RASIONALISME IBNU RUSYD
A.
Pendahuluan
Manusia merupakan
makhluk Tuhan yang paling sempurna karena dikaruniai akal atau rasio. Dengan
akalnya, manusia senantiasa berpikir dan menjalani hidup, berfikir merupakan
ciri khas manusia dan bahkan Jujun Suriasumantri mengemukakan bahwa dengan
berfikirlah manusia bisa disebut manusia.[1] Salah
satu cara berfikir manusia dalam memperoleh “pengetahuan”
(knowledge) dan “ilmu (science) adalah berfikir
rasional yang berlandaskan faham rasionalisme.
Rasionalisme
merupakan faham filsafat yang menyatakan bahwa akal adalah alat yang penting
untuk memperoleh pengetahuan. Menurut aliran rasionalis, suatu pengetahuan
diperoleh dengan cara berfikir.[2]
Salah satu filosof muslim yang terkenal dengan kejeniusan dan keberhasilannya
dalam memaksimalkan peran akal adalah Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd merupakan filosof
yang mempunyai peran penting dalam dunia ilmu pengetahuan, baik ilmu
pengetahuan Islam maupun dunia barat.
Sejarah
memperlihatkan bahwa Ibnu Rusyd, selain sorang filosuf handal, juga merupakan
seorang ulama besar dan penulis produktif. Kegemarannya terhadap ilmu sukar
dicari bandingannya, karena menururut riwayatnya, sejak kecil sampai tuanya ia
tidak pernah terputus membaca dan menelaah buku maupun kitab, kecuali pada malam
ayahnya meninggal dan malam perkawinannya.[3]
B.
Biografi Ibnu Rusyd
Nama
lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn
Ahmad Ibn Rusyd[4]. Ibn
Rusyd lahir di Cordoba pada tahun 520 H/ 1126 M di Cordova, sebuah kota yang
pada saat itu menjadi pusat kajian-kajian ilmu pengetahuan. Ibn Rusyd berasal
dari kalangan keluarga yang tekenal alim dalam ilmu fiqih, ayah dan kakeknya
mempunyai kedudukan tinggi di Andalusia (Spanyol) sebagai ketua pengadilan.[5]
Ia sendiri pernah menjadi hakim di Sevilla dan beberapa kota lain di Spanyol. [6]
Di
masa mudanya Ibnu Rusyd belajar Teologi Islam, hukum Islam, ilmu kedokteran,
matematika, astronomi, sastra dan filsafat.[7]
Keunggulannya terletak pada kekuatan dan ketajaman filsafatnya yang luas serta
pengaruhnya yang besar pada fase-fase tertentu pemikiran Latin dari tahun
1200-1650 M.[8] Dalam
dunia barat beliau disebut dengan Averroes.[9]
Penyebutan
Averroes untuk Ibn Rusyd adalah akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi,
Spanyol dan Latin. Oleh orang Yahudi, kata Arab Ibn diucapkan seperti
kata Ibrani (bahasa Yahudi) dengan Aben. Sedangkan dalam setandar latin
Rusyd menjadi Rochd, dengan demikian nama Ibn Rusyd menjadi Aben Rochd. Akan
tetapi dalam dalam bahasa Spanyol huruf konsonan b diubah menjadi v, maka Aben
menjadi Aven Rochd. Melalui asimulasi huruf-huruf konsonan bahasa Arab disebut idghom
kemudian berubah menjadi Averrochd. Karena dalam bahasa Latin tidak ada
huruf sy (Arab; syin) maka huruf sy diganti s sehingga menjadi Averrosd.
Kemudian rentetan rentetan s dan d dianggap sulit dalam bahasa Latin, maka
hurud d dihilangkan sehingga menjadi Averros. Agar tidak menjadi kekacauan
antara huruf s akan mengacaukan dengan s posesif, maka antara o dan s diberi
sisipan o dan s diberi sisipan e sehingga menjadi Averroes, dan e sering
mendapat tekanan seinga menjadi Averroes.[10]
Pada
tahun 1153 Ibn Rusyd pindah ke Maroko, memenuhi permintaan kholifah Abd
al-Mukmin dari Dinasti al-Muwahhid, kholifah ini banyak membangun sekolah dan
lembaga ilmu pengetahuan, ia meminta kepada Ibn Rusyd untuk membantunya
mengelola lembaga-lembaga tersebut. Setelah ia meninggal, anaknya Abu Ya’qub
ibn Abd Mukmin, menggantikan sebagai kholifah pada tahun 1663 M, dan memberikan
perintah kepada beliau untuk menulis komentar atas buku-buku Aristoteles.[11]
Ibn
Rusyd berhasil membuat komentator terhadap filsafat Aristoteles; pendek,
sedang, dan panjang, sehingga orang tidak perlu membaca naskah aslinya. Cukup
membaca komentator Ibn Rusyd, orang akan memahaminya bagaikan membaca naskah
aslinya. Sementara ia sendiri tidak menguasai bahasa Yunani, dalam membuat karya-karya
terjemahan dan komentator filsafat Aristoteles ia hanya bersandar pada
karya-karya Aristoteles yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Untuk
keahlian ini Ibn Rusyd layak diberi gelar kehormatan The Famous Comentator
of Aristotle (juru ulas agung Aristoteles). Gelar ini pertama kali
diberikan oleh Dante Alagieri, pengarang buku Divine Comedy. Melihat
pemikiran Ibn Rusyd yang begitu mengagumkan kholifah Abu Ya’qub sangat terkesan
dengan Ibn Rusyd karena ilmunya yang luas dan mendalam, terutama dalam ilmu filsafat,
dapat dijadikan buki tingginya kemampuan Ibn Rusyd dalam berfilsafat dan tidak
ada duanya dalam mengomentari filsafat Aristoteles.[12]
Kholifah
Abu Ya’qub merasa senang atas keberhasilannya tersebut, hubungan Ibn Rusyd dan
kholifah makin lama makin dekat. Hal itu terbukti pada tahun 1169 Ibn Rusyd
diangkat sebagai qadhi di Saville dan mengenai usaha dalam rangka menghormati
keinginan kholifah untuk menafsirkan atau memberi keterangan sendiri tentang karya-karya
Ibn Rusyd. Dua tahun setelah menjadi qadhi di Savilla, ia kembali ke Cordova
juga sebagai qadhi. Pada tahun 1179 untuk kedua kalinya ia menduduki jabatan
hakim agung. Selanjutnya pada tahun 1182 ia bertugas sebagai dokter kholifah di
istana al-Muwahiddin, Maroko menggantikan Ibn Thufail.[13]
Kematian
Abu Ya’qub dan penobatan putranya Abu Yusuf, tidak membawa perubahan langsung
pada kedudukan Ibn Rusyd yang unggul di istana. Awalnya Ibn Rusyd memperoleh
kedudukan yang baik dari Khalifah Abu Yusuf. Akan tetapi keadaan tersebut
segera berubah, pada tahun 1195 ia dituduh kafir, diadili dan dihukum buang (diasingkan)
oleh al-Mansur di suatu kampung Lucena[14],
dalam literatur lain disebutkan Yasanah, dekat Cordova dan dicopot dalam
sebagal hal jabatannya,.[15]
Setelah
beberapa orang terkemuka dapat meyakinkan khalifah tentang kebersihan Ibn Rusyd
dari tuduhan tersebut, Ibn Rusyd dapat menghirup udara bebas. Namun hal
tersebut tidak berlangsung lama, karena muncul kembali tuduhan yang dilemparkan
lagi pada dirinya, dan sebagai akibatnya ia diasingkan ke Mahgribi (Maroko),
buku-buku karangannya di bakar, kecuali ilmu pengetahuan murni (sains), ilmu kedokteran,
matematika dan astronomi. Dan ilmu filsafat tidak boleh lagi dipelajari. Sejak
saat itu murid-muridnya bubar dan tidak berani lagi menyebut-nyebut namanya.[16]
Untunglah
masa getir yang dialami Ibn Rusyd ini tidak berlangsung lama (satu tahun). Pada
tahun 1197 M, khalifah mencabut hukumannya, meminta maaf dan selanjutnya Ibn
Rusyd diangkat kembali pada jabatan semua. Namun, Ibn Rusyd tidak lama
menikmati keadaan tersebut, karena beliau meninggal pada tanggal 10 Desember 1198
M/9 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan
75 tahun menurut perhitungan tahun Hijrah. [17]
Karya-karya
Ibn Rusyd meliputi berbagai ilmu, seperti; fiqih, usul, bahasa, kedokteran,
astronomi, politik, akhlak, dan filsafat. Tidak kurang dari 10.000 lembar yang
telah ditulisnya selama hidupnya. Buku-bukunya ada kalanya merupakan karangan
sendiri, atau ulasan, atau ringkasan, salah satu kelebihannya karya tulisnya
ialah gaya penuturan yang mencakup komentar, koreksi dan opini sehingga karyanya
hidup dan tidak sekedar deskripsi belaka, namun karangannya sulit ditemukan.
Karena sangat tinggi penghargaanya terhadap Aristoteles, maka tidak
mengherankan kalau ia memberikan perhatian yang besar untuk mengulaskan dan
meringkas filsafat Aristoteles, sehingga ia disebut komentator Aristoteles.
Buku-buku yang telah diulasnya ialah buku-buku karangan Plato, Iskandar Aphrodisis,
Galinus, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, dan Ibn Bajjah.[18]
Buku-buku
yang paling penting dan yang sampai kepada kita ada empat yaitu:
1. Bidayatul al-Mujtahid wa Nihayat
al-Muqtashid. Buku ini
bernilai tinggi, karena berisi perbandingan mazhab (aliran-aliran) dalam fiqih
dengan menyebutkan alasannya masing-masing.
2. Fashl al-Maqal fi ma Bain al-Hikmah
wa al-Syari’ah min al-Ittishol (ilmu
kalam). Buku ini dimaksudkan untuk mnunjukkan adanya persesuaian antara
filsafat dan syari’at. Dan sudah pernah diterjemahkan kedalam bahasa Jerman
pada tahun 1895 M oleh Muler, orientalis asal Jerman.
3. Manahij al-Adillah fi Aqaidi Ahl al-Millah (ilmu kalam). Buku ini menguraikan
tentang pendirian aliran-aliran ilmu kalam dan kelemahan-kelemahannya. Dan
sudah pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman juga oleh Muler, pada tahun
1895.
4. Tahafut al-Tahafut. Suatu buku yang terkenal dalam lapangan filsafat
dan ilmu kalam, dn dimaksudkan untuk membela filsafat dari serangan al-Ghazali
dalam bukunya Tahafut al-Falasifah. Buku Tahafut al-Tahafut berkali-kali
diterjemahkan kedalam bahasa Jerman, dan terjemahannya ke dalam bahasa Inggris
oleh Van Den Berg terbit pada tahun 1952 M.[19]
C.
Rasionalisme Ibnu Rusyd
Ibn Rusyd
berkali-kali menegaskan bahwa perhatian filsafat ditujukan kepada pengenalan
apa yang dibawa agama. Jadi, kalau memang akal itu tidak mampu mengungkap apa
yang ada di dalam agama. Tentunya akal harus mengakui kelemahannya terhadap apa
yang ada dalam agama tadi.
Selanjutnya
dalam menyelaraskan filsafat dan agama atau Pertalian akal dengan wahyu. Ibn
Rusyd, meskipun memuja kekuatan akal dan mempercayai kesanggupannya, untuk
mengetahui, namun Ibn Rusyd menyatakan bahwa dalam dunia ini ada hal-hal yang
terletak diluar kesanggupan akal untuk dapat diketahuinya. Karena itu, dalam
hal ini harus dikembalikan kepada wahyu yang diturunkan memang untuk
menyempurnakan akal. Dalam bukunya, Tahafut al-Tahafut, Ibn Rusyd
menyatakan “Segala sesuatu yang tidak disanggupi akal, maka Tuhan memberikannya
kepada manusia melalui wahyu”. Dalam hal ini yang dimaksudkan oleh Ibn Rusyd
adalah dalam permasalahan, bagaimana mengetahui Tuhan, mengetahui arti
kebahagiaan, dan kesengsaraan di dunia dan di akhirat, dan mengetahui jalan
untuk mencapai kebahagiaan dan menjauhkan kesengsaraan tersebut.
Persoalan-persoalan
tersebut, seluruhnya atau sebagian besarnya, tidak akan bisa dijelaskan secara
sempurna kecuali dengan wahyu, atau apabila dijelaskan dengan wahyu maka lebih
utama. Hal ini dapat dimengerti, karena filsafat bertujuan memberikan kebahagiaan
kepada sebagian manusia, yaitu mereka yang mempunyai kesanggupan untuk
mempelajarinya, atau dengan kata lain, ditujukan kepada orang yang pandai saja.
Sedangkan agama bermaksud memberikan tuntunan atau pelajaran kepada orang
banyak secara umum. Karena itu, ilmu yang dibawa oleh wahyu menjadi rahmat bagi
semua orang. Jadi, wahyu dianggap oleh Ibn Rusyd sebagai suatu keharusan untuk
semua orang, dan kekuatan akal dalam mencari kebenaran berada di bawah kekuatan
wahyu.
Rasionalisme Ibn Rusyd,
tidak mengutamakan akal daripada wahyu melainkan mewariskan pemikiran yang
rasional yang sesuai dengan ajaran al- Qur’an. Pemikiran keagamaan mencerminkan
bahwa Islam adalah agama rasional sehingga ajarannya dapat menjadi aktual
sepanjang masa. Dengan demikian, agama mesti berdasarkan wahyu dan akal. Jika
ada agama yang berdasakan kepada akal semata atau agama yang diciptakan akal,
tentu saja nilainya lebih rendah daripada agama yang didasarkan kepada wahyu
dan akal. Ibn Rusyd merupakan seorang filosof muslim rasional yang mempercayai
kekuatan akal dan menjadikan alat untuk mencapai kebenaran di samping wahyu,
namun bukan berarti kebebasan liar atau free thinker yang ateis.[20]
Ibn Rusyd berhasil menempatkan filsafat sebagai bagian dari
keberagamaan yang tidak perlu dipertentangkan. Bahkan, Ibn Rusyd tetap
memberikan otoritas kepada wahyu di atas filsafat, sehingga dengan demikian Ibn
Rusyd sesungguhnya bukanlah rasionalis tulen yang menafikan wahyu. Ibn Rusyd
yakin bahwa wahyu Tuhan akan dapat menambah kadar keimanan dan, kualitas
seseorang.
Ibn Rusyd, menyatakan bahwa para filosof memiliki otoritas untuk
mentakwilkan al-Qur’an. Al-Qur’an telah
berkali-kali memerintahkan dan mendorong kita untuk berfikir, merenung, dan
beri’tibar. Kalupun antara akal dengan teks wahyu bertentangan, maka teks wahyu
haruslah diberi takwil sedemikian rupa, sehingga tidak lagi ada pertentangan
antara keduanya.[21]
Mengutip tulisan
Sirajuddin Zar, Menurut ibnu Rusyd anatara filsafat dan agama tidak
bertentangan, karena kebenaran tidaklah berlawanan dengan kebenaran, tetapi
saling memperkuat, antara keduanya merupakan sahabat yang pada dasarnya saling
mencintai[22]
Selain dengan uraian diatas usaha lain yang ditempuh Ibn Rusyd,
upaya menyelaraskan antara filsafat dan agama dari segi epistimologi, kalau
filsafat bersumber dari akal, sedangkan agama bersumber dari kepada wahyu
Tuhan. Filsafat bagaimanapun tidak beda dengan agama, karena apa yang
dibicarakan oleh agama pada hakikatnya menjadi tugas filsafat juga. Seperti
Tuhan, manusia dan alam, dan jauh dari itu keduanya juga sama-sama ingin menunjukkan
suatu kebenaran.
Takwil harun siraj
Siapa yg takwil
Hukum filsafat
Hukum qiyas akli
Adakah
Hanafi 66 sd 68
61 sd 62
Harun 33
.
[1] Jujun
Suriasumantri, Ilmu dalam Persfektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indoonesia,
1982), h. 1.
[2] Atang Abdul
Hakim, Beni Ahmad Saebani, Filsafat Umum dari Metodologi Sampai Teofisiologi,
(Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 247.
[3] Sirajudin Zar,
Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2004) h. 222
[4] A. Khudori
Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),
h. 99.
[5] A. Mustofa, Filsafat
Umum, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 284.
[6] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam,
(Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 101.
[7] Ahmad Syadali,
Mudzakir, Filsafat Umum (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), h. 183
[8] Hasyimsyah
Nasution, Filsafat Islam ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), hlm. 113
[9]The Hystroy 55
[10] Sirajuddin Zar, op. cit.,
hlm. 221-222
[11] A. Khudori
Soleh, Op. Cit, h 99
[12] Sirajuddin Zar, op. cit.,
hlm. 223
[13] Hasyimsyah
Nasution, op. cit., hlm. 113
[14] Sirajuddin Zar, op. cit.,
hlm. 224 dan lihat juga M. M Syarif , Para Filosuf Muslim (Bandung:
Mizan, 1992), h.203
[15] A. Khudori
Soleh, op. cit., h. 100.
[16]
Poerwantana, at.al, Seluk Beluk Filsafat Islam (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1991), hlm. 199
[17] Sirajuddin Zar, op. cit.,
hlm. 224
[18] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1996), h. 165
[19] Ahmad Hanafi, op. cit., hlm.
166
[20]
Sirajudin Zar, Op. Cit, hlm. 253
[21] Harun Nasution, Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 49
[22]
Sirajudin Zar, Op. Cit, hlm. 249.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar