf kepada ibnu abbas mulai
dari fatihah sampai tamat. Saya pelajari sampai paham setiap ayatnya dan saya
tanyakan kepadanya tentang tafsirnya.
Pendapat ini
dipilih juga oleh an-Nawawi. Dalam Syarh Muslim-nya ia menegaskan, inilah
pendapat yang paling shahih, karena tidak mungkin Allah menyeru hamba-hamba-Nya
dengan sesuatu yang tidak diketahui maksudnya oleh mereka.
Berdasarkan
berbagai dalil yang sama-sama diungkapkan, terbentuklah 4 aliran faham yang
berbeda-beda.[11]
Pertama pendapat
kaum musyabbihah, yaitu kaum yang mengatakan bahwa tuhan itu bisa serupa dengan
makhluk, bisa bertubuh, berjasad, beranggota serupa manusia.
Kedua faham
kaum ahlussunnah wal jama’ah aliran salaf, yang tidak memberi arti kepada
ayat-ayat mutasyabih, tetapi menyerahkan kepada tuhan bulat-bulat apa artinya
dan apa yang dimaksudnya, sambil mengi’tiqadkan bahwa tuhan itu maha suci dari
serupa dengan makhluk.
Ketiga faham
ahlussunnah wal jama’ah aliran khalaf yang menta’qilkan ayat-ayat mutasyabih
serta menjelaskan artinya.
Ke-empat faham
madzhab salaf Ibnu Taimiyah, yang menerima dan mengartikan ayat-ayat mutasyabih
munurut lafadznya serupa dengan makhluk.
E.
Hikmah
Keberadaan Ayat Mutasyabih Dalam Al-Qur’an
Ayat-ayat Al Qur’an baik yang muhkam maupun yang mutasyabih
semuanya datang dari Allah SWT. Jika yang muhkam maknanya jelas dan mudah
dipahami, sementara yang mutasyabih maknanya samar dan tidak semua orang dapat
menangkap maknanya. Adapun hikmah dan rahasia keberadaan ayat-ayat mutasyabihat
dalam Al Qur’an seperti yang disebutkan Al Suyuthi dalam kitab Al Itqan[12]
yaitu:
1.
Ayat-ayat
mutasyabihat ini mengharuskan upaya yang lebih untuk mengungkap maksudnnya
sehingga menambah pahala bagi yang mengkajinya.
2.
Dengan adanya
muhkam dan mutasyabihat maka masing-masing penganut madzhab akan memperhatikan
dan merenungkannya dan terus menggali ayat-ayat muhkamat yang menjadi
penafsirannya.
3.
Untuk memahami
ayat-ayat mutasyabihat diperlukan penafsiran dan tarjih antara satu dengan
lainnya sehingga muncul berbagai ilmu diantaranya ilmu bahasa, gramatika,
ma’ani, ilmu bayan, ushul fiqih dan lainnya.
4.
Sesuai untuk dakwah yang ditujukan kepada
orang awam karena mereka biasanya tidak menyukai bentuk yang abstrak sehingga
dibutuhkan ayat-ayat mutasyabihat ini untuk menunjukkan pengertian-pengertian
yang sesuai dengan imajinasi dan khayal mereka.
Hikmah lain yang dikutip oleh Al Zarqani dari
Al Fakhr al Razi[13]
yaitu:
1.
Ayat-ayat
mutasyabihat merupakan rahmat bagi manusia yang lemah yang tidak mampu mengetahui
segala sesuatu. Karena itu Tuhan menyembunyikan pengetahuan tentang Dzat dan
hakikat serta sifat-sifat Nya juga tentang hari kiamat agar manusia tidak
bermalas-malasan membuat persiapan untuk menghadapinya.
2.
Keberadaannya
merupakan cobaan dan ujian bagi manusiaagar mereka percaya tentang hal ghaib
yang disampaikan oleh orang yang benar. Orang-orang yang mendapat hidayahNya
akan meyakininya walaupun tidak mengetahui perinciannya, orang-ornag yang sesat
akan mengingkarinya.
3.
Ayat-ayat ini
menjadi dalil atas kelemahan dan kebodohan manusia. Bagaimanapun besar kesiapan
dan banyak ilmunya, namun Tuhanlah yang Maha Mengetahui segala-galanya.
4.
Ayat-ayat ini
menguatkan kemukjizatan Al Qur’an. Sebab didalamnya mengandung makna
tersembunyi sehingga menjadi tasyabuh (samar)
5.
Keberadaannya
mempermudah orang menghafal dan memelihara Al Qur’an. Jika makna-makna
penjabaran pada ayat-ayat mutasyabihat dijabarkan pada Al Qur’an langsung maka Al-Qur’an
menjadi berjilid-jilid banyaknya sehingga menyulitkan untuk menghafal dan
memeliharanya.
6.
Ayat-ayat
muhkamat dan mutasyabihat memaksa orang yang menelitinya untuk menggunakan
argumen-argumen akal sehingga ia bebas dari kegelapan taqlid.
Inilah sebagian hikmah yang dikemukakan para
ulama sehubungan dengan keberadaan ayat-ayat mutasyabihat dalam Al
Qur’an.Mudah-mudahan adanya ayat-ayat mutasyabihat ini menjadi penggerak bagi
para mukmin untuk mempelajari berbagai macam ilmu agar mereka memahami
ayat-ayat mutasyabihat dan membaca Al Qur’an dengan tadabbur dan penuh
kekhusyukan.Amiin.
BAB III
PENUTUP
1.
Muhkam adalah
ayat-ayat yang dalalahnya kuat baik maksud maupun lafadnya, sedangkan
Mutasyabih adalah ayat-ayat yang dalalahnya lemah, masih bersifat mujmal,
memerlukan takwil, dan sulit dipahami.
2.
Mutasyabih
adalah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan. Kadang-kadang
diterangkan dengan ayat atau keterangna tertentu dan kali lain diterangkan
dengan ayat atau keterangan yang lain pula karena terjadi perbedaan dalam
pentakwilannya.
3.
Sumber Mutasyabihat
a.
Mutasyabih pada
lafal
b.
Mutasyabih pada
makna
c.
Mutasyabih pada
lafal dan makna
4.
Sikap ulama terhadap ayat-ayat muhkam dan mutasyabih
a.
Pertama pendapat kaum musyabbihah, yaitu kaum yang mengatakan bahwa
tuhan itu bisa serupa dengan makhluk, bisa bertubuh, berjasad, beranggota
serupa manusia.
b.
Kedua faham kaum ahlussunnah wal jama’ah aliran salaf, yang tidak
memberi arti kepada ayat-ayat mutasyabih, tetapi menyerahkan kepada tuhan bulat-bulat
apa artinya dan apa yang dimaksudnya, sambil mengi’tiqadkan bahwa tuhan itu
maha suci dari serupa dengan makhluk.
c.
Ketiga faham ahlussunnah wal jama’ah aliran khalaf yang
menta’qilkan ayat-ayat mutasyabih serta menjelaskan artinya.
d.
Ke-empat faham madzhab salaf Ibnu Taimiyah, yang menerima dan
mengartikan ayat-ayat mutasyabih munurut lafadznya serupa dengan makhluk.
DAFTAR
PUSTAKA
Abbas,
Siradjuddin. 40 Masalah Agama 4. Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, 1431 H, Cet 9.
Al-Qaththaan,
Manna’.Mabahits Fii Ulum Al-Qur’an. Surabaya: Al-Hidayah, t.t.
Anwar, Rosihon.
Ulum Al-Quran. Bandung: CV Pustaka Setia. 2012. Cet. 3
Ash-Shaalih,
Shubhi.Mababits Fii Ulum Al-Al-Qur’an. Beirut: Daar Al-Ilmi Li Al-Malaayin.
1977. Cet Ke-10.
As-Sayyid
Muhammad Bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani.Al-Qawaaid Al-Asaasiyyah Fii Ulum
Al-Qur’an. Indonesia: Haramain. t.t.
As-Suyuthi,
Al-Hafidz Jalaluddin. Al-Itqaan Fii Ulum Al-Qur’an. Arab Saudi: Wazaarah
Asy-Syu`Un Al-Islaamiyyah Wa Al-Awqof Wa Ad-Da`Wah Wa Al-Irsyad. t.t.
Az-Zarqaani, Muhammad Abdul ‘Azhiim. Manahil Al-Irfaan Fii
Ulum Al-Qur’an,
Sholahuddin.Mukhtashshar
Al-Itqan Fii Ulum Al-Qur’an Li As-Suyuuthi. Beirut: Dar An-Nafaa`Is. 1958. Cet.
2.
[1]Manna’
al-qaththaan, Mabahits Fii Ulum Al-Qur’an, (al-Hidayah, Surabaya, t.t.),
hlm.304
[2]Ibid,
hlm. 304
[4]Op.cit.,
hal 306
[5]Ibid,
hal. 306
[6]As-Sayyid Muhammad Bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Al-Qawaaid
Al-Asaasiyyah Fii Ulum Al-Qur’an, (Haramain, Indonesia, t.t), hlm.
[7]Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqaan Fii Ulum Al-Qur’an,
(Wazaarah Asy-Syu`Un Al-Islaamiyyah Wa Al-Awqof Wa Ad-Da`Wah Wa Al-Irsyad,
Saudi Arabia, t.t.), hlm. 115
[8]Shubhi Ash-Shaalih, Mababits Fii Ulum Al-Al-Qur’an. (Daar
Al-Ilmi Li Al-Malaayin, Beirut, 1977), hal 282- 283
[9]K.H. Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama 4, (Pustaka Tarbiyah Baru,
Jakarta, 1431 H), hlm. 155-156
[10]As-Sayyid Muhammad Bin Alwi Al-Maliki Al-Hasani.Al-Qawaaid
Al-Asaasiyyah Fii Ulum Al-Qur’an.(Haramain, Indonesia, t.t.), hlm. 50.
[11]K.H.
Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama 4, (Pustaka Tarbiyah Baru, Jakarta, 1431
H), hlm.171-172
[12]Sholahuddin.Mukhtashshar Al-Itqan Fii Ulum Al-Qur’an Li
As-Suyuuthi.(Dar An-Nafaa`is, Beirut, 1958), hlm.118-119
[13]Az-Zarqaani, Muhammad Abdul
‘Azhiim. Manahil Al-Irfaan Fii Ulum Al-Qur’an, hlm. 857
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar